Utang
Bayar Utang
Didik J Rachbini ;
Guru Besar Ilmu Ekonomi UMB Jakarta; Ekonom
Senior INDEF
|
DETIKNEWS, 02 Februari 2017
Berita
terbaru tentang ekonomi adalah Indonesia kembali berutang kepada Asian
Development Bank (ADB) untuk menambah penerimaan di APBN dan menjalankan
proyek-proyek, yang tidak bisa didapat dari pajak. Kekurangan dana untuk
pengembangan infrastruktur salah satunya didapat dari utang, bukan dari
perbaikan efisiensi pengeluaran APBN, yang ternyata sangat boros.
Jalan
pintas yang gampang adalah melakukan utang kepada lembaga keuangan dunia,
seperti ADB. Presiden Jokowi menerima kunjungan Presiden Asian Development
Bank Takehiko Nakao di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (1/12/2017). Pertemuan
berlangsung secara tertutup sekitar satu jam sehingga media tidak dapat
mengakses isi pertemuan tersebut secara terbuka.
Namun
dikutip dari siaran pers resmi ADB, dalam pertemuan itu, Presiden ADB Nakao
menegaskan kembali komitmen ADB untuk mengalokasikan pinjaman untuk
pemerintah Indonesia sekitar US$ 2 miliar per tahun. Berarti pertemuan
tersebut dalam rangka meneguhkan komitmen berutang lagi, setelah sebelumnya
juga melakukan utang terhadap ADB.
Tahun
lalu, ADB memberikan dukungan utang kepada Indonesia senilai US$ 1,75 miliar.
Ada sebagian kecil sekitar US$ 17 juta dalam bentuk hibah. Sebesar US$ 1,27
miliar untuk pemerintah. Menurut pendapat saya, sebenarnya pinjaman US$ 2
miliar dari ADB tersebut tidak perlu dilakukan karena setidaknya dua alasan.
Pertama,
APBN kita sebenarnya berkembang cukup pesat sehingga bisa membiayai banyak
hal, termasuk infrastruktur, yang menjadi perhatian utama pemerintah.
Menambah pengeluaran tanpa mengeliminir pengeluaran lainnya yang boros dan
salah kaprah sesungguhnya menambah beban APBN menjadi rapuh. Dengan tambahan
utang tersebut, beban pembayaran utang di tahun-tahun mendatang bisa mencapai
Rp 400 triliun bahkan lebih.
Yang
menjadi beban berat bagi APBN adalah utang pemerintah pada saat ini, baik
dalam negeri maupun utang luar negeri. Jumlahnya sangat besar, yakni mencapai
tidak kurang dari Rp 3,460 triliun. Dalam dua tahun ini meningkat sangat
tinggi sekali hampir Rp 1.000 triliun. Pemerintah saat ini terlalu banyak
berutang.
Ini
merupakan beban tahunan APBN yang sangat berat. Bahkan jika dibandingkan
dengan beban subsidi BBM yang sangat berat beberapa tahun lalu, beban utang
ini lebih besar dua kali lipat. Salah kaprah pengambilan keputusan utang dan
pembiaran terhadap pengeluaran yang tidak efisien akan menyebabkan APBN
menjadi negatif kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kedua,
utang yang dilakukan oleh pemerintah pada saat ini tergolong paling besar
dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya. Mengapa? Sebabnya tidak lain
karena pemerintah dan DPR tidak melakukan kontrol secara ketat terhadap
pengeluaran kementerian, lembaga non-kementerian, pemerintah daerah, dan
lainnya.
Jadi,
meskipun APBN sudah sedemikan besar, tetapi napasnya sesak karena dijejali
pengeluaran yang boros dan salah kaprah. Akhirnya pengeluaran untuk
infrastruktur dan pengeluaran yang produktif lainnya tersisih dan terpaksa
malakukan utang kembali.
Jadi,
pilihan kebijakan yang cerdas seharusnya menyelesaikan masalah yang ada pada
pengeluaran APBN, yang boros oleh birokrasi. Ini yang perlu diperbaiki.
Karena itu DPR seharusnya menunda dan tidak menyetujui utang tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar