Kriteria
Pemimpin Jawa Timur
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar
Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya; Direktur Eksekutif The Initiative Institute
|
JAWA
POS, 27
Februari 2017
Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 adalah
momen yang penting, baik bagi Jatim maupun jika dilihat dari posisi Jatim
dalam konteks nasional. Sebagai bagian dari proses demokrasi, pemilihan
kepala daerah (pilkada) 2018 tidak sekadar menghimpun suara rakyat untuk
memilih figur yang memimpin Jatim. Melampaui hal itu, proses demokrasi juga
bertujuan memilih pemimpin yang mengemban amanah maupun mandat dari warga
Jatim.
Diskusi tentang pemimpin yang layak untuk Jatim yang saat
ini masih dalam tahap pemanasan penting untuk menyiapkan kriteria
kepemimpinan. Penajaman akan ukuran maupun kriteria pemimpin di Jatim adalah
bagian untuk memperkuat literasi politik warga di Jatim di tengah potensi
ancaman penyebaran sentimen sektarianisme maupun kabar fitnah (hoax) yang
saat ini menjadi tren yang menghancurkan kehidupan politik.
Potensi dan Problem
Menjadi pemimpin di Jatim setidaknya harus memahami
beberapa poin strategis yang harus dikelola dengan terukur, saksama, dan
cerdas agar mendapatkan dukungan serta partisipasi warga. Tulisan ini
selanjutnya mendiskusikan persoalan pengelolaan sumber daya daerah dan
pengurangan ketimpangan sosial yang menjadi persoalan kronis Indonesia.
Seperti diutarakan Joseph E. Stiglitz (2006) dalam Making
Globalization Work, the natural resources could be either curse or blessing
(kekayaan alam di suatu wilayah negara bisa menjadi kutukan maupun
sebaliknya, menjadi berkah). Terkait dengan sumber daya alam, data
menunjukkan bahwa Jatim adalah sedikit di antara provinsi yang dikaruniai
sumber daya energi dan mineral yang kaya serta melimpah. Di Jatim saat ini
terdapat 14 lapangan minyak/kondensat, 9 lapangan gas, dan 30 lapangan minyak
yang terentang di utara hingga selatan maupun timur ke barat (Energi Today,
2013).
Sumber daya yang melimpah akan menjadi berkah ketika
pemimpin berinisiatif, adil, dan peduli. Namun, di sisi lain ia akan menjadi
kutukan saat sumber daya sebagai simbol kekayaan mengundang konflik. Baik
konflik di antara kelompok-kelompok terkuat untuk memperoleh kemakmuran
maupun mereka yang miskin karena merasa diperlakukan tidak adil. Dengan
demikian, pengelolaan atas potensi kekayaan sumber daya di Jatim ini adalah
pedang bermata dua yang harus dipertimbangkan untuk mengukur kepemimpinan ke
depan.
Dalam konteks sosial ekonomi, data memperlihatkan bahwa
tingkat pertumbuhan ekonomi di Jatim bergerak dengan tren menaik. Sampai
akhir 2016, pertumbuhan ekonomi Jatim tercatat pada angka 5,57 persen, naik
dibanding 2015 yang sebesar 5,34 persen. Angka kenaikan pertumbuhan ekonomi
tersebut dipicu daya beli masyarakat yang meningkat sampai 60 persen dan
nilai investasi Rp 350 triliun (terbesar ketiga di Indonesia) (detiknews,
Desember 2016).
Meski demikian, kabar baik pertumbuhan ekonomi Jatim itu
masih harus diimbangi kewaspadaan atas ketimpangan sosial dan kemiskinan yang
masih menghantuinya. Berbicara tentang ketimpangan sosial, khususnya
antardaerah, masih ada kesenjangan yang lebar dalam pembangunan antarwilayah.
Jatim kawasan utara seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik relatif berkembang
pesat, sedangkan di selatan sebagian besar masih tergolong wilayah miskin.
Pada dimensi kemiskinan sosial berdasar data BPS 2013, dengan ukuran garis
kemiskinan rata-rata per kapita Rp 292.951, jumlah penduduk miskin 4,86 juta
merupakan jumlah terbesar di seluruh Indonesia.
Kriteria Pemimpin
Berdasar dua persoalan di atas, yakni pengelolaan sumber
daya serta penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan sosial, setidaknya
syarat atau kriteria pemimpin harus menjadi catatan penting bagi warga Jatim
untuk memilih pemimpinnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang patut
dipertimbangkan pemilih dalam menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda
kapal besar bagi Jatim pada 2018 sampai lima tahun berikutnya.
Pertama, warga Jatim berhak mendapatkan kriteria pemimpin
yang berkarakter problem solver. Baik prestasi maupun persoalan Jatim yang
sama-sama besar, pemimpin Jatim mendatang sudah seharusnya memiliki karakter
penyelesai masalah. Tipologi pemimpin seperti itu mampu menyeimbangkan nilai
idealisme untuk memperjuangkan kepentingan publik dengan pragmatisme terkait
inisiatif paling memungkinkan untuk diambil dalam situasi dan kondisi yang
sulit. Pemimpin yang teruji mampu menjalankan pemerintahan yang bersih maupun
aktor bisnis yang kreatif patut diperhitungkan sebagai figur yang pantas
memenuhi kriteria tersebut.
Kedua, pemimpin yang berkarakter solidarity maker menjadi
variabel penting untuk memimpin di Jatim. Dengan rentang karakter kultural
yang cukup beragam maupun ekspresi identitas politik yang kuat (nasionalis
dan santri), pemimpin yang mampu membangun solidaritas horizontal (antarelite)
dan vertikal (elite dengan warga) menjadi kriteria penting untuk menjaga
harmoni dan mendorong partisipasi warga. Tanpa ikatan solidaritas yang kuat,
warga akan tercerai-berai dan kebersamaan untuk memastikan keberhasilan
pembangunan di Jatim bakal menguap.
Ketiga, pemimpin di Jatim juga harus memiliki fondasi
political capital (modal politik) yang kuat sehingga figur tersebut mampu
melakukan inisiatif intervensi ketika berhadapan dengan deadlock politik
antarelite maupun merawat dukungan dan kepercayaan di tingkat akar rumput.
Poin itu penting untuk dikemukakan agar partai-partai politik berani
mengusung kandidat dari kader mereka sendiri. Sebab, Jatim memiliki stok yang
cukup besar terkait figur pemimpin yang andal dan berumah dari partai politik.
Berdasar bekal wawasan dan referensi tentang kapasitas serta realitas sosial
di Jatim, kita harapkan pilgub Jatim tahun depan menjadi pilkada yang cerdas,
demokratis, dan menjunjung keadaban politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar