Memutus
Mata Rantai Kemiskinan
Nurul Lathiffah ;
Konsultan
Psikologi dan Penulis Buku
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2017
SEJAUH ini kita menyimak realitas bahwa pendidikan belum
bisa dijangkau semua lapisan masyarakat. Meski pemerintah telah berupaya
menjadikan pendidikan ramah bagi masyarakat miskin, tanpa kesadaran diri dan
perubahan sikap dari keluarga, pendidikan akan sulit dijadikan pemutus mata
rantai kemiskinan. Bahkan, jika sejak dini anak-anak kaum marginal diizinkan
hanya untuk bermain, bermain, dan bermain, serta jauh dari kebiasaan membaca,
kita bisa menyaksikan bahwa kemiskinan di negeri ini akan menjadi warisan
yang sulit dijeda. Menarik untuk kita kaji bersama bahwa melalui Program
Keluarga Harapan (PKH), pemerintah telah memberikan motivasi kepada keluarga
prasejahtera untuk melibatkan anak-anak mereka mengecap pendidikan formal
secara layak.
Program yang dinaungi Kementerian Sosial ini mensyaratkan
para pengurus keluarga (kaum ibu) untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jika
para ibu menyekolahkan anak-anak mereka mulai jenjang SD hingga SMA atau
sederajat, bantuan akan terus diberikan. Sebaliknya, jika peserta tidak
komitmen dan angka partisipasi kasar belajar siswa di sekolah tidak menyentuh
persentase 85 (baca: sering membolos), bantuan akan dipotong. Pemotongan
bantuan sebagai bentuk hukuman bagi anak-anak dari peserta program yang tidak
komitmen dengan pendidikan merupakan sebuah gebrakan tegas. Sebab, tidak
mustahil, anak-anak pamit untuk ke sekolah padahal ia tidak hadir. Perilaku
membolos memang disebabkan banyak hal, misalnya karena keengganan belajar.
Pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan jika dan
hanya jika anak-anak memiliki semangat dan daya juang yang tinggi dalam
belajar dan berprestasi. Sayangnya, tak banyak para orangtua yang menyadari
bahwa pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan. Kita sering menutup
mata dan enggan mengungkap kisah keberhasilan pendidikan yang ditempuh anak
dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Sering kali para orangtua
terlalu pesimistis dan memandang hitam harapan pendidikan cerah ketika
dirinya mengalami masa-masa sulit, terutama dalam aspek perekonomian
keluarga. Keberhasilan menempuh pendidikan bukan hanya membutuhkan dukungan
finansial, melainkan juga kecerdasan berjuang (adversity quotient). Sayangnya, banyak orangtua yang gagal
membentuk kecerdasan berjuang pada anak. Banyak keluarga miskin yang masih
percaya bahwa membekali anak dengan uang saku setara dengan teman-temannya
ialah cara terbaik mendukung pendidikan.
Sulit diwujudkan
Konsekuensi dari langkah 'memanja' anak secara finansial
secara akumulatif memberikan pukulan berat bagi keluarga miskin. Alhasil,
orangtua memandang pendidikan anak sebagai sebuah beban berat sehingga mereka
memberi label pendidikan mahal bukan semata-mata dari biaya pendidikan,
melainkan justru dari biaya harian (nonpendidikan). Jika para orangtua masih
berpikir bahwa biaya menjadi kendala kesuksesan belajar anak, akan sulit
mewujudkan harapan pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai pemutus
mata rantai kemiskinan. Agar pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan,
keluarga harus mampu mengajarkan nilai-nilai perjuangan bagi anak. Sangat
mungkin mencapai prestasi tinggi apabila ditempuh dengan semangat belajar yang
optimal.
Tidak mudah memang melakukan edukasi bagi para orangtua
agar memahami bahwa di balik keterbatasan (ekonomi) sesungguhnya tersimpan
kekuatan untuk belajar dengan gigih. Terlebih bila orangtua telanjur sering
memanjakan anak-anaknya sebagai kompensasi atas ketidakberhasilannya dalam
membahagiakan anak secara lahir. Dalam jangka panjang, kita memerlukan sebuah
mekanisme edukasi pada keluarga prasejahtera agar mampu memberikan motivasi
belajar bagi putra-putrinya, bukan hanya angka partisipasi kasar semata. Dari
titik inilah seharusnya para orangtua mendapatkan pemahaman bahwa mendidik
anak tidak sama dengan memberi kesenangan lahir. Sebaliknya, orangtua harus
mampu memberikan kesenangan batin pada anak, yang tak harus didapat dengan
kilau kemewahan.
Bahkan dengan belajar kecewa, anak justru mendapat
kepuasan batin. Anak pun akan belajar bahwa menahan rasa sakit di awal untuk
memperoleh kebahagiaan merupakan suatu hal yang memberi rasa positif kepada
diri sendiri. Dalam kasus memberikan bekal uang jajan, misalnya, orangtua
harus memberikan pemahaman kepada anak agar tidak berperilaku konsumtif.
Orangtua perlu menegaskan kebiasaan menahan dan 'puasa' pada anak dengan
mengizinkan mereka menabung dari uang saku untuk membeli barang-barang yang
dibutuhkan sebagai penunjang kebutuhan belajar. Pujian atas prestasi psikis
anak dalam menahan keinginan di awal merupakan stimulan yang baik untuk
menciptakan anak-anak yang tangguh dan berdaya juang. Untuk membesarkan anak
dengan kualitas daya juang yang dapat menuntun pada keberhasilan, orangtua
juga harus memberi teladan.
Sedapat mungkin, orangtua harus tegar untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan putra-putrinya. Bekerja apa pun asalkan halal dan baik
harus diupayakan. Prinsip bahwa menahan keinginan di awal untuk mendapat
kepuasan di akhir merupakan bekal untuk menjemput kesuksesan. Jika sejak
kecil anak dilatih untuk mau prihatin dan menahan keinginan (bermain dan
bersenang-senang, melakukan konsumsi secara boros, dan sebagainya), anak akan
belajar untuk menjadi pribadi yang tekun. Ia juga akan merasakan dampak
positif dari kerja keras, di antaranya mendapat nilai memuaskan. Dunia anak
merupakan dunia bermain. Namun, bermain yang terlampau akan membuat anak
merasa bahwa belajar merupakan suatu beban. Akibatnya, anak akan sulit untuk
memiliki hasrat belajar. Dalam realita di lapangan, sering terlihat betapa
para orangtua membebaskan anak-anaknya bermain, yang berarti juga membebaskan
mereka terpapar virus komunikasi negatif.
Bermain tanpa pengawasan orangtua kadang membuat anak
menjadi korban bullying, atau bahkan menjadi pelaku. Dari sudut pandang
orangtua, melepas anak-anak bermain tanpa kontrol kadang menjadi sebuah
kesenangan tersendiri. Dengan melepas anak, mereka berpikir bisa bebas
bekerja, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan asyik dengan aktivitas
tanpa gangguan. Mereka lupa bahwa dengan melepas anak ke dalam rimba
permainan tanpa kontrol akan menjadikan anak mengalami euforia bermain
sehingga sering mengalami kegagalan dalam menemukan keasyikan dalam belajar.
Anak yang terlalu asyik bermain juga cenderung memiliki
kualitas konsentrasi yang buruk sehingga membuatnya tak memiliki prestasi
belajar yang baik. Maka, para orangtua dari keluarga prasejahtera juga harus
memahami bahwa penting untuk memberikan latihan konsentrasi dan kesabaran
pada diri anak. Catatan pentingnya, orangtua harus menanamkan pesan dengan
bahasa yang motivatif dan tidak menghakimi anak. Orangtua juga perlu
menggunakan nada yang lembut dan kalimat penuh kasih sehingga mampu
menimbulkan getaran semangat bagi buah hati. Prestasi dan keberhasilan
meretas jalan sukses selalu dibangun dengan perjuangan, kesabaran, dan
kegigihan.
Jika orangtua berhasil menanamkan daya juang pada anak,
mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang bersemangat, termasuk dalam menempuh
pendidikan. Seandainya tidak memiliki buku, anak-anak yang memiliki daya
juang tinggi akan rela meminjam di perpustakaan, mencatat, atau bahkan
menghafal materi pelajaran. Anak-anak ibarat kertas putih, dan orangtualah
yang memberikan warna dan torehan. Tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan
kecuali menorehkan anak dengan pelajaran hidup sejak dini. Ketika sebuah
keluarga prasejahtera berhasil mencerdaskan daya juang anak, ketika itu pula
mereka menggenggam erat harapan untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Wallahu'alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar