Demokrasi
Permen Karet
Budiarto Shambazy ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 25 Februari 2017
Dalam acara pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu (22/2),
Presiden Joko Widodo mengatakan demokrasi kita sudah kebablasan.
"Demokrasi yang berkembang saat ini memang sudah kebablasan.
Aliran-aliran ekstremis hingga ujaran kebencian, saling hujat dan fitnah
terus berkembang. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dijalankan dengan
optimal," kata Presiden.
Kalau tidak diatasi, Presiden Jokowi khawatir akan
mengarah pada upaya memecah belah bangsa. Untuk itu, Jokowi mengatakan kunci
dari semua masalah tersebut adalah penegakan hukum. "Kuncinya dalam
demokrasi yang kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas
tidak perlu ragu," kata Jokowi.
Demokrasi artinya sebuah bentuk pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dipercayakan kepada para
politisi yang dipilih melalui pemilu bebas. Kebablasan artinya terlewat dari
batas atau tujuan yang sudah ditentukan alias keterlaluan.
Kita sudah hampir 72 tahun mempraktikkan tiga jenis
demokrasi sejak merdeka. Ada demokrasi liberal ala Barat periode 1945-1959,
Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno periode 1959-1967, Demokrasi Pancasila ala
Pak Harto-Pak Habibie periode 1967-1999, dan kembali ke demokrasi liberal
sejak Reformasi 1999 sampai sekarang.
Pada periode demokrasi liberal 1945-1959, tak sedikit yang
kecewa dengan ingar bingar politik. Kabinet jatuh-bangun, ketegangan parlemen
versus TNI AD berpuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952, pemberontakan terjadi
di beberapa provinsi, Wapres Mohammad Hatta mundur, pengusiran terhadap
orang-orang Belanda dan Tiongkok, dan akhirnya memaksa Bung Karno menggunakan
tangan besi lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada dekade 1950 itu sering terdengar istilah
"krisis" dan "lagi-lagi krisis". Apakah Demokrasi
Terpimpin menyelesaikan berbagai masalah tersebut? Ternyata belum tentu.
Pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
cukup teratur memang sudah dimulai oleh kabinet-kabinet kerja. Di lain pihak,
dana, tenaga, dan waktu tersedot untuk politik konfrontasi terhadap Malaysia
dan juga ambisi politik luar negeri Bung Karno. Jangan lupa pula, Bung Karno
menangkapi oposisi dan membredel pers.
Era Demokrasi Pancasila yang dimulai Pak Harto sebenarnya
kurang lebih mengulang lagi apa yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun,
partai-partai dibonsai melalui fusi dan peran ABRI dan birokrasi sangat
dominan bertugas mengamankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan terakhir 1997.
Fitur Demokrasi Pancasila yang paling menonjol adalah KKN
yang dilakukan oleh mereka yang sampai kini faktanya bahkan masih bercokol.
Budaya anti korupsi yang digalang sejak 1945 dihancurkan dalam sekejap oleh
rezim kleptokrasi ala Orde Baru.
Lalu bagaimana dengan demokrasi liberal sejak 1999?
Faktanya korupsi makin menggila dan telah memecahkan rekor KKN ala Orde Baru.
Ibaratnya kita menerapkan "Trias Poli-thieves" yang dilakoni oleh
tiga cabang kekuasaan: "execu-thieves", "legisla-thieves",
dan "judica-thieves".
Suka atau tidak, sebenarnya "Orba (Orde Bablas) Jilid
2" dimulai sejak Reformasi 1999. Pada tahun-tahun itulah sudah mulai
terdengar istilah kebablasan untuk melukiskan betapa penguasa dan juga rakyat
kita kurang paham demokrasi. Kalangan yang skeptis menyebutkan bahwa budaya
politik kita yang masih tradisional sesungguhnya tidak kompatibel dengan
demokrasi liberal.
Ada juga yang berteori, demokrasi kita "masih
muda". Demokrasi adalah proses trial and error yang akan semakin matang
jika diselenggarakan secara saksama oleh ketiga cabang kekuasaan dalam
pengawasan efektif oleh rakyat, LSM, dan pers. Sebaliknya, tak sedikit juga
yang meyakini bahwa "democracy waits for no one" karena ia sudah
berjalan maju dan lurus karena sejatinya telah sempurna.
Ada pula kalangan yang lebih suka mempraktikkan
"demokrasi wacana" (talking democracy). Mereka hanya berkaok-kaok
di media massa tiap hari tanpa memberikan solusi. Sebaliknya, banyak pula
kalangan yang mempraktikkan "demokrasi yang bekerja" (working
democracy) yang sejak jauh-jauh hari terbiasa bersikap demokratis di
keluarga, lingkungan, sampai masyarakat.
Dan, demokrasi jenis apa pun wajib menjunjung tinggi
perbedaan. Anda bisa saja tidak setuju dengan pemerintahan yang terpilih
secara demokratis lewat demonstrasi damai. Bukan zamannya lagi demonstrasi
damai, seperti yang terjadi pada 4 November 2016, diwarnai dengan kerusuhan
kecil di Monas dan Jelambar saat izin demonstrasi telah habis pukul 18.00
WIB.
Juga bukan zamannya lagi demonstrasi diwarnai
teriakan-teriakan "bunuh" atau "gantung" dan juga diisi
orasi-orasi berisikan ujaran-ujaran kebencian yang berbumbu fitnah dan
menghina. Juga kurang pantas "menjual" SARA pada saat demonstrasi
karena dapat memecah belah bangsa ini.
Seperti dinyatakan Jokowi dalam acara pelantikan DPP
Hanura, kunci untuk mencegah demokrasi kebablasan adalah dengan menegakkan
hukum. Sejauh pengamatan, TNI dan Polri telah menjalankan tugasnya dengan
cakap dan sesuai koridor hukum dengan menciduk, menahan, dan menyidik semua
pihak yang "membablaskan demokrasi" saat aksi-aksi di jalanan.
Ini tugas yang tidak pernah selesai dalam era
"demokrasi kebablasan" ini. Bagi para pembablas, mempraktikkan
demokrasi ibarat menyantap permen karet: dicicipi dulu, dikunyah sebentar,
setelah itu dilepeh, dan lantas diinjak-injak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar