Pemimpin
Predator
Asep Sumaryana ;
Kepala
Departemen Administrasi Publik
FISIP Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 20
Februari 2017
Bila tanggal 15 Februari lalu sejumlah daerah menentukan
pilihan untuk menjadi pemimpinnya, pilihannya akan dirasakan dalam lima tahun
ke depan. Boleh jadi rakyat terkecoh dengan beragam cara digunakan, termasuk
suap, tekanan, bahkan saling fitnah agar dapat berhasil memenangkan pilkada.
Mungkin juga upaya mengelabui rakyat agar suaranya diberikan kepada dirinya.
Tidak heran bila masih ada kampanye hitam dijalankan. Atau, penggunaan
beragam atribut yang memungkinkan pamor dirinya terus berkembang naik. Seluruh
praktik yang dijalankan di atas bisa jadi berangkat dari pertimbangan bila
cara tersebut masih efektif untuk meraih kemenangan.
Hal demikian pun boleh dimaknai bila rakyat masih mudah
dirayu dengan sejumlah janji yang kemungkinan sulit diwujudkan. Hal seperti
itu pun berkenaan dengan wawasan dan kedewasaan rakyat yang masih perlu
dibangun melalui pendidikan politik. Bila dibiarkan, rakyat akan banyak
membuat kekeliruan untuk hidupnya di lima tahun ke depan buat memenuhi
kebutuhan dirinya yang sesaat.
100 Hari
Dalam pandangan Hirshman (1970), voice menjadi ciri
kesetiaan, maka perang voice semakin kencang menjelang pilkada serentak 2017.
Pada akhirnya kemampuan meyakinkan rakyat semakin dipertaruhkan agar suaranya
semakin didengar dan diikuti. Dampaknya, menjadi tidak jelas mana yang
bertumpu pada kepentingan bangsa dan tanah air serta mana yang mengemas
kepentingan diri dan kelompoknya dengan mengatasnamakan bangsa ini. Tatkala
semakin banyak yang tertipu oleh kemasan tersebut maka hal tersebut menguatkan
bila kualitas SDM bangsa ini masih perlu dibangun.
Bila SDM bangsa yang harus dibangun, yang pertama dan
utama pastilah membangun SDM aparaturnya. Denhardt (2003) yang
menggelindingkan new public service, maka kekuatan aparat menjadi penting
agar pelayanan bagi citizen dapat dijalankan. Demikian halnya dengan
perjuangan untuk mengokohkanpemikiransertakesejahteraan rakyat menjadi utama
agar tidak mudah diperdaya dengan beragam hal yang menyesatkan. Oleh sebab
itu, saran untuk melepaskan aparat dalam konteks pilkada menjadi pemikiran
bersama agar mereka tidak dibuat resah sepanjang proses pemilihan
pemimpinnya.
Para suraman (1990) mengharapkan agar ada jaminan dalam
melaksanakan pemerintahannya. Jaminan tersebut untuk mewujudkan visi, misi,
serta janjinya dalam kampanye. Hal demikian patut dibuktikan dengan kerja
nyata dalam kurun waktu tertentu. Tidak heran jika perlu ada ”kinerja 100
hari bupati/wali kota/gubernur” untuk mengetahui kesungguhan dirinya dalam
membangun rakyatnya.
Ketika rapor merah didapat, patut juga ada mekanisme yang
disusun legislatif serta rakyat untuk mengingatkan mereka atas apa yang
dijanjikannya dalam kampanye. Bila dalam 100 hari terdapat progres yang
menguatkan visinya, pemimpin tersebut dapat dikatakan reliable untuk diteruskan
membangun daerahnya demi rakyat. Agar hal seperti itu dapat diwujudkan,
penataan aparat menjadi penting agar the right man in the right place. Dengan
menghindarkan like and dislike, pemimpin patut menakar seluruh aparatnya agar
profesional.
Kendati tidak mudah melakukannya, penataan tersebut akan
menghasilkan kinerja dirinya sebagai kepala daerah. Dengan keobjektifan dalam
menilai aparatnya, keberhasilan memimpin akan dapat dirasakan karena hanya
aparat yang kompeten yang mampu mengerjakan tugasnya dengan baik.
Sopir
Kompetensi menjadi penting seperti Bowman (2010) tuliskan.
Aparat dituntut memiliki kompetensi teknis, pejabat, ataupun elite daerah
terpilih pastilah kompetensi etika dan leadership agar mampu menggerakkan
aparat tanpa melanggar etika. Sebagai pengendali, dirinya ibarat sopir yang
menentukan keselamatan penumpangnya. Ketertiban dan kepiawaian mengendalikan
roda pemerintahan, dirinya akan mampu membawa kesejahteraan aparat dan juga
rakyatnya.
Sebagai sopir, dirinya harus memberikan servis kepada
rakyat tanpa memihak berdasarkan konstituen dalam pilkada lalu. Unsur
responsiveness pun pastilah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
pelayanan agar keluhan dapat direspons secara dini dan partisipasi rakyat
dapat digalang. Keberhasilan tersebut diawali konsolidasi internal dalam
menyatupadukan pemikiran dan langkah di birokrasi yang dipimpinnya. Bisa jadi
untuk itu dirinya berhadapan dengan sejumlah calo dan preman yang menjadi
pendukung dalam pilkada yang menghendaki konsesi tertentu.
Kemampuan memadukan nilai agama, negara dan budaya untuk
bertindak, maka empati pun akan didapat dengan sendirinya. Perhatian serta
keinginannya untuk merasakan kebutuhan rakyat terus dikembangkan dengan
humble. Rakyat dijadikan sasaran utama pengabdiannya. Kebutuhan mereka akan
ditempatkan terhormat kendati harus mengorbankan kepentingan dirinya, calo,
serta preman yang berseliweran dalam kehidupannya.
Dengan semangat seperti itu, praktik pungli, suap,
korupsi, serta sejumlah bancakan anggaran akan ditepisnya karena akan melukai
hati rakyat. Untuk merealisasikan seluruh hal di atas, seluruh kebijakannya
perlu diketahui secara vertikal maupun horizontal. Transmisinya Edward III
(1980) bisa berhasil bila terdapat clarity. Keberhasilan memimpin dapat
berguna bila mampu melakukan konsistensi dalam setiap ucapan dan tindakan
dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuatnya.
Kemampuan ini akan mengokohkan kenyamanan bekerja aparat
serta pejabat di bawahnya serta memuaskan pelayanan kepada rakyatnya. Hanya,
halinimenjadi sulit ketika sejumlah janji diobral dalam pilkada dan siap
ditagihkan sejumlah pihak di luarnya. Bila kegamangan terbangun dalam diri
pemimpin, inkonsistensi bisa menguat dan pelanggaran kebijakan dapat
senantiasa terjadi. Bisa jadi pemimpin model itu digerakkan pihak lain di
belakangnya sehingga posisinya tidak berdaya pula. Dampak ini akan memangsa
seluruh janji yang diobralkan dalam kampanye serta pelanggaran pun menjadi
biasa.
Dalam kondisi ini, kenyamanan bekerja aparat dan pejabat
menjadi jauh karena dibayangi ketakutan. Praktik ini akan menjauhkan kepuasan
pelayanan kepada rakyatnya dan akhirnya rakyat menjadi resah dan tidak
percaya kepada pemimpinnya. Kekacauan bisa terjadi dalam roda
pemerintahannya. Tupoksiyangadabisaberantakan karena yang berkuasa adalah perintah
dirinya yang bisa sering berubah sesuai syahwat diri dan penggeraknya.
Birokrasi pun akan mencekam seperti halnya rakyat yang terkekang dalam
keresahan.
Bisa jadi rakyat tidak introspeksi diri bahwa hal tersebut
akibat pilihan sebelumnya dalam pilkada. Bisa jadi rakyat hanya menganggap
hal itu seperti biasa akibat kebodohannya dalam hidup bernegara. Untuk itu
perlu ada reformasi dalam sikap dan pemikiran rakyat agar tidak menyepelekan
kehidupan bernegara yang telah diperjuangkan founding father puluhan tahun
lalu. Kehadiran akademisi serta pemuka agama menjadi penting untuk
berintegrasi membangun kehidupan sosial-politik rakyat. Kecerdasan sosial
seperti Goleman (2002) ungkapkan menjadi penting agar pikirannya tidak kerdil
sehingga memiliki tanggung jawab sosial yang baik.
Terciptanya rakyat yang cerdas ini akan mempertimbangkan
hadirnya pemimpin yang amanah. Namun, bila tidak, kehadiran pemimpin predator
sangat besar peluangnya. Untuk itu, pilkada 2017 harus mampu memberikan
penyadaran kepada rakyat dan aparat agar bisa memilih pemimpinnya secara
cerdas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar