Retak
Parpol, Demokrasi untuk Siapa?
Mardiansyah ; Pengurus DPP Partai Perindo dan Ketua Umum
DDMI
(Dewan Dakwah Muslimin Indonesia) DKI Jakarta
|
KORAN SINDO, 27 Mei 2015
Kisruh politik kerap
melanda partai politik. Yang kita mafhum biasanya datang dari internal partai
itu sendiri, namun kini yang terpampang di hadapan kita justru tekanan
politik dominan dari luar partai yang kental akan kuasa pemerintah (abuse of power) mewarnai kisruh Partai
Golkar dan PPP.
Sejarah berulang,
nafsu kuasa Orde Baru yang merasuki PDI waktu itu berakhir dengan tragedi
berdarah ”kudatuli” dan chaos partai politik. Situasi serupa menjelma pada
konflik Golkar dan PPP saat ini di mana politik kekuasaan menjadi panglima
atas nama demokrasi. Seyogianya, belum lama setelah pileg dan pilpres tahun
lalu, rakyat rindu akan kehidupan lebih baik melalui ”suara” yang telah
dimandatkan kepada partai politik.
Rakyat tidak pernah
membayangkan apalagi menginginkan wajah partai politik terbelah, konflik,
pecah, gaduh berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Tidak berlebihan kalau
satusatunya harapan publik dari pemilu yang digelar tahun lalu adalah langkah
maju bangsa ini mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan
lainnya melalui parameter sederhana: rakyat menjadi lebih sejahtera.
Jangan sampai pemilu
lima tahunan yang kita rasakan makin berkualitas ini hanya tercatat sebagai
laluan sejarah dan ritual politik semata namun kering akan nilai dan esensi
demokrasi yang harusnya bermakna ”demos ” dan ”cratos ”.
Parpol Pilar Demokrasi
Pilihan menjadi partai
modern hampir menjadi role model semua partai politik peserta Pemilu 2014
dengan terjemahan platform dan keunikan perjuangan masing-masing. Di samping
kebutuhan zaman, partai politik modern merupakan pilihan sejarah sebagai
bentuk adaptasi dengan demokrasi kita yang terus berkembang.
Senada pula dengan
Partai Perindo yang menasbihkan dirinya sebagai partai modern sejak
dideklarasikan 7 Februari lalu, tengah berupaya membangun partai dengan basis
massa dan kader. Partai modern yang menjiwai Partai Perindo bukanlah tanpa
alasan, sedikitnya ada dua latar belakang: (1) demokrasi membutuhkan harmoni
antara agregasi suara rakyat dan perjuangan politik yang substantif sehingga
mampu melahirkan partai politik berkualitas; (2) sejarah kelahiran bangsa
Indonesia dimotori oleh para pemikir dan tokoh bangsa yang progresif dan
visioner, namun tetap realistik mencapai tujuan.
Oleh karena itu,
kombinasi kuantitas dan kualitas dalam kemasan modernitas merupakan
otentifikasi sekaligus refleksi terbaik dari perjuangan partai politik.
Kondisi parpol kekinian (baca: dua parpol yang pecah/ konflik) adalah situasi
kritikal yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri meskipun
riuh rendah politik tersebut bisa kita letakkan dalam perspektif dinamika
demokrasi partai politik modern.
Apa pun pijakan
legitimasinya, demokrasi melalui instrumen partai politik tidak boleh
melenceng bahkan out of the track
dari intisari kedaulatan di tangan rakyat. Pesan demokrasi jelas menitikberatkan
pada kuasa rakyat yang disalurkan melalui partai politik atau lebih mudah
kita kenal dengan nama keterwakilan politik. Walhasil, partai politik modern
seperti Partai Perindo berpandangan bahwa parlemen sebagai wujud perwakilan
politik harus dikelola secara amanah, akuntabel dan transparan.
Hanya dengan
prinsipprinsip tersebut maka jalan menuju parlemen yang konstruktif bisa
ditegakkan. Dengan demikian, sangatlah tidak produktif jikalau wajah partai
politik kita ada retak dan rusak akibat pertarungan elite internal partai
politik maupun intervensi politik penguasa yang sudah pasti pada akhirnya
merugikan sang mandatori mutlak yang bernama rakyat. Parpol yang kuat cikal
bakal bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat dengan pijakan utama pada
kepentingan rakyat.
Dan suatu panggilan
sejarah bagi Partai Perindo untuk membuktikan modernitas kepartaiannya dalam
menciptakan demokrasi yang sehat. Analogi singkatnya, tatkala Partai Perindo
mampu memainkan peran strategis melalui kader-kader yang berkualitas dalam menyerap,
menyalurkan dan juga memperjuangkan suara rakyat maka inklusif penguatan
parpol terwujud sejalan dengan terbentuknya ikatan ideologis maupun pragmatis
rakyat yang ”menghidupi” demokrasi.
Partai Perindo bersama
partai politik lainnya turut andil mendorong jalan baru demokrasi yang sehat
diawali dengan potret diri partai politik yang solid, satu, utuh serta
menjadikan rakyat sebagai satu-satunya tujuan politik atau dalam ijtihad
politik Partai Perindo dikenal dengan istilah politik kesejahteraan.
Parlemen Konstruktif
Parlemen konstruktif
sebagai jalan panjang menuju demokrasi yang sehat, setidaknya mengandung
arti: (1) menjalankan checks and balances kepada pemerintah dalam semangat
kebersamaan. Bersama bisa diartikan dua sisi mata uang yang saling
melengkapi.
Pertama, pada posisi
mendukung sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah sepanjang berpihak
pada kepentingan rakyat dan kedua, berbeda sikap dengan cara memberikan
pandangan berbeda tidak sekadar kritik semata beroposisi, tapi konsisten
secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik sejak awal
agar suatu kebijakan pemerintah selalu bisa diperdebatkan secara konstruktif
meski pada akhirnya tidak melulu sejalan dengan sikap pemerintah, (2)
menerjemahkan sepenuhnya fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi
politik sekaligus pengatur konflik.
Peran (berbeda)
sebagai oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan.
Partai politik oposan diperlukan karena baik dan benarnya politik harus
diperjuangkan dalam kontestasi politik serta diuji dalam wacana politik yang
terbuka dengan melibatkan publik.
Sejatinya, praktik
kekuasaan yang dijalankan pemerintah haruslah teruji bernas untuk kepentingan
rakyat karena pengawasan melalui parlemen adalah satu bangunan (built in )
yang niscaya dalam era demokrasi. Maka pesan terpenting bagi para penguasa
(baca: pemerintahan Jokowi-JK) tidak perlu terlalu reaktif ketika wajah
parlemen kita berdinamisir dalam dua arus utama KMP dan KIH.
Dinamika itu merupakan
berkah bawaan bahkan menjadi jamu yang mungkin terasa pahit, namun
menyehatkan di kemudian hari. Sikap kritis yang disuarakan parpol KMP harus
diletakkan dalam porsi oposisi loyal di mana kekritisan tersebut terjamin
tidak akan keluar dari substansi nilai dan esensi demokrasi. Loyalitas pada
agenda besar kebangsaan, program- program kerakyatan menjadi pijakan berpikir
dan kerja-kerja politik baik oleh KMP maupun KIH.
Lantas, mengapa
penguasa mesti gencar kerja keras mengondisikan mayoritas parpol di parlemen
sebagai pendukung pemerintah? Bukankah itu akan melemahkan demokrasi
sekaligus mendegradasi fungsifungsi parpol di mana semua aspirasi rakyat
seolah dikanalisasi dalam keseragaman garis politik penguasa. Pelemahan
demokrasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi apalagi nuansa intervensi politik
lebih menyeruak dalam kisruh partai Golkar dan PPP.
Kalau sudah demikian
boleh jadi kemunduran sejarah bangsa di depan mata setelah hampir 17 tahun
reformasi bergulir, alih-alih demokrasi belum mampu dinikmati rakyat secara
langsung menyentuh kehidupan sehari-hari.
Saatnya kita jaga dan
tumbuhkan cita-cita demokrasi yang bersumber pada makna kedaulatan rakyat
melalui representasi partai-partai politik karena pada hakikatnya di dalam
tubuh parpol yang sehat akan tumbuh demokrasi yang kuat. ? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar