Buku,
Musik, dan Festival
Muhidin M Dahlan ;
Kerani
@warungarsip
|
JAWA
POS, 23
Februari 2017
’’Membaca tak sebatas mengeja
huruf. Membaca itu kerja menaut dan mengaitkan ide. Maka sebagai awal,
bacalah buku sebanyak-banyaknya.’’ ~ Najwa Shihab,
Duta Baca Indonesia
BISAKAH buku dan musik berada dalam satu panggung
pergelaran? Bisa! Yang datang ke ’’MocoSik: Book and Music Fest’’ menemui
sebuah peristiwa yang ganjil, beyond.
MocoSik adalah akronim ’’Moco’’ (Jawa: baca) dan ’’Sik’’
(musik). Bisa pula MocoSik diartikan moco sik, baca dulu, ah. Sebuah kalimat
cakapan yang menginterupsi, jeda.
Membaca sejatinya ritus jeda; perjalanan menuju keheningan
pedalaman batin, pergolakan pikiran dalam kesunyatan. Seperti halnya musik,
praktik moco, kerja baca, adalah relaksasi sekaligus menjemput kegembiraan
lewat gerak yang dipicu salah satu saraf terpenting manusia, yakni indra
dengar. Jika irama dalam buku adalah komposisi diksi dan tanda baca,
nada-nada teratur dalam musik itu hasil komposisi balok-balok not.
Festival bertajuk ’’Membaca Musik, Menyanyikan Buku’’ ini
sesungguhnya membaca tanda-tanda baca dalam performa nada di balok not itu.
Diselenggarakan Rajawali Indonesia Communication yang bekerja sama dengan
Kampung Buku Jogja, 12–14 Februari 2017 di Jogja Expo Center, Jogjakarta,
komposisi itu menjadi permulaan yang menjanjikan.
Dalam sejarah perbukuan –dan musik–, festival ala MocoSik
ini merupakan yang pertama digelar dengan menjadikan buku sebagai tiket tanda
masuk. Menampilkan panggung musik dan panggung buku secara berimbang dalam
sebuah festival menjadikan dua entitas kreatif ini bisa ’’berdialog’’. Atau
dalam sebaris kalimat penulis dan aktivis literasi bergerak Nirwan Ahmad
Arsuka: ’’Leluhur sastra sesungguhnya adalah musik. Tekslah yang membuatnya
berbeda. Tanpa teks, yang ada ialah musik.’’
Ini bukan soal buku-musik atau musik-buku. Ini adalah
ihwal mendialogkan dua modus budaya kreatif dalam sebuah rekayasa; mulai
rekayasa manajemen tiket, model venue, hingga tata panggung.
Benar, kita kerap saksikan setiap perhelatan pekan raya
buku diisi dengan acara-acara musik. Namun, musik hanya sebagai pengiring
acara. Musik bukan subjek utama. Sebagai pengisi acara –itu pun dengan
penampil ’’apa adanya’’– musik menjadi sekadar penghibur untuk para pembeli
buku.
Ketika mengoordinasikan sebuah riset almanak musik bersama
Kelik M. Nugroho yang kemudian dibukukan menjadi buku Almanak Musik
Indonesia, saya menemukan hal yang juga sebaliknya. Buku menjadi medium yang
periferal. Bagi musisi, buku dalam musik tak lebih dari medium otobiografi si
musisi.
Maka, kita kemudian menemukan secara gradual kronika musik
–tidak terlalu sering– musisi fulan meluncurkan buku otobiografinya. Atau,
pengarang lagu fulanah membikin antologi cerita pendek. Atau sejarah sebuah
band atau kota jenis musik tertentu yang dibukukan.
Pergelaran festival semacam MocoSik ini mengajukan
keduanya sebagai subjek-subjek; tak ada yang lebih tinggi dan rendah dari
lainnya. Buku dan musik berada dalam satu panggung yang meriah dan sekaligus
sublim; saat pekerja buku melihat musik sebagai sebuah kegairahan budaya
populer yang tak pernah lekang dan pekerja musik memandang buku sebagai
rekanan yang hangat dalam peradaban literer.
Buku dan musik atau musik dan buku adalah dunia yang sebetulnya
dekat, tapi dalam kenyataannya menjauh dan berjalan sendiri. Oleh Kampung
Buku Jogja (KBJ) –promotor peristiwa buku di Jogja paling militan dalam dua
tahun terakhir–, buku terkadang tak sampai ke pangkuan pembaca bisa jadi
karena metode dakwahnya yang kelewat complicated.
Empat sekawan dalam KBJ ini, yakni Arief Abdulrakhim, Adhe
Maruf, W.K. Eka Putra, dan Irwan Bajang, mencoba perlawatan dengan menemui
bidang kreatif lain yang saat ini digandrungi; bukan saja musik sebetulnya,
tapi bisa merambat ke seni rupa semacam ArtJog atau KustomFest yang
penyelenggaraannya reguler.
Perjumpaan KBJ dengan Rajawali Indonesia Communication,
sebuah lembaga penyelenggara pentas-pentas musik berskala internasional,
kemudian menemukan titik-kreatif yang tak biasa. Saya kira ini menjadi mudah
dan cepat terealisasi karena CEO Rajawali, Anas Syahrul Alimi, dalam sejarah
perbukuan di Jogjakarta dikenal sebagai salah satu penggerak penerbitan
independen di kurun 1999 hingga 2004.
Dibesarkan dalam dua ekosistem kebudayaan, yakni keseruan
dan kehangatan teks-teks buku di dunia penerbitan humaniora dan memilih
promotor musik sebagai jalan profesional, MocoSik sebetulnya bisa diringkas
sebagai bagian dari nukleus inti jalan hidup Anas Syahrul Alimi.
Setidaknya, hadirnya MocoSik Fest menyegarkan modus
penyelenggaraan peristiwa perbukuan nasional yang makin ke sini makin
kehilangan kegairahan dan kreativitasnya. Pekan raya buku dan
pergelaran-pergelaran buku turunannya nyaris kehabisan gagasan untuk
menaikkan kembali marwahnya dari sekadar ’’pekan raya buku berdiskon’’.
MocoSik juga membikin pekerja buku bukan sekadar sebuah komune yang
menghabiskan umur mengeluhkan pajak kertas, angka melek baca yang memalukan,
dan saling bunuh di rak toko buku. Selalu ada peluang dan kesempatan sebuah
generasi menempatkan buku dalam sebuah atmosfer bernama siasat kebudayaan.
Sebagai entitas yang hidup dalam ekosistem kreativitas,
buku lewat hubungan kekerabatannya dengan musik belum benar-benar berakhir
masa suramnya. Melihat duta baca Najwa Shihab demikian bersemangat di hadapan
2 ribu peserta kala membicarakan buku yang dipandu musisi Tompi dan Glenn
Fredly menerbitkan harapan adanya komune yang siang malam menahan api
literasi agar terus menyala dalam sapuan angin iliterasi omong-kosong di jendela
kecil gawai kita.
Tanpa kemampuan literasi, demikian musisi Tompi berseru,
kita tak berpijak pada argumentasi, melainkan asumsi-asumsi belaka. Dan
pendapat yang ditopang asumsi seperti itulah yang menjadi penyumbang utama
hoax yang mematikan trust kita sebagai bangsa.
Jalan ke arah itu, dalam konteks MocoSik, adalah dengan
berusaha memperpendek jarak antara buku dan para pemegang lisensi kemudaan
saat ini, yakni generasi milenial.
Caranya? Menghadirkan dan mendekatkan wajah-wajah penulis
Indonesia yang memberi pikiran dan mewakafkan tenaga dan usia mereka untuk
gagasan keindonesiaan lewat puisi, prosa, esai, pidato, dan filsafat dalam
bentuk panel-panel raksasa. Ke mana pun para penonton musik ini berpaling,
selalu terantuk pada wajah dan kutipan-kutipan terpilih dari penulis dan
pemikir-pemikir keindonesiaan kita itu.
Panel-panel yang memanjakan mata itu digarap dengan baik
oleh seniman buku senior Ong Hari Wahyu. Ong sudah lama waswas, bukan saja
sebuah generasi memudar ingatannya kepada para penyumbang gagasan
keindonesiaan itu, tapi juga wajah-wajah mereka. Dari panel wajah Soekarno,
Hatta, hingga Gus Dur; dari Kartini hingga N.H. Dini; dari Chairil, Rendra,
hingga Linus Suryadi; dari Pram, Kayam, hingga Kuntowijoyo; dan dari Tirto,
Marco, Semaoen, hingga Thukul.
Ong berpikir sederhana saja, paling tidak 40 panel lebih
itu menggelitik generasi yang selalu menjadi korban ’’nyinyir statistik 0
baca’’ ini untuk mencari tahu kemudian dengan cara mula-mula menjadikannya
sebagai latar berfoto untuk dibagi di akun media sosial mereka masing-masing.
Penonton yang Memegang Buku
’’Ayo, kawan-kawan, angkat semua buku kalian!’’ Dan,
seperti itulah pemandangan saat vokalis kelompok musik Shaggydog asal Jogja
memberikan aba-aba: ribuan penonton konser musik itu mengangkat tangan dan
nyaris tak satu pun yang tak memegang buku.
Pemandangan serupa mirip foto-foto yang disebar para
pemanggul buku keras kepala dari pojok-pojok belantara yang nirakses buku,
yakni saat anak-anak yang haus bacaan mengangkat tinggi-tinggi buku-buku yang
mendatangi mereka dalam sebuah perjalanan yang diperjuangkan.
Demikianlah, saat pasar politik merampas dan membombardir
keheningan sanubari kita, nun jauh di sana pegiat dan aktivis literasi yang
bergerak dari kampung ke kampung, dari hutan ke hutan, atau dari pulau ke
pulau, digembirakan bahwa panggung pergerakan buku belum habis benar dalam
khazanah kebudayaan populer kiwari.
Selama tiga hari dengan sembilan penampil di panggung
musik MocoSik, kita melihat untuk kali pertama dalam sejarah konser musik
semua penonton memegang buku, mengangkatnya tinggi-tinggi dalam kegembiraan.
Tiket konser mereka yang tak lekang itu kemudian menghuni rak buku di
kamar-kamar inkubasi mereka sepulang menonton peristiwa musik.
Memegang buku sambil menonton konser musik barangkali
tampak banal dan nggaya, sebagaimana kita melihat bagaimana ibu-ibu dengan
waswas di sebuah kampung di Banten menanti andong membawa buku untuk
anak-anak mereka yang menunggu bacaan datang.
Seperti dilaporkan Nirwan Ahmad Arsuka dalam pidato
literasinya berjudul Tentang Sastra dan Musik Semesta, keberadaan pustakawan
bergerak itu memungkinkan buku sebagai oksigen peradaban bangsa bisa
menjangkau bagian tubuh terjauh. Dan itu bisa terjadi berkat jasa laskar sel
darah merah yang menjadi metafora untuk menyebut pegiat pustaka yang
menyalakan lilin harapan tersebut.
Kita membutuhkan kerja-kerja seperti itu saat ’’kebudayaan
baru’’ ini mewabah: keinginan berkomentar di media sosial membiak sedemikian
rupa ketimbang kesabaran membaca buku.
Pada akhirnya, menenteng buku di acara musik –ya,
menenteng buku– sudah menjadi jalan permulaan yang lebih baik ketimbang tidak
sama sekali. Mirip dengan sesuatu yang sudah kita saksikan: menenteng buku
dalam bingkai kamera film-film bioskop.
Dan, soal yang beginian ini sudah dicontohkan secara
paripurna untuk kali pertama di hadapan rakyat banyak oleh Yang Terhormat
Bapak Presiden Joko Widodo sehari menjelang Hari Pers Nasional 2017 di Kota
Ambon. Sosok yang menaiki tampuk kekuasaan nomor satu republik ini dengan
citra sebagai penonton musik yang pintar itu akhirnya menyentuh buku di
purnama kedua tahun 2017 atau nyaris 1.000 hari sejak mesin kekuasaan
untuknya dinyalakan.
Mengikuti teladan citrawi Bapak Presiden Yang Terhormat,
menonton konser musik sambil menenteng buku adalah jalan doa awal menuju
ikhtiar besar membaca musik (lebih tekun) dan menyanyikan buku (lebih
sublim). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar