Polemik
Freeport dan Pemerintah
Ferdy Hasiman ;
Peneliti
Alpha Research Database Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Februari 2017
PEMERINTAH dan perusahaan tambang yang menambang emas dan
tembaga di Grasberg, Papua, Freeport Indonesia sedang berpolemik. Hal itu
berawal dari keputusan Menteri ESDM mengubah status kontrak karya (KK)
Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Perubahan status itu
mewajibkan Freeport membangun smelter, pengenaan bea keluar sebesar 10% dan
wajib mendivestasikan 51% saham ke pihak nasional. Tanpa mengubah KK menjadi
IUPK, Freeport tak boleh mengekspor konsentrat tembaga.
Dengan begitu, Freeport hanya bisa memproduksi tembaga
sebesar 40% karena sesuai dengan kapasitas pengiriman tembaga mereka ke
pabrik smelter PT Smelthing, Gresik, Jatim. Sementara itu, 60% tembaga
dikirim ke Atlantic Copper (Spanyol). Produksi tembaga Freeport berkurang
sekitar 70 juta pound dan emas 100 ribu ons. Jika dihitung pada harga pasar
tembaga saat ini, sekitar US$123 juta untuk emas dan US$196 juta untuk
tembaga dan total menjadi US$319 juta.
Syarat itu dianggap merugikan Freeport. CEO of Freeport McMoRan Inc,
Richard C Adkerson, mengatakan Freeport masih merujuk perjanjian KK yang
sudah disepakati 1991. IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa
berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK
yang pajaknya tak akan berubah hingga kontrak berakhir (naildown).
Freeport juga keberatan melepas saham hingga 51% karena
berarti kendali bukan di tangan mereka lagi. Korporasi raksasa seperti
Freeport jelas ingin terus menjadi pengontrol dan pengendali operasi tambang.
Perintah konstitusi Keberatan Freeport tentu sangat masuk akal. Soalnya
Freeport memiliki beberapa proyek raksasa beberapa tahun ke depan, seperti
ingin membangun pabrik smelter tembaga di Gresik senilai US$2,3 miliar.
Freeport juga sedang berinvestasi di tambang underground--Grasberg Blok Cave,
deep mill level zone (DMLZ), dan deep ore zone (DOZ)--dengan investasi US$15
miliar. Freeport merugi jika membangun smelter tanpa ada kepastian
perpanjangan kontrak. KK Freeport akan berakhir 2021 dan meminta perpanjangan
kontrak sampai 2041.
Kengototan Freeport boleh jadi karena potensi tambang
Grasberg, Papua, paling prospektif. Total cadangan emas Grasberg mencapai
29,8 juta ons dan tembaga 30 miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX
mencapai 27% dan emas 95%. Produksi terbesar Freeport Indonesia sampai tahun
ini berasal dari tambang open pit yang cadangannya hanya 7% dari total
cadangan Freeport Indonesia. Cadangan Freeport terbesar mencapai 93% di
tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, DMLZ dan DOZ.
Sejak 2010, Freeport telah membangun DOZ, tambang bawah
tanah terbesar di dunia, berkapasitas 80 ribu metrik ton biji per hari. Pada
2016 ini, Blok Cave Grasberg dan DMLZ menghasilkan 24 ribu metrik ton per
hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open pit. Meskipun demikian,
Freeport harus paham bahwa KK ialah rezim pertambangan lama, zaman Orde Baru.
Hubungan antara KK dan pemerintah bersifat simetris. Risikonya negara tak
berdaulat atas sumber daya alam (SDA). Padahal, KK hanya sebagai kontraktor,
tetapi pemilik sah atas tanah dan SDA ialah negara. Posisi itu menyebabkan
potensi kekayaan pertambangan yang begitu besar gagal mengangkat
kesejahteraan rakyat. Lingkungan pun tak terurus, pembagian keuntungan dan
upah tak adil.
Pascareformasi 1998, seiring dengan berjalannya otonomi
daerah, di sektor pertambangan terjadi tahap penting. Rezim KK harus berubah
menjadi izin usaha pertambangan (IUP) sebagaimana diamanatkan UU No 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemerintahan Jokowi-JK hanya
menjalankan perintah konstitusi. Pasal 169 ayat (b) mengatakan semua KK wajib
diubah menjadi IUPK. Tujuannya pertambangan strategis dikendalikan negara
untuk kesejahteraan rakyat. Peralihan status kontrak berimplikasi langsung
pada penguatan peran negara. Korporasi harus patuh pada aturan main yang
ditawarkan negara.
Meskipun demikian, UU Minerba bukan tanpa cacat karena
hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP). Sementara KK ialah rezim
kontrak berskala besar. Izin IUP hanya dikeluarkan pemda (bupati, wali kota,
dan gubernur). Kekuasaan besar yang diberikan konstitusi ini kerap
disalahgunakan pemda karena UU itu tanpa memberi ruang partisipasi bagi warga
negara untuk mengambil keputusan soal investasi. Risikonya, dari 10.922 yang
diterbitkan pemda, hanya 6.042 yang clear and clean dan 4.880 IUP ilegal.
Pertambangan di daerah pun kerap mendapat penolakan warga lokal karena
merusak lingkungan, hutan, menyabotase lahan pertanian dan permukiman warga.
Selain memberi ruang bagi penguatan negara, UU Minerba
memberi pengecualian terkait dengan IUPK. IUPK tetap dikontrol pemerintah
pusat. Dengan begitu, korporasi wajib tunduk kepada pemerintah. Pemerintah
berhak menagih pajak dan royalti dan memerintahkan korporasi tambang
membangun smelter agar memberi efek pelipatan bagi pembangunan. Itulah
landasan hukum mengapa Freeport harus beralih menjadi IUPK.
Sangatlah keliru jika Freeport membawa perkara ini ke
arbitrase internasional. Korporasi tak pada posisi mengatur pemerintah.
Freeport bisa blunder besar. Misalkan Freeport menang, paling banter
keputusan itu hanya berlaku sampai akhir masa berlaku kontrak 2021. Pemerintah
bisa memukul balik Freeport karena 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir 2019
berhak memutuskan kontrak. Masih ada ruang melakukan renegosiasi kontrak
sekaligus mencari win-win solution.
Freeport boleh saja bernegosiasi dengan pemerintah akan membangun smelter
tembaga di Gresik tepat waktu, dengan catatan mendapat perpanjangan kontrak
dan kepastian hukum dari pemerintah. Persoalannya selama ini Freeport terlalu
bandel. Jika Freeport sudah memutuskan pembangunan smelter tanpa banyak
protes, saya yakin polemik dengan pemerintah tak sebesar ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar