Saudi
dan Ekspansi Wahabisme ke Dunia Islam
Ibnu Burdah ;
Pemerhati
Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 22
Februari 2017
Kunjungan delegasi Parlemen (Majelis Syura) Arab Saudi ke
Indonesia 16 Februari lalu menjadi pengantar bagi rencana kunjungan Raja
Salman ke Indonesia pada 1–9 Maret mendatang. Setelah 46 tahun tak ada satu
pun raja Saudi yang datang ke Indonesia, seolah-olah tiba-tiba kerajaan itu
memandang Indonesia sebagai negara yang sangat penting.
Rencananya, kedatangan raja disertai hampir seluruh
menteri, rombongan pejabat dalam jumlah sangat besar, dan para pengusaha
kakap selama sembilan hari di Indonesia. Rencana kunjungan tersebut terasa
”aneh” karena selama ini hampir seluruh presiden RI pernah berkunjung ke
negara itu, tapi tak ada satu pun kunjungan balasan.
Betapapun, berita tersebut tentu menggembirakan. Kita
perlu menyambut kedatangan mereka. Sebab, mereka juga saudara kita sesama
umat manusia (juga sesama muslim). Dan kita –sebagaimana mereka– memiliki
kepentingan yang luas dengan Saudi, baik itu soal perlindungan TKI, kuota
haji, investasi, dan seterusnya. Tapi, kita bagaimanapun harus tetap menjaga
sikap kehati-hatian terkait dengan negara tersebut. Di samping keterlibatan
dalam konflik yang ganas di Yaman, Syria, dan Iraq serta permusuhan yang
dalam terhadap Syiah-Iran, negara itu adalah sponsor utama penyebaran
Wahabisme.
Keragaman
Di tengah lingkungan baru yang menuntut sikap toleran
terhadap keberagaman, Wahabisme yang kaku dan konservatif justru berkembang
pesat di dunia Islam. Media-media baru dan percepatan sarana transportasi
menciptakan peningkatan dan masifikasi interaksi antarkelompok yang beragam
di lingkungan global, baik dunia nyata maupun virtual. Dan lingkungan itu
jelas menuntut dikembangkannya sikap yang kosmopolitan, inklusif, dan ramah
dalam melihat perbedaan, bukan sebaliknya.
Faktanya, paham-paham keislaman yang tidak ramah dengan
perbedaan justru berkembang pesat di negara-negara berpenduduk muslim. Salah
satu paham itu adalah Wahabisme. Mengapa Wahabisme berkembang cukup pesat di
negara-negara berpenduduk muslim, mulai Maroko dan Mauritania di ujung Barat
hingga ke Indonesia di ujung Timur? Setidaknya kehadiran mereka sangat
menonjol di ruang-ruang publik.
Jawaban yang mengemuka biasanya sederhana, yakni peran
aktor kuat dan kaya raya Kerajaan Saudi atau aktor-aktor yang lebih personal
lain. Saudi memiliki segalanya untuk menyebarkan paham itu ke seluruh penjuru
dunia Islam, termasuk Indonesia. Mereka memiliki legitimasi keagamaan kuat
dengan penguasaan atas Makkah dan Madinah.
Mereka memiliki kemampuan finansial yang melimpah dari
minyak. Legitimasi keagamaan dan kekuatan ekonomi kerajaan itu membuat
negara-negara berpenduduk muslim memiliki kepentingan yang begitu besar
terhadap Saudi, termasuk Indonesia.
Pada titik inilah penyebaran paham Wahabi berlangsung
begitu masif. Bisa dibayangkan jika setiap tahun saja ada 5 juta jamaah haji
dan jumlah yang hampir sama untuk jamaah umrah. Setiap jamaah membawa
oleh-oleh berupa buku-buku keislaman Wahabi, brosur, dan kaset yang dibagikan
secara gratis. Berapa pula jumlah masjid, madrasah, pesantren, Islamic
Center, dan universitas yang didirikan atau dibantu pembangunannya oleh
penyandang-penyandang dana di bawah Rabithah Al Alam Al Islami yang merupakan
sayap sosial keagamaan Saudi di dunia.
Faktor Kerajaan Saudi begitu dominan dalam penyebaran
paham Wahabi ke dunia Islam. Kekuatan besar Saudi itu berubah menjadi
agresivisme secara luar biasa di tengah semakin gencarnya Iran merentangkan
sayap pengaruhnya di banyak negara muslim sejak 1979 serta tekanan Arab
Spring yang begitu kuat.
Namun, persebaran Wahabisme bukan sepenuhnya hasil dari
keringat dan minyak Saudi. Ada beberapa faktor lain yang mendorong penguatan
dan perluasan pengaruh Wahabisme itu di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Pertama, di banyak negara muslim, keran kebebasan mulai
terbuka. Dalam situasi ini, kelompok-kelompok yang semula sedikit tiarap
kemudian tampil ke permukaan, bahkan dengan suara yang lebih nyaring daripada
kelompok mayoritas. Dengan dukungan finansial kuat, kelompok kecil itu bisa
memiliki saluran media seperti jaringan TV dan radio Rodja yang tidak
dimiliki kelompok mayoritas.
Kedua, banyaknya orang yang hidup dari mempromosikan
aliran ini. Sulit dimungkiri, hubungan kelompok-kelompok Wahabi lokal dengan
Saudi atau Kuwait atau Jordania diwarnai hubungan ”finansial” yang kental,
kendati tidak semuanya, terutama dalam bentuk-bentuk bantuan sosial dan
keagamaan. Di tengah masyarakat kebanyakan negeri muslim dengan tingkat
ekonomi lemah, orang-orang dengan otoritas menyalurkan bantuan ini tentu
memiliki daya tawar yang tinggi untuk masuk di masyarakat.
Ketiga, jargon kembali ke Alquran dan hadis, Islam yang
murni dan sebagainya, serta salafuna as-salih merupakan sesuatu yang memiliki
daya tarik hebat di masyarakat yang didesak modernisme dan kapitalisme yang
merasuk hingga ke sumsum kehidupan umat Islam. Jargon hidup ala salafuna
as-salih memiliki daya pikat yang menyilaukan banyak orang kendati mereka
juga tetap menikmati perangkat-perangkat modernitas seperti HP, pesawat, dan
TV. Bagi orang yang tak memiliki latar belakang pendidikan keislaman memadai
tetapi punya semangat keagamaan yang sangat kuat, jargon-jargon semacam itu
sungguh memiliki daya pikat kuat.
Pada titik itulah, agresivitas Saudi di dunia Islam dan
faktor-faktor yang disebutkan di atas menghasilkan perluasan pengikut
Wahabisme di dunia Islam. Kendati perluasan itu sering pula diiringi konflik
dan perpecahan di internal mereka sendiri secara tajam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar