Ahlan
Wa Sahlan Malik Salman
Abdul Mu'ti ;
Sekretaris
Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 28
Februari 2017
1 Maret 2017 Raja Salman, kepala negara Arab Saudi, akan
tiba di Indonesia dalam rangkaian kunjungan di negara-negara Asia antara lain
Malaysia, Jepang, China, dan Malawi.
Kunjungan ini bukan sekadar balasan atas kunjungan
Presiden Joko Widodo tahun lalu, tetapi merupakan kunjungan bersejarah
setelah Raja Faisal yang melawat ke Indonesia pada 1970. Kunjungan ini juga
sangat kolosal, karena Sang Raja membawa 10 menteri kabinet dan 1.500
rombongan yang terdiri atas para pangeran, keluarga kerajaan, pebisnis, pejabat
negara, dan tokoh penting lainnya. Sang Raja seolah sedang berusaha
”menaklukkan” Indonesia, tidak sekadar pelesiran menikmati kemolekan Pulau
Dewata.
Makna Strategis
Bagi Indonesia, kunjungan Raja Salman memiliki tiga makna
strategis. Pertama, secara politik Kerajaan Saudi tidak lagi memandang
Indonesia sebelah mata. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
politik yang stabil, dan kelas menengah yang kuat, peranan politik Indonesia
dalam percaturan politik global cukup signifikan. Konsistensi Indonesia
melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif memungkinkan negeri
Pancasila ini menjalin persahabatan dengan semua negara muslim.
Indonesia memiliki hubungan baik dengan Iran dan Turki
yang bersaing dengan Saudi dalam kepemimpinan dunia Islam. Penyelenggaraan
pertemuan luar biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta adalah
bukti kekuatan posisi politik Indonesia di negara-negara muslim.
Bahkan dalam penyelesaian politik di ASEAN seperti Moro
(Filipina), Pattani (Thailand), dan Rohingya (Myanmar), peranan Indonesia
sebagai mediator dan juru runding lebih dipercaya dan diterima oleh ketiga
negara dibandingkan dengan Saudi dan Malaysia yang dinilai berpihak pada
”pemberontak”. Peran serta masyarakat madani Indonesia sebagai second track
diplomacy turut memperkuat rajutan jaringan kelompok moderat muslim Asia
Tenggara.
Kedua, secara ekonomi Saudi melihat Indonesia memiliki
kondisi ekonomi dan pertumbuhan yang baik. Indonesia berpotensi menjadi salah
satu raksasa ekonomi. Dengan jumlah penduduk lebihdari 250 juta jiwa, Saudi melihat
peluang besar memasarkan minyak di Indonesia. Sekitar satu dasawarsa
Indonesia menjadi pengimpor minyak. Pemerintah Indonesia sudah membuka pintu
bagi Saudi untuk membangun dua kilang minyak.
Dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar di dunia,
Indonesia memberikan sumbangan besar mengisi pundi-pundi devisa nonminyak
Saudi.
Ketiga, secara keagamaan Indonesia memiliki ikatan
keagamaan yang kuat dengan Saudi. Pertautan umat Islam Indonesia dengan Saudi
terjalin sejak awal perkembangan Islam. Menurut sebagian sejarawan, Islam
masuk ke Indonesia pada abad ketujuh. Saat pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan, sejumlah sahabat Rasulullah menginjakkan kaki di daratan Sumatera.
Hampir semua pendiri gerakan Islam seperti KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan
KH Hasyim Asyari (NU) pernah menuntut ilmu di Tanah Suci. Jejaring ulama
Nusantara dengan Saudi terbangun cukup kuat dari abad ke-16 hingga saat ini.
Banyak alumni perguruan tinggi Saudi yang menjadi tokoh
intelektual dan politik serta menjadi pendukung dan pendakwah paham Salafi.
Walau demikian, pengaruh Salafisme tidaklah cukup kuat. Mayoritas alumni
ma’had dan perguruan tinggi Saudi tetap menjadi pengikut Mazhab Syafii,
bahkan sebagian mereka sangat vokal dan kritis terhadap paham agama dan
kebijakan politik Saudi.
Negosiasi Politik dan Ekonomi
Pemerintah Indonesia hendaknya memanfaatkan momentum
kunjungan Raja Salman untuk melakukan negosiasi bisnis dan politik.
Pemerintah Indonesia harus mampu meyakinkan Raja Salman dan rakyat Saudi
bahwa bangsa Indonesia bukanlah orang ”ajam” yang bodoh dan ”mamluk”, budak
yang miskin.
Dalam kaitan hal tersebut, pemerintah Indonesia dapat
melakukan negosiasi bisnis dan bargaining politik. Pertama, terkait dengan
tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW). Selama
berpuluh tahun masalah TKI menjadi batu kerikil hubungan Indonesia dengan
Saudi. Masalah kekerasan fisik dan seksual serta pelanggaran hak asasi
manusia seakan tidak tersentuh hukum. Di antara penyebabnya adalah masih
adanya sebagian masyarakat Saudi yang memandang para TKI/TKW sebagai budak
dengan pemahaman literal ayat-ayat Alquran dan pengalaman kultural jahiliah
tentang budak. Kontrak kerja dimaknai sebagai transaksi yang membolehkan
mereka mempekerjakan, menggauli, dan memperjualbelikan TKI.
Sebab lainnya karena para TKI menempatkan dirinya dalam
posisi inferior, subordinat, dan job seeker yang menggantungkan dirinya
kepada para majikan dan agen. Rendahnya pendidikan dan keterampilan serta
lemahnya kemampuan berbahasa, komunikasi, dan pemahaman budaya membuat mereka
sering dinistai. Keadaan menjadi lebih buruk karena Pemerintah tidak terlibat
dalam kontrak kerja antara TKI, agen, dan majikan. TKI seperti sekawanan
domba yang dilepas di hutan rimba yang dikuasai singa dan serigala.
Sebagai negara yang meratifikasi Deklarasi Hak Asasi
Manusia PBB, Konvensi Jenewa, dan antiperbudakan modern, Presiden Jokowi
perlu menyampaikan sikap Indonesia mengenai nasib warga negaranya dan
pembelaan HAM. Masyarakat Saudi sesungguhnya mulai bergantung pada TKI,
terutama sejak moratorium pembantu rumah tangga.
Karena alasan agama, budaya, dan kinerja TKI memiliki
nilai lebih yang tidak tergantikan oleh tenaga kerja dari India, Filipina,
dan negara-negara Afrika.
Dalam rangka mengatasi masalah pengangguran di dalam
negeri dan mengentaskan kemiskinan, pemerintah Indonesia dapat melakukan
negosiasi masalah TKI dengan hanya mengirimkan tenaga kerja profesional yang
memiliki kontrak kerja yang kuat dan penggajian yang wajar.
Kedua, secara politik Indonesia dapat melakukan negosiasi
politik dalam penyelesaian berbagai masalah konflik Timur Tengah dan
pemberantasan terorisme. Ada kabar yang menyebutkan pemerintah Saudi berusaha
melobi Indonesia untuk bergabung dengan Koalisi Negara-Negara Muslim
Antiterorisme yang dibentuk dan dipimpin Arab Saudi. Jika dugaan itu benar,
pemerintah Indonesia tidak perlu mengubah sikap politik yang telah diambil
selama ini. Sesuai Konstitusi Indonesia, mengembangkan politik luar negeri
yang bebas-aktif untuk kepentingan nasional. Koalisi tersebut bukan di bawah
PBB sehingga Indonesia tidak terikat. Yang lebih penting, sesuai ajaran
Alquran, jika dua kelompok muslim berperang maka harus ada pihak yang menjadi
penengah dan pendamai. Dengan bersikap netral, Indonesia bisa diterima
berbagai pihak yang berkonflik.
Indonesia dan Arab Saudi sama-sama memiliki masalah
terorisme. Berbagai aksi terorisme
terjadi di Indonesia dan Saudi. Ada analisis yang menyebutkan bahwa terorisme
bertali-temali dengan Wahabisme yang berpusat di Arab Saudi. Pandangan
tersebut tentu sangat merugikan citra Saudi. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa tidak ada kaitan langsung antara Wahabisme dan terorisme.
Persepsi bahwa terorisme berakar pada agama dan Wahabi sebagai agen harus
dikoreksi. Karena itu, Saudi dan Indonesia dapat bekerja sama bagaimana
menanggulangi dan memberantas terorisme melalui pendekatan keagamaan,
pendidikan, dan kebudayaan.
Ada pihak-pihak tertentu yang sangat khawatir dengan
kunjungan Raja Salman. Secara psikologis, kunjungan Raja Saudi bisa
memperkuat kelompok muslim ”garis keras” yang merupakan jaringan Salafi di
Indonesia. Spekulasi tersebut akan terbantah jika selama kunjungan di Indonesia,
Raja Salman mengagendakan pertemuan dan mendengar masukan sebanyak mungkin
organisasi Islam.
Sudah seharusnya pemerintah dan rakyat Indonesia menyambut
dan melayani Raja Salman dengan spirit persahabatan, perdamaian, saling
menghormati, dan kerja sama saling menguntungkan. Sebagaimana sabda Nabi,
menghormati tamu adalah ciri manusia yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir. Mari kita sambut tamu negara dengan sebaik- baiknya. Marhaban, ahlan wa sahlan Malik Salman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar