Mengalirkan
Dana Repatriasi
Haryo Kuncoro ;
Direktur
Riset SEEBI
(the Socio-Economic &
Educational Business Institute) Jakarta;
Dosen FE UNJ, Doktor Ilmu Ekonomi
Alumnus PPs UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Februari 2017
MEMASUKI babak akhir amnesti pajak, Ditjen Pajak masih
dihadapkan pada persoalan minimnya repatriasi dana. Sampai akhir tahap II,
komitmen repatriasi dana tercatat Rp141 triliun. Mengejar tambahan Rp859
triliun untuk sampai pada target Rp1.000 triliun hingga 31 Maret 2017 bukan
perkara mudah. Rendahnya kinerja repatriasi dana juga terlihat dari
realisasinya. Sampai 31 tenggat Desember 2016, realisasi repatriasi dana baru
mencapai Rp112,2 triliun. Nilai ini lebih rendah Rp29 triliun daripada total
komitmen repatriasi dana atas 304 wajib pajak (WP) yang mengikuti program
amnesti pajak.
Runyamnya, selisih antara komitmen dan realisasi juga
masih simpang siur. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat realisasi
repatriasi dana sampai akhir Januari 2017 ialah Rp105,5 triliun dengan total
komitmen dana repatriasi Rp143 triliun. Artinya, masih ada Rp38 triliun yang
belum kembali ke Tanah Air. Selisih itu dimungkinkan karena perbedaan
perlakuan. Pada periode I, dana yang masuk dianggap repatriasi. Memasuki
periode II, dana tersebut bisa diperlakukan sebagai repatriasi atau deklarasi
sesuai dengan pilihan WP. Artinya, dana itu tidak wajib dimasukkan ke
rekening khusus pada bank gateway.
Kemungkinan lain, WP memang tidak merealisasikan
repatriasi dana sesuai dengan komitmen. Alhasil, besaran denda atau tebusan
yang harus ditanggung relatif terhadap kesulitan dalam merepatriasi dana
sangat boleh jadi sudah ‘masuk hitungan’ sehingga WP lebih memilih membayar
penalti. Alternatifnya, WP mencoba manfaatkan celah hukum. Menurut peraturan,
WP yang tidak merepatriasi hartanya akan diberi peringatan. Setelah itu, WP
memberikan tanggapan dan baru dilakukan tindakan hukum. Hal ini potensial
ditafsirkan bahwa sebelum ada peringatan, WP tidak wajib membawa pulang
dananya.
Dari mana pun sumber problematikanya, masalah koordinasi,
pencatatan, dan persoalan teknis lainnya sepenuhnya berada dalam jangkauan
Ditjen Pajak sehingga semestinya bisa ditanggulangi. Alhasil, pada periode
III energi bisa tercurah pada pencapaian sasaran utama. Sasaran utama program
amnesti pajak sejatinya ialah repatriasi dana dan realisasi repatriasi dana
ialah ruhnya. Kepulangan dana WNI dari luar negeri diproyeksikan dalam jangka
pendek memberikan daya stimulasi ekonomi di dalam negeri yang menciptakan
efek pengganda dalam jangka panjang.
Efek pengganda tadi akan lebih signifikan terasa jika dana
repatriasi tersalur kepada sektor riil yang terkait erat dengan kegiatan
produksi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, target pertumbuhan
ekonomi 5,1% dan pengurangan pengangguran terbuka hingga 5,6% pada tahun ini
bisa tercapai. Celakanya, realisasi repatriasi dana masih menumpuk di
instrumen keuangan. Mayoritas dana repatriasi terkonsentrasi 71% pada
deposito, 9% di sektor nonkeuangan, 6% di bursa efek, 2% di manajer investasi,
dan 1% di asuransi. Sektor riil hanya kebagian porsi sisanya sebesar 11%.
Penumpukan dana repatriasi pada rekening deposito memang
akan menambah likuiditas perbankan yang saat ini sedang ketat. Dana
repatriasi niscaya menjadi tambahan amunisi bagi perbankan dalam menyalurkan
kreditnya. Proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini versi OJK bisa 9%-11%.
Bahkan, Bank Indonesia lebih optimistis, 10%-12%. Hanya, permintaan kredit
masih lesu sejalan dengan perlambatan ekonomi regional, nasional, dan global.
Konsekuensinya, dana repatriasi bisa jadi akan mubazir. Bank merasa nyaman
memutar dana di berbagai instrumen finansial yang cepat memberikan imbal
hasil.
Fenomena kemalasan bank (lazy bank) dikhawatirkan menjadi
keniscayaan sehingga pasar keuangan akan keropos. Kerapuhan sektor keuangan
secara teoretis ditengarai sebagai penyebab utama krisis ekonomi. Secara
empiris, tesis itu terbukti. Krisis moneter 1997/1998 dan krisis finansial
pada 2008 beranjak dari sana. Alhasil, terobosan regulasi diperlukan untuk menyiasati
kendala dalam mengalirkan dana repatriasi ke sektor riil. Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur investasi dana repatriasi harus dikelola pihak lain
(bank, manajer investasi, atau perusahaan perdagangan efek) minimal selama
tiga tahun selayaknya direvisi.
Bank, manajer investasi, atau perusahaan perdagangan efek
sebagai pengelola dana repatriasi niscaya memilih instrumen investasi yang
paling menguntungkan. Keuntungan dihitung atas dasar imbal hasil yang
diperoleh. Artinya, konsentrasi dana repatriasi di sektor keuangan didorong
lebih tingginya imbal hasil instrumen finansial. Jika logika itu dipakai,
investasi di sektor riil terutama di bidang infrastruktur jadi kurang
menarik. Pembiayaan infrastruktur tipikal berjangka panjang, masa pengembalian
paling lama, serta berisiko tinggi. Akibatnya, proyek infrastruktur tidak
kebagian pendanaan di saat tensi kebutuhan sangat tinggi.
Selama periode 2014-2019 kebutuhan pembiayaan
infrastruktur mencapai Rp5.500 triliun. Pemerintah melalui APBN hanya sanggup
menyediakan dana sekitar Rp300 triliun per tahun. Sisanya sebesar Rp4.000
triliun diharapkan berasal dari sokongan pihak swasta tidak hanya dana
repatriasi, tetapi juga dari lembaga keuangan. Persoalannya kembali lagi pada
masalah aliran dana repatriasi dari 21 bank gateway. Jika dana repatriasi ini
bisa berfungsi sebagai pemancing bagi tumbuhnya kredit perbankan, realisasi
pembangunan infrastruktur akan lancar. Konsekuensinya, kegiatan ekonomi yang
berkaitan erat dengan sendirinya akan menggeliat.
Dengan konfigurasi problematika semacam ini, pemerintah
diharapkan segera menerbitkan peraturan yang lebih mengunggulkan pilihan
investasi langsung ke sektor riil relatif terhadap investasi portofolio.
Dalam kalkulasi finansial, imbal hasil investasi langsung tentunya harus
lebih tinggi daripada investasi portofolio. Dalam konteks ini, proyek
prioritas pemerintah bisa menjadi alternatif instrumen repatriasi dana.
Pemerintah perlu bekerja sama dengan pihak swasta dalam format PPP (public
private partnership). Melalui skema ini, dana repatriasi tergiring pada
bidang usaha yang terkait langsung dengan kegiatan produksi sebagai
underlying-nya. Dengan demikian, dana repatriasi tidak melulu hilir-mudik di
sektor keuangan. Alhasil, program amnesti pajak di Indonesia bisa
mempertahankan predikat sebagai yang tersukses di dunia. Pada akhirnya,
kesuksesan akan tuntas jika ada ‘monumen’ yang kasat mata, yakni ketersediaan
infrastruktur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar