Presidential
Threshold dalam Pemilu Serentak
Saurip Kadi ;
Mantan
Aster KSAD
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2017
KINI DPR sedang menggodok UU Penyelenggaraan Pemilu. Dari
gelagatnya, ketentuan presidensial threshold akan dipaksakan dalam UU
tersebut. Memang aneh dan lucu, bila hasil Pemilu periode 5 tahun sebelumnya,
dijadikan dasar untuk menghitung ambang batas sebuah partai atau gabungan
partai dalam mencalonkan pasangan capres/Wapres. Pasalnya, bukan hanya karena
masa bakti keanggotan mereka di DPR telah selesai, tapi jangan-jangan para
pembentuk UU itu sendiri tidak memahami apa itu threshold dalam pemilu?
Lalu, apabila tujuan menerapkan threshold itu untuk
memfilter agar calon pasangan capres/wapres yang ikut pemilu bisa dibatasi
jumlahnya, tentu cara yang digunakan tidak boleh keluar dari logika politik
dan aliran hukum yang sudah diamanatkan dalam pasal-pasal UUD. Sebab, prinsip
dasar dalam demokrasi hak primer warga negara yaitu hak yang langsung diatur
dalam konstitusi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Pasal 1 ayat (2)
tentang Kedaulatan di Tangan Rakyat, Pasal 6. A. ayat (1) tentang Pemilihan
Presiden Secara Langsung oleh Rakyat, Pasal 27 ayat (1) tentang Kesamaan Hak
di Depan Hukum dan Pemerintahan, dan Pasal 28C ayat (2) Tentang Hak Asasi
untuk Memajukan Dirinya dalam Memperjuangkan haknya secara Kolektif, mutlak
tidak boleh direduksi, dijegal, diganjal, dan apalagi dinihilkan atau
dianulir UU pelaksananya.
Ambang batas dalam pemilu
Dari sejarahnya, ambang batas atau threshold awalnya hanya
dikenal pada sistem parlementer, yaitu syarat minimal jumlah perolehan kursi
bagi sebuah partai untuk bisa duduk di DPR. Dalam pemilu pada sistem
parlementer, rakyat mencoblos tanda gambar partai. Artinya, yang dipercaya
rakyat ialah partai. Sehingga anggota DPR adalah wakil partai. Karena
kepentingan politik partai disalurkan melalui alat kelengkapan DPR seperti
komisi, fraksi, anggaran, dan lain-lainnya, partai harus mempunyai wakil
tetap pada setiap badan alat kelengkapan DPR yang dimaksud.
Dengan menghitung berapa jumlah minimal anggota DPR yang
harus duduk mewakili partai pada semua alat kelengkapan DPR, akan ketemu
norma ambang batas bagi sebuah partai untuk bisa duduk di DPR (parlementary
threshold). Dalam sistem parlementer, kabinet dibentuk partai pemenang
terbesar dalam pemilu. Bila jumlah perolehan kursi di DPR tidak mayoritas
tunggal (50%+1), dalam membentuk kabinet, partai pemenang terbesar dalam
pemilu berkoalisi dengan partai lain yang memiliki kesamaan ideologi.
Karena legitimasi pemerintahan datangnya dari DPR, setiap
saat kabinet bisa jatuh yaitu ketika dukungan suara di DPR kurang dari 50%.
Di sisi lain, karena anggota DPR adalah wakil partai, setiap saat pula
anggota DPR bisa dicopot partai. Sebaliknya dalam sistem presidensial, dalam
pemilu rakyat mencoblos tanda gambar orang (pasangan capres/caleg). Artinya,
sumber legitimasi presiden dan anggota DPR datangnya sama-sama langsung dari
rakyat.
Oleh karena itu, presiden dan juga anggota DPR sama-sama
tidak bisa dijatuhkan/dicopot di tengah jalan, kecuali karena alasan pidana.
Dengan logika politik yang demikian itu, baik dalam sistem parlementer maupun
presidensial otomatis terbentuk kondisi check and balance dalam arti yang
sesungguhnya. Di beberapa negara seperti Prancis dan Timor Leste, umpamanya,
memang dikenal kedua norma threshold, baik parlementary threshold maupun
presidensial threshold.
Hal ini terkait dengan pemisahan kedudukan kepala
pemerintahan dan kepala negara. Yakni, kepala pemerintahan dipilih melalui
pemilu model parlementer (rakyat coblos gambar partai), dan presiden dipilih
melalui pemilu dengan model presidensial (rakyat coblos gambar capres).
Karena setiap saat kabinet bisa jatuh, kedudukan presiden
perlu didukung kekuatan partai politik, sehingga saat terjadi krisis
pemerintahan, presiden memiliki legitimasi yang cukup kuat di DPR. Di sanalah
maka muncul konsep, presidensial threshold. Rakyat tidak boleh dijadikan
kelinci percobaan. Kebiasaan buruk elite bangsa ini, ketika mencontek hanya
sebagian, tanpa memahami filsafat dan kerangka kesisteman secara utuh,
kemudian diberi cap ala Indonesia, dan ketika gagal yang disalahkan
referensinya.
Hal itu haruslah segera disudahi. Sebab, risiko kegagalan
sebuah konsep dalam tata kelola negara, berupa biaya politik yang terkadang
disertai dengan jatuhnya korban, rakyat pula yang menanggungnya. Untuk itu,
dalam membahas perundang-undangan, semestinya logika politik, kaidah, dan
norma yang sudah berlaku secara universal tidak boleh dicampakkan begitu
saja. Hasil akhir pembahasan RUU tersebut haruslah bisa diuji secara keilmuan
yang kebenarannya telah terbukti dalam praktik di banyak negara. Begitu pula
dari aliran hukum mendasarinya, mutlak tidak boleh menyimpang apalagi
bertentangan dengan amanat konstitusi.
Dengan demikian perundang-undangan yang dibuat tidak
melahirkan kekacauan rule of the law dan juga rule of engagement seperti yang
banyak terjadi dalam UU Kepartaian, Pemilu, dan MD-3 (MPR, DPR, DPD, dan
DPRD) yang ada saat ini. Sehingga timbul potensi saling menjegal, mengganjal,
mengeliminasi, dan bahkan peran antarlembaga saling bertabrakan satu dengan
lainnya, sebagaimana terjadi dalam beberapa contoh di bawah ini. Pertama,
bagaimana mungkin akan terwujud check and balance, kalau dalam pemilu langsung
tapi anggota DPR bisa dicopot parpol?
Kedua, bagaimana mungkin ada pembohongan publik, tapi sah
karena UU seperti yang terjadi dalam 3 kali pileg yang lalu, yakni parpol
dalam kampanye pemilu menjanjikan program, padahal program yang akan
dilaksanakan pemerintahan merupakan program capres terpilih, sama sekali
bukan program partai. Ketiga, rumus dari mana di negeri ini yang menyebut,
stabilitas politik akan bisa tewujud kalau dalam pilpres langsung di DPR ada
partai oposisi layaknya model perwakilan dalam sistem parlementer. Masih
banyak lagi aturan main yang perlu disinkronisasikan antara UU yang satu
dengan lainnya.
Filter jumlah kontestan dalam
pilpres
Kewajiban bagi kita semua selaku stake holder atas
Republik ini, untuk mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam pembahasan
RUU Penyelenggaraan Pemilu. Agar, mengedepankan akal sehat dan hati nurani
sebagai inti dasar ajaran pendiri Republik ini. Sebagaimana yang tercantum
dalam sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Pemusyawaratan/Perwakilan".
Sepanjang para pembentuk UU mengedepankan akal sehat dan
menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai dan golongan,
niscaya tidak sulit untuk memahami bahwa norma presidensial threshold tidak
patut untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Adapun upaya
untuk memfilter agar pasangan capres/wapres yang ikut pemilu tidak terlalu
banyak, bisa ditempuh dengan cara memperketat persyaratan bagi parpol untuk
bisa mengikuti pemilu.
Sedemikian rupa agar jumlah kontestan Pilpres 2 atau
maksimal 3 pasang capres/cawapres saja. Pengetatan persyaratan yang dimaksud
sama sekali tidak bertentangan dengan amanat yang tertuang dalam pasal-pasal
UUD 1945 yang mana pun. Sehingga, tidak ada kerawanan sedikit pun untuk bisa
'digugurkan' MK bila ada pihak yang mengajukan judicial review. Semoga Tuhan
YME memberi 'pepadang' kepada semua pihak yang kini terlibat dalam pembahasan
RUU Penyelenggaraan Pemilu, amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar