Teknologi
Finansial dan Pemberdayaan
A Prasetyantoko ;
Rektor
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 27 Februari 2017
Akhir-akhir ini, perekonomian global dihadapkan pada dua
kecenderungan besar. Pertama, meningkatnya gejala ketimpangan yang
implikasinya sudah terasa, baik dalam dunia politik maupun sosial. Kedua,
meningkatnya kemajuan teknologi digital yang telah mengubah lanskap bisnis,
sebagaimana ditunjukkan dengan gelombang Revolusi Industri 4.0.
Salah satu agenda global yang tengah dikembangkan dewasa
ini, seperti dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia, adalah
mengelaborasi kemajuan teknologi (digital) untuk mempersempit ketimpangan
melalui berbagai program pemberdayaan. Dalam konteks ini, perkembangan pesat
teknologi finansial (tekfin) atau layanan keuangan berbasis teknologi
(digital) menjadi sangat relevan. Sektor ini diyakini mampu memberikan akses
layanan keuangan kepada kelompok masyarakat hingga lapisan paling bawah.
Dari penduduk Indonesia sekitar 250 juta, sekitar 46
persennya berusia di bawah 30 tahun. Mereka adalah generasi yang relatif
melek terhadap teknologi digital. Diperkirakan, pada 2017, pengguna internet
akan mencapai lebih dari 110 juta jiwa. Sayangnya, sekitar 80 persen
penggunaan internet masih sebatas untuk media sosial.
Di lain pihak, tingkat pemahaman masyarakat kita terhadap
sektor keuangan masih relatif rendah, kendati terjadi peningkatan. Survei
Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) pada 2016 menunjukkan terjadi peningkatan indeks literasi keuangan
menjadi 29,66 persen dari 21,84 persen pada 2013. Sementara, indeks inklusi
keuangan juga meningkat menjadi 67,82 persen dari 59,74 persen pada 2013.
Kendati ada peningkatan signifikan, tetap saja lebih dari
30 persen penduduk Indonesia atau sekitar 75 juta jiwa sama sekali tak
memiliki akses keuangan. Untuk mengatasi hal tersebut, OJK mengeluarkan
Peraturan Nomor 19 Tahun 2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam
Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Maksudnya, agar akses keuangan bisa
dilakukan hingga pelosok paling jauh tanpa dibebani biaya pembukaan kantor
baru dan penambahan pegawai. Dari sisi pengguna, akses bisa didapatkan lebih
mudah dan murah.
Sistem ini masih mengandalkan perbankan. Namun, tak
tertutup kemungkinan perluasan akses keuangan pada masyarakat juga melibatkan
pelaku industri tekfin secara umum.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai transaksi tekfin
di Indonesia pada 2016 mencapai 14,5 miliar dollar AS. Namun, hampir semuanya
atau 99 persen masih terbatas untuk pembayaran. Adapun 0,3 persennya untuk
keperluan keuangan bisnis dan 0,8 persen untuk keuangan personal.
Sektor perbankan konvensional memiliki banyak keterbatasan
dalam meningkatkan keuangan inklusif secara masif. Mengingat perbankan tetap
harus taat pada persyaratan manajemen risiko dan pengenalan nasabah yang
diatur secara internasional, misalnya Basel II. Di sisi lain, sektor tekfin
lebih fleksibel dan leluasa mengingat basis regulasinya belum jelas. Kedua
sektor dengan genetika berbeda ini jika dikawinkan akan menghasilkan sistem
hibrida yang lebih berkesinambungan.
Tanpa regulasi ketat, sektor tekfin bisa menciptakan
gelembung keuangan melalui sistem perbankan bayangan (shadow banking system).
Namun, jika diatur terlalu ketat, akan mematikan potensi yang begitu besar,
termasuk dalam hal pemberdayaan. Integrasi perbankan dengan sektor tekfin
bisa dilakukan melalui berbagai aksi korporasi, seperti akuisisi, merger,
atau aliansi.
Integrasi perbankan dalam sektor tekfin secara umum akan
menghasilkan kreasi model bisnis yang bervariasi. Sebab, pada dasarnya,
tekfin bukanlah sekadar memanfaatkan perangkat teknologi dalam bisnis
keuangan, melainkan mengubah cara berpikir dan melakukan transformasi proses
bisnis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, cara pandang ini menjadi
relevan dan bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan perbankan konvensional.
Pada dasarnya, praktik pinjam-meminjam, pengelolaan
keuangan, dan saling membantu secara keuangan merupakan praktik yang secara
informal sudah berkembang lama dalam tradisi masyarakat melalui berbagai
cara. Tantangannya, menerjemahkan praktik yang sudah hidup secara informal
tersebut ke dalam sebuah tatanan perbankan dan sektor keuangan yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Begitulah salah satu butir kesimpulan dari survei yang
pernah dilakukan tim Unika Atma Jaya atas dukungan Pemerintah Kanada. Melalui
responden di empat kota besar (Medan, Makassar, Yogyakarta, dan Surabaya)
terlihat, tak maksimalnya program keuangan inklusif salah satunya akibat
ketidakmampuan perbankan memahami kebiasaan hidup masyarakat bawah ini.
Ke depan, paling tidak ada dua agenda besar agar
perkembangan tekfin bisa berkesinambungan. Pertama, memastikan tekfin berada
dalam ekosistem yang solid, baik dari segi perangkat teknologi maupun aturan
hukumnya. Kedua, memastikan agar potensi pelanggaran bisa diminimalkan,
seperti penggunaan tanda tangan digital dalam proses verifikasi, pengenalan
nasabah, keamanan data nasabah, dan perlindungan konsumen.
Dari sisi regulasi, pemisahan pengawasan sistem pembayaran
di bawah BI serta kegiatan Laku Pandai di bawah OJK bisa memunculkan celah
mengingat dalam praktiknya keduanya sering terjadi bersamaan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar