Pilkada
vs Pil KB
Ali Maschan Moesa ;
Wakil
Rais Syuriah PW NU Jatim;
Guru Besar Sosiologi Bahasa UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 24
Februari 2017
Semakin dewasa usia NKRI, manusia Indonesia sebagai warga
negara ternyata semakin ”bijak”. Komentar seperti itulah yang kerap kita
dengar seusai pilkada serentak 15 Februari 2017. Yaitu 101 pilkada yang
kondusif dan aman untuk memilih gubernur/bupati/wali kota di seluruh
Indonesia.
Namun, sebenarnya masih tersisa pertanyaan penting dalam
pesta demokrasi tersebut. Yaitu, mengapa masih begitu dominan dan kentalnya
”pendekatan elite” dalam kehidupan politik di negeri ini? Jawaban klasiknya
adalah karena elite adalah produsen politik, sedangkan masyarakat adalah
konsumen politik. Elite politik bagaikan pengusaha dan penjual yang
menjajakan dagangan mereka berupa agenda dan program politik yang kemudian
ditawarkan ke pasar terbuka yang bernama pilkada.
Secara substansial, kita berkeyakinan bahwa pilkada dan
pemilu tidaklah identik dengan demokrasi. Memang pilkada adalah instrumen
untuk melegitimasi kekuasaan. Tetapi, pilkada bukanlah obat ajaib yang mampu
menyelesaikan semua masalah yang menimpa wong cilik; padahal pemilik
kekuasaan dan kedaulatan adalah rakyat.
O’Donnell dan Schmitter, penulis buku Transition from
Authoritarian Rule, menyatakan bahwa transisi dari rezim otoriter menuju
”sesuatu yang lain” selalu belum jelas. Sesuatu itu bisa jadi ditegakkannya
demokrasi politik, bisa berupa pemulihan kembali suatu bentuk pemerintahan
otoriter baru yang lebih kejam. Bisa pula hasil akhirnya adalah ”sekadar”
rotasi kekuasaan pemerintah secara rutin, tetapi gagal menciptakan solusi
atas problem-problem pokok rakyat sebagai warga bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, buah era reformasi sejak Mei 1998
adalah terkikisnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, setelah 18
tahun era reformasi, realitas empiris yang kita rasakan adalah reformasi
”hanyalah” untuk sirkulasi kekuasaan. Dalam setiap pemilu dan pilkada, yang
terjadi adalah rakyat hanya diambil ”vote”-nya, bukan ”voice”-nya. Padahal,
justru voice atau aspirasi rakyatlah yang sangat penting untuk direspons dan
dituntaskan para penguasa.
Lebih lanjut, jika kita telusuri jauh ke belakang, tahun
1965 adalah peristiwa besar. Namun, tidak berarti ia mengembalikan demokrasi
terpimpin ke demokrasi sejati, tapi mengubahnya menjadi suatu sistem otokrasi
yang diyakini mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan membangun prasarana.
Sistem pemerintahan otoritarian selama 32 tahun tersebut ternyata menimbulkan
kesenjangan ekonomi dan sosial yang amat besar. Bahkan, output-nya adalah
tumbuh suburnya KKN dan merajalelanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power).
Lebih dari itu, terdapat warisan lain dari Orde Baru yang
masih mengakar di masyarakat, yaitu disorganisasi mendasar terhadap civil
society. Komunitas strategis tersebut belum mampu memfungsikan dirinya
sebagai ”artikulator” dari kepentingan publik sebagaimana prediksi teori
politik konvensional. Tampaknya, yang terjadi adalah banyak di antara mereka
yang menjalin aliansi taktis di dalam kelompok yang sejak dahulu
kontrareformasi, baik di level nasional maupun lokal.
Dalam perspektif kekuasaan, dahulu dikenal kekuasaan itu
bersifat supernatural yang berasal dari Tuhan. Itulah kekuasaan raja dan kaum
aristokrat sehingga para raja selalu berlindung di balik dalil suara Tuhan
adalah suara rakyat (vox Dei voxpopuli). Sedangkan dalam sistem demokrasi,
sumber kekuasaan adalah dari rakyat sehingga berlaku dalil suara rakyat
adalah suara Tuhan (vok populivox Dei).
Apa pun dan dari mana pun wujud serta sumber kekuasaan
itu, ia selalu menimbulkan ketidaksederajatan (unequality). Namun, yang harus
selalu diingat adalah ia selalu berimplikasi terhadap adanya tanggung jawab
dan kewajiban dari para penguasa. Eksistensi power tidak sekadar absah secara
formalitas. Namun, yang harus dicegah adalah terlalu banyak munculnya
ketidakadilan (injustice) yang dialami para buruh, petani, nelayan, dan
seluruh wong cilik.
Demikianlah, kita diingatkan agar selalu memihak mereka
yang diperlakukan tidak adil walaupun hal itu tidak memberikan kenikmatan
pragmatis. Adalah orang bijak yang bisa berempati dan merasa bersalah jika
terus-menerus memihak mereka golongan yang kuat.
Menyangkut kemiskinan wong cilik, data mutakhir Badan
Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sejak 2011 rasio Gini bertahan 0,41 dan
per Maret 2016 turun sedikit menjadi 0,397 atau turun 0,003 dari September
2015. Meski demikian, penghitungan kemiskinan di Indonesia didasarkan pada
pendapatan per kapita Rp 354.000 per bulan atau sekitar Rp 11.800 per hari.
Padahal, realitasnya angka itu terlalu rendah, bahkan untuk ukuran Indonesia.
Data lain dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat keempat
negara yang paling timpang di dunia. Hal itu terlihat antara lain dari
penguasaan 49,3 persen aset nasional yang hanya dimiliki 1 persen orang di
negeri tercinta ini. Apalagi ditambah data yang menyedihkan, jika ada bayi
lahir hari ini, dia langsung menanggung beban utang Rp 9,2 juta.
Walhasil, benarlah komentar wong cilik tentang pilkada,
yaitu pilkada itu memang beda dengan pil KB. Kalau pil KB, lupa minum obat
berakibat jadi (anak). Tapi, kalau pilkada, kalau sudah jadi (mendapatkan
kursi kekuasaan), mereka lupa (kepada wong cilik).
Akhirnya, simaklah dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang
bahaya besar jika para pemimpin bangsa tidak memperhatikan fakir miskin.
Beliau menyampaikan, akan muncul empat musibah, yaitu para pemimpin yang
kejam (za’imun dhalimun), aparat hukum yang khianat (hakimun khainun),
pertengkaran dan permusuhan dalam masyarakat (al-khushumah wa al-’adawah),
dan zaman menjadi sulit (masyaqqatu al-zaman). Semoga Tuhan melindungi kita.
Amin.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar