Kontroversi
Pajak Tanah
Yustinus Prastowo ;
Direktur
Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
|
TEMPO.CO, 22 Februari 2017
Belum lama ini, pemerintah melempar wacana tentang ekonomi
berkeadilan, suatu upaya pemerataan sumber daya, termasuk kepemilikan lahan.
Hal ini patut diapresiasi sebagai kebijakan yang progresif, tapi kegagalan
mengartikulasikan gagasan secara jernih di ruang publik membuat wacana
tersebut terlalu cepat menuai kontroversi ketimbang wacana yang produktif.
Kita masih berada di antara dua bayang-bayang ideologi
ekonomi raksasa: kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme menekankan pada
penguasaan individu atas alat produksi dan penumpukan laba sebagai motif
bisnis yang utama. Sebaliknya, sosialisme mendasarkan prinsipnya pada
penguasaan kolektif atas alat produksi dan menekankan redistribusi yang
merata.
Indonesia memilih sebuah jalan tengah dengan tetap
menghormati hak milik pribadi, tapi memberikan hak kepada negara untuk
menguasai alat produksi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan redistribusi
yang adil pada mekanisme pasar adalah utopia karena bertentangan dengan motif
ekonomi individual. Dan, ide redistribusi lahan, baik melalui pembatasan
penguasaan maupun disinsentif kepengusahaan, secara sui generis merupakan
mandat konstitusi.
Dalam prakteknya, corak kebijakan ekonomi Indonesia
terlalu mengabdi pada mekanisme pasar dan kurang menghadirkan negara sebagai
regulator dan akselerator. Dalam konteks kapitalisme, negara memang hadir
hanya jika ada ekses yang tak dapat diselesaikan oleh pasar. Kini, kita
semakin paham bahwa pandangan itu lebih bersifat ideologis daripada sebagai
fakta empiris. Maka, kehadiran negara dengan ide ekonomi berkeadilan yang
porosnya redistribusi lahan menemukan kemendesakannya.
Sebagaimana umumnya rancangan kebijakan publik di
Indonesia, masalah praktisnya adalah adanya kesenjangan antara tataran
normatif dan praktis. Banyak sekali ide bagus tapi tidak implementatif
lantaran beberapa kendala teknis-administratif, seperti format otonomi
daerah, asimetri kewenangan kelembagaan, dan arsitektur fiskal.
Ini jelas tampak ketika ide ekonomi berkeadilan melalui
rencana "pajak tanah" diumumkan. Pemerintah sibuk meredam kontroversi
dan kebingungan yang timbul, alih-alih menjelaskan konsep dasar, visi, dan
rencana aksi yang artikulatif dan jelas. Sudah diduga, di tengah bombardir
gugatan publik yang mengarah pada "in-stabilitas pasar" dan potensi
kegaduhan, ide bagus ini lalu tenggelam.
Pemerintah sebaiknya tidak menunda, melainkan menyusun
peta jalan yang komprehensif dan layak diterapkan. Ide mengoptimalkan
instrumen fiskal berupa "pajak tanah" layak didukung dengan basis
penguasaan dan pengusahaan. Penguasaan lahan berlebih, selain tidak sesuai
dengan visi reforma agraria dan undang-undang bidang pertanahan, juga
merupakan sumber ketimpangan karena sentralisasi alat produksi pada
segelintir orang dan kelompok. Pengusahaan juga menjadi basis pengenaan
karena lahan tidak produktif bertentangan dengan fungsi tanah sebagai hak
milik maupun alat produksi.
Pemilihan jenis pajak dan dasar pengenaan pajak juga perlu
dipertimbangkan dengan saksama, terutama aspek kesederhanaan administrasi dan
keadilan. Saat ini setidaknya kita memiliki beberapa jenis pajak atas tanah,
baik yang dikelola pusat maupun daerah. Ada pajak penghasilan (PPh) atas
pengalihan hak atas tanah/bangunan (PPh Final) yang dipungut pusat, bea
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) yang dipungut daerah, pajak
bumi dan bangunan (PBB) sektor P3 (perhutanan, perkebunan, dan pertambangan)
yang dikelola pusat, dan PBB sektor P2 (pedesaan dan perkotaan) yang dikelola
daerah.
Meskipun cukup ideal, pajak atas keuntungan modal sulit
diterapkan karena membutuhkan basis data yang akurat dan integrasi
administrasi pertanahan yang baik. Dalam jangka menengah, pemerintah
sebaiknya memaksimalkan peran jenis pajak yang ada supaya kebijakan ini
segera dapat diimplementasikan dan berdampak positif.
Masalah asimetri kewenangan perlu segera diurai. Untuk
mengatasi aksi spekulasi, PPh final dan BPHTB dapat dioptimalkan dengan skema
tarif final progresif: semakin tinggi untuk yang menjual tanah di bawah waktu
tertentu. Selanjutnya, untuk lahan tak produktif, pemerintah dapat menggunakan
PBB tarif progresif agar ada disinsentif tiap tahun bagi lahan menganggur.
Maka, undang-undang mengenai PBB, pajak daerah, dan retribusi daerah perlu
diubah. Peraturan pemerintah untuk mengkoordinasikan semuanya juga perlu
segera dibuat.
Meski solusi ini membutuhkan perubahan aturan dan
koordinasi yang baik, secara teknis paling mungkin diterapkan dalam jangka
menengah dan dapat menjadi solusi bagi masalah ketimpangan. Pemerintah
sebaiknya teguh dengan gagasannya dan berani melawan arus penolakan para tuan
tanah dan mafia pemburu rente agar bumi, air, udara, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya sungguh-sungguh digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar