Gerson
Poyk si Jenaka
AS Laksana ;
Sastrawan;
Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 26
Februari 2017
ADA satu buku yang terasa provokatif saking tebalnya,
yaitu Laut Biru Langit Biru, sebuah antologi karya sastra yang disusun Ajip
Rosidi. Ia tampak berwibawa di antara buku-buku lain yang berjajar di rak
perpustakaan, seperti seekor kuda nil dikerumuni serangga. Itulah buku
pertama yang saya pinjam dari perpustakaan SMA 3 Semarang pada tahun pertama
saya masuk sekolah tersebut, 1984, dan juga buku yang paling sering saya
perpanjang masa peminjamannya karena tidak habis-habis dibaca.
Saya tidak ingat berapa ratus halaman tebalnya, tetapi
edisi cetak ulangnya yang terbaru, 2013, setebal 800 halaman. Ia memuat
cerita pendek, puisi, nukilan novel, esai, dan kritik sastra, mencakup
rentang waktu dari 1966 hingga 1976, dan para penulisnya adalah nama-nama
besar sastra Indonesia.
Di buku itu saya kali pertama berjumpa dengan nama Gerson
Poyk melalui Matias Akankari, sebuah cerpen yang mengisahkan pengalaman
beberapa hari seorang lelaki dari pedalaman hutan Irian Jaya di ibu kota
Jakarta. Cara bertutur Gerson sangat lincah meskipun pada waktu itu saya
merasa Matias Akankari bukanlah cerita yang sungguh-sungguh. Ia semacam
banyolan –untuk menyampaikan berbagai ironi– untuk mengabarkan kepada kita
bahwa kehidupan kelas atas di Jakarta sama belaka dengan kehidupan
’’primitif’’ di pedalaman hutan Irian Jaya: orang-orangnya sama-sama hanya
memakai cawat.
Setelah perkenalan itu, tak lama kemudian saya membeli
buku kumpulan cerpen Gerson Poyk Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta
Rajagukguk. Saya menyukai kelincahan bertutur Gerson Poyk dan kemampuannya
menggarap cerita tentang kemiskinan dalam cara yang gagah dan lucu. Sebagian
besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang miskin, sama seperti beberapa
pengarang Indonesia. Bedanya, ia selalu bisa melihat sisi jenaka orang-orang
melarat itu dan sepertinya tidak berminat menjadikan mereka bahan penguras
air mata.
Saya cepat jatuh cinta pada cerpen-cerpen Gerson karena
pada dasarnya saya menyukai tulisan-tulisan yang jenaka. Itu jenis karangan
yang paling sulit ditulis menurut Mark Twain. Yang paling mudah, menurut
saya, adalah membenamkan diri ke dalam melodrama.
Tiga puluh tahun setelah perjumpaan dengan Matias
Akankari, Oktober 2015, untuk kali pertama saya bertemu penulisnya. Kami
dalam pesawat yang sama dari Jakarta menuju Ende, memenuhi undangan Kantor
Bahasa Nusa Tenggara Timur. Ia sudah 84 tahun saat itu, berangkat berdua
dengan putri yang sangat menyayanginya, Fanny Jonathans –orang yang akan
menjadi teman sekantor sekiranya saya dulu menerima tawaran Arswendo
Atmowiloto untuk bergabung dengan tabloid anak-anak Fantasi setelah tabloid
DeTIK diberedel, 1994.
Pesawat transit beberapa jam di Kupang. Kami dijemput
panitia, mencari tempat makan siang, dan kemudian dibawa singgah ke kantor
redaksi majalah setempat. Saya menggunakan kesempatan untuk memotretnya, baik
pada saat makan maupun ketika wartawan mewawancarainya.
’’Kupang sangat menyenangkan karena ada sopi,’’ katanya
ketika kami di dalam mobil. ’’Itu minuman yang mampu melembutkan hati kita.
Para perempuan akan terlihat lebih cantik saat kita minum sopi.’’
Saya tertawa mendengarnya.
’’Papa tidak boleh minum sopi, nanti mabuk,’’ Fanny
mengingatkan.
Seandainya kami seusia, saya yakin kami bisa menjadi teman
akrab. Gerson sangat periang dan ia gemar menipu teman-temannya. Pernah suatu
saat, ketika koperasi seniman baru dibentuk Dewan Kesenian Jakarta, Gerson
mengabarkan bahwa setiap seniman mendapatkan pinjaman beberapa ratus ribu
–jumlah yang besar pada masa itu.
’’Temuilah Motinggo Busye, dan ambil jatahmu,’’ katanya
kepada salah seorang temannya, sesama penulis.
Orang itu menemui Motinggo, bendahara koperasi, dan tentu
saja tidak mendapatkan apa-apa. Dia kemudian menyampaikan kabar yang sama
kepada orang lain lagi, yang segera menemui Motinggo. Dan seterusnya kabar
itu ditularkan dari satu orang ke orang lain, sampai kembali ke Gerson
sendiri. Dan Gerson menemui Motinggo untuk mengambil jatah pinjamannya.
’’Lho, Son, itu kan yang mengarang cerita kamu sendiri,’’
kata Motinggo.
Ketika kami kembali lagi ke Bandar Udara Kupang untuk
menyeberang ke Ende, saya menghabiskan waktu bersamanya di ruangan tempat
merokok. Dia keras kepala dalam urusan merokok. Fanny berkali-kali
mengingatkan ayahnya, ’’Papa sudah merokok terlalu banyak.’’ Gerson
seolah-olah tidak mendengar.
Di ruangan merokok dia cepat akrab dengan siapa saja yang
ada di sana dan menceritakan banyak hal, termasuk usianya yang sebetulnya
sudah di atas 90 tahun, meskipun di dalam kartu identitas dia tercatat lahir
16 Juni 1931. Dia juga menceritakan stroke yang pernah menyerangnya.
’’Stroke itu penyakit yang menjengkelkan,’’ katanya.
’’Tiba-tiba saja dia mendatangi saya. Lalu, saya usir saja dia jauh-jauh.’’
Saya menikmati pertemuan pertama dengan Gerson, dan itu
rupanya juga pertemuan terakhir. Pekan lalu, dia masuk rumah sakit. Saya
berharap dia kembali bugar dan kami bisa bertemu lagi, merokok bersama-sama
sambil berkelakar. Namun, kali ini dia tidak berhasil mengusir penyakitnya.
Jumat, 24 Februari 2017, Gerson Poyk meninggal. Saya
mengantar kepergiannya dari rumah, dengan harapan baik, dengan ucapan terima
kasih. Dari cerpen-cerpennya, saya belajar bahwa kepedihan bisa disampaikan
secara gagah dan jenaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar