Mengapa
Kita Pesimistis?
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
Tbk
|
KOMPAS, 30 Mei 2015
Di awal terpilihnya
Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memimpin bangsa ini, mereka disambut meriah
dengan gegap gempita. Bukan hanya oleh rakyat Indonesia sendiri, melainkan
juga oleh bangsa-bangsa besar di dunia.
Optimisme yang
melempem, bahkan menuju kesirnaan, secara naluri muncul kembali ke permukaan.
Gairah bangsa ini meletup kembali. Harapan besar menuju Indonesia yang kuat
dan disegani secara aklamasi ada di pundak pemimpin baru dengan gaya santun
merakyat.
Harus diakui, di awal
pemerintahan JKW-JK, mereka langsung dihadapkan pada situasi yang teramat
sulit. RAPBN 2015 yang dirancang pemerintah sebelumnya tidak cocok dengan
Nawacita yang dicanangkan oleh mereka.
Ujian pertama, yang
memerlukan nyali, ialah menaikkan harga bensin dan solar pada November 2014
ketika harga minyak dunia naik tajam. Rakyat tersentak dan mengeluh. Saya
kira ini reaksi normal karena kenaikan harga BBM pasti akan menaikkan harga
barang dan jasa secara keseluruhan. Inflasi yang naik tinggi akan
menyengsarakan rakyat kebanyakan.
Pelaku ekonomi dan
analis dikagetkan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang langsung merespons
kenaikan suku bunga dari 7,50 persen menjadi 7,75 persen, dengan alasan untuk
menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan tekanan inflasi tetap
terkendali. Padahal, ini kan harga yang diatur pemerintah, yang bersifat
sementara dan tak permanen, di mana inflasi akan turun lagi secara perlahan.
Rasional dan terukur
Kegelisahan akibat
kenaikan harga BBM dan suku bunga BI untungnya tidak berlangsung lama. Di
luar dugaan, harga minyak dunia anjlok hingga pernah di bawah 50 dollar AS
per barrel pada Januari 2015.
Kondisi ini tidak
disia-siakan pemerintah. Pada 1 Januari 2015, reformasi migas dicanangkan.
Subsidi bensin dicabut dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar Rp
1.000 per liter. Normalnya pencabutan subsidi BBM akan ditolak rakyat, tetapi
kali ini tidak karena dibarengi penurunan harga bensin menjadi Rp 7.600/liter
dari Rp 8.500/liter dan solar menjadi Rp 7.250/liter dari Rp 7.500/liter. BI
sebagai otoritas moneter menurunkan suku bunga menjadi 7,50 persen.
Tidak ada yang
menyangka reformasi migas bisa secepat itu. Pemerintah baru terbebas dari
sandera subsidi BBM yang setiap tahun selalu menjadi beban dan ganjalan berat
APBN. Penghematan dari subsidi BBM menyebabkan ruang fiskal pemerintah
melebar. Keinginan JKW-JK untuk membangun infrastruktur, yang selama ini
bobrok, secara intensif dan berkelanjutan seharusnya sangat realistis.
Subsidi energi yang
berkurang drastis dari Rp 350 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 138 triliun
di 2015 menjadi angin segar buat APBN pertama pemerintahan JKW-JK. Postur
APBN-P 2015 menjadi lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
kuat. Rencana fantastis bahwa pengeluaran untuk membangun infrastruktur
meningkat 63 persen; dari sebelumnya Rp 178 triliun menjadi Rp 290 triliun
pada 2015. Kalau ini bisa direalisasikan dan konsisten diteruskan selama lima
tahun pemerintahan JKW-JK, fundamental perekonomian Indonesia akan sangat
kuat. Potensi tinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mudah dicapai, dengan
tren inflasi yang turun dan stabil, disertai dengan nilai rupiah yang
rasional dan terukur.
Niat mulia ini
sayangnya tak mudah dilakukan. Selalu ada tantangan dari kubu yang melihat
dari sudut pandang yang berbeda. Dalam enam bulan pemerintahan JKW-JK,
situasi politik masih penuh ketidakpastian. Isu pergantian kabinet selalu
diembuskan politisi, yang tentunya membuat resah para pembantu presiden.
Rakyat pun mulai bosan melihatnya: kapan, ya, elite politik berdamai dan satu
visi untuk menuju Indonesia hebat?
Situasi semakin berat.
Perekonomian pada kuartal I-2015 terlihat sangat lesu dengan hanya tumbuh 4,7
persen. Profit perusahaan anjlok, pelaku usaha cenderung menurunkan target
produksi dan penjualan. Tekanan inflasi meningkat karena kenaikan harga
minyak dunia. Bank mengalami kesulitan untuk menyalurkan kreditnya, tecermin
dari pertumbuhan kredit yang hanya 11,3 persen pada April 2015, sementara
rupiah masih berkutat di atas Rp 13.000 per dollar AS.
Kemunculan isu bahwa
BI bisa diintervensi dan tidak independen makin membumbui lemahnya
perekonomian domestik. Kalau melihat logika dan kronologi kebijakan moneter
dan makroprudensial yang diambil, rasanya BI masih berintegritas, apalagi
undang-undang menjamin independensi BI. Ketika ini dilanggar, kepercayaan
akan luntur dan bisa menimbulkan biaya ekonomi sangat mahal, yang merusak
sendi perekonomian.
Oleh karena itu,
menjadi sangat penting bahwa ada koordinasi dan komunikasi yang positif
antara pemerintah dan BI, termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tentunya koordinasi dan komunikasi yang menghargai peran dan kontribusi
masing-masing.
Realisasi penerimaan
pajak yang kurang memuaskan di kuartal I dan kemungkinan besar target
kenaikan pajak 30 persen sulit terealiasi. Rasanya target pertumbuhan ekonomi
pemerintah 5,4 persen kurang realistis, perkiraan kami hanya 5-5,1 persen
pada 2015.
Dengan situasi politik
dan ekonomi yang memprihatinkan, ditambah kondisi global yang tak menentu,
terutama kapan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya, adalah reaksi
yang cukup wajar kalau insan ekonomi mulai getir terhadap kepemimpinan
JKW-JK. Tingkat kepercayaan masyarakat mulai menurun, rasa kecewa mulai
menyelimuti optimisme di awal pemerintahan JKW-JK.
Beri kesempatan
Euforia kepemimpinan
JKW-JK mulai meredup. Pasar saham dan pasar obligasi mengalami tekanan.
Investor asing sudah mulai mundur perlahan dari perekonomian Indonesia. Di
saat kita hampir sepakat pada 2015 merupakan tahun yang sulit dan bergejolak,
lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) malah
memberikan penilaian positif terhadap perekonomian Indonesia. S&P sangat
mengapresiasi kebijakan pemerintahan JKW-JK, terutama penghapusan subsidi BBM
yang dinilai tidak produktif.
Gonjang-ganjing
politik tidak berpengaruh signifikan terhadap penilaian S&P pada
perekonomian Indonesia. Kelihatannya decoupling antara politik dan ekonomi
masih berlaku untuk Indonesia. Politik jalan sendiri dengan hiruk-pikuknya,
sedangkan ekonomi jalan sendiri dengan tantangan domestik dan eksternalnya.
Oleh karena itu,
mengapa kita sebagai bangsa harus pesimistis, sementara pihak luar yakin kepada
Indonesia di masa depan. Penilaian positif dari lembaga pemeringkat sekaliber
S&P saya kira madu yang memberikan spirit bagi pemerintahan JKW-JK. Obat
manjur mencabut subsidi BBM, walaupun terasa pahit dalam jangka pendek, saya
rasa akan berbuah manis kalau realisasi pembangunan infrastuktur dijalankan
dengan konsisten.
Konektivitas
antardaerah akan berjalan mulus, distribusi barang dan jasa akan berjalan
lancar. Pembangunan regional akan secara kontinu menuju konvergensi, bukan
divergensi. Semua itu pada akhirnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara
yang diperhitungkan kekuatan ekonominya. Kita beri pemerintah kesempatan
membuktikan janjinya, sambil menunggu penilaian S&P untuk mendapatkan
peringkat investasi (investment grade) pada tahun depan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar