HAM
Dalam Era Ekonomi Digital
Dinna Wisnu ;
Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 22
Februari 2017
Sekitar dua atau tiga tahun terakhir para pengguna
internet di Indonesia, khususnya di Jakarta dan sejumlah kota-kota besar di
Indonesia, telah menikmati tambahan manfaat dari teknologi digital. Seiring
dengan itu, alat komunikasi seperti telepon pintar semakin canggih dan murah.
Keahlian sejumlah anak bangsa maupun penetrasi perusahaan
asing telah membuat hampir segala hal sekarang bisa dilakukan via telepon
pintar. Yakni, mulai dari memesan taksi online, melihat menu dan memesan
makanan online, melacak kurir online, belanja online, melakukan transaksi
perbankan online, memesan tiket online, sampai mencari aneka jasa kebutuhan
rumah tangga dan mendesain rumah online.
Keahlian generasi muda yang terus terasah di bidang
teknologi telah melahirkan beragam aplikasi teknologi yang membuat transaksi
semakincepatdanefisien. Kemajuan ini melahirkan pula tuntutan baru dari para
pengguna teknologi yakni tuntutan layanan (demand) yang makin multiguna, cepat dan dapat diandalkan. Akurasi
pesanan, kualitas pesanan, dan kepuasan pengguna menjadi kata kunci yang
sedang dikembangkan terus oleh para produsen aplikasi teknologi.
Namun isunya tidak berhenti hanya di situ. Di tingkat
global, ada agenda politik yang berkembang terkait ekonomi digital.
Dibandingkan produk lain, teknologi dengan cepat dapat mengubah banyak hal
termasuk gaya hidup, ekspektasi (harapan), model bisnis dan relasi
ketenagakerjaan. Di negara-negara Eropa, hal ini menjadi perhatian khusus
negara.
Karena bila tidak diantisipasi dengan baik, maka
kedaulatan negara berpotensi tergerus oleh kepentingan korporasi. Selain itu,
hal tersebut juga belum tentu mendatangkan keuntungan pertumbuhan ekonomi
makro yang biasanya diharapkan dapat mengangkat derajat perekonomian negara
secara keseluruhan. Kasus pertama adalah terkait layanan transportasi
digital.
Di Eropa, perkembangan transportasi digital dianggap
terobosan menarik untuk mengurangi komponen biaya transportasi dalam hidup
keseharian. Apalagi, jalan-jalan di Eropa cenderung sempit, pendek, parker pun
terbatas dan mahal. Maka untuk mengisi kekurangan transportasi publik, sistem
ekonomi berbagi (sharing economy)
menjadi opsi menarik. Nah yang punya mobil dan sedang menuju ke titik
tertentu menawarkan pada pengguna internet lainnya untuk “nebeng”.
Di Eropa, model taksi pribadi online seperti Uber justru
tidak populer karena kualitasnya tidak lebih baik daripada taksi biasa. Dan
kalaupun lebih murah, taksi pribadi online itu tidak menjawab idealisme
mereka tentang konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption) . Selain itu, sudah ada kesadaran bahwa
informasi konsumen yang terkumpul di Uber (seperti nomor telepon, alamat,
tempat kerja atau tempat yang sering dikunjungi konsumen) belum terlindungi
oleh negara dan “dikuasai” oleh perusahaan asing.
Di Eropa, terobosan teknologi terkait transportasi digital
justru dikembangkan ke arah pemesanan tempat parkir online dan mobil-mobil
otomatis nirpengemudi. Mereka juga mengandalkan beragam imajinasi lain
terkait smart city, seperti kulkas yang bisa mengidentifikasi habisnya susu
dan bisa memesan susu lagi, atau mainan yang bisa merekam pembicaraan anak.
Terobosan ini dicoba dilakukan oleh anak-anak bangsa
mereka. Jadi, merekapunsangat hati-hati “mengimpor” teknologi yang pada
akhirnya akan mengumpulkan “big-data“ (data besar yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pola-pola konsumen dan penduduk di daerah dan negara
mereka). Jadi, big-data adalah power (kuasa).
Yang tahu lebih banyak tentang pola-pola di suatu tempat
dan negara punya ruang lebih pula untuk menggunakannya sesuai agendanya
masingmasing. Di Eropa, era ekonomi digital diartikan sebagai era membangun
trust economy, ekonomi berbasis rasa percaya. Dan hal inilah yang sekarang
sedang dicoba diatur melalui regulasi.
Perusahaan yang memegang data penduduk di suatu negara
kini dituntut untuk memenuhi hak konsumen terkait persetujuan penggunaan data
tersebut dan perlindungan hak konsumen. Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada
tahun 2017 yang akan mempertemukan kepala pemerintahan negara-negara industri
dan berkembang terpenting dunia di Hamburg Jerman, salah satunya akan
mengangkat isu perlindungan konsumen dalam ekonomi digital.
Maklum, menurut Komisi Uni Eropa, ekonomi digital telah
menyumbang 8% pendapatan negara di negara-negara anggota G-20. Dalam diskusi
tentang digital ekonomi pada 10 Februari 2017 di Jakarta, Wakil Menteri Hukum
dan Perlindungan Konsumen Jerman Gerd Billen mengungkapkan bahwa Jerman
bertekad membuka dialog seputar caracara mengelola dunia yang makin
tersambung secara digital.
Karena, menurut Jerman dalam ketersambungan teknologi, ada
tanggung jawab (responsibility).
Teknologi boleh mempermudah dan mempermurah jasa tetapi data konsumen harus
terlindungi dan kepentingan keamanan negara tidak boleh terabaikan. Prinsip
hak asasi manusia (HAM) terkait hak menentukan penggunaan data diri, bila
tidak bisa dijamin oleh negara maka harus bisa dijamin oleh perusahaan
pemegang data tersebut.
Di Indonesia, kebiasaan melindungi diri saat melakukan
transaksi ekonomi boleh dikatakan masih rendah. Masih sedikit perusahaan
online yang mengungkap kebijakan penggunaan data yang dikumpulkannya dari
konsumen. Kalaupun ada, yang umum ditemukan, menurut Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), justru ketentuan pengecualian seperti bahwa perusahaan
tidak bertanggung jawab bila terjadi kesalahan atau kecelakaan.
YLKI dalam dialog tentang digital ekonomi bersama
pemerintah Jerman mengungkapkan kebiasaan perusahaan Indonesia untuk memilah
antara perusahaan penyedia jasa teknologi dan pemberi layanan (misalnya
kurir, pengemudi, restoran) sehingga bila terjadi kesalahan atau kecelakaan,
tanggung jawab atas data atau keselamatan konsumen tidak bisa dimintakan dari
perusahaan penyedia teknologi.
Yang disalahkan atau dibenturkan justru konsumen dengan
kurir, pengemudi, restoran dan penyedia layanan lain yang menggunakan
aplikasi teknologi. Dengan naiknya agenda perlindungan konsumen dalam era
digital di tingkat global, praktik yang dikembangkan di Indonesia pun diajak
menyesuaikan diri.
Negara tidak bisa tinggal diam menyaksikan hakhak
konsumennya dilanggar. Regulasi yang belum ada perlu dibangun. Dan telaah
kebiasaan konsumen Indonesia pun perlu dilakukan untuk merumuskan kebijakan
yang tepat guna. Internet berkembang karena ada keyakinan bahwa sistem itu
bisa dipercaya (trusted). Internet
tidak bisa terlalu diatur karena justru menghambat tujuan awal internet
sebagai penghubung ilmu pengetahuan dan informasi yang murah.
Internet adalah penggerak inovasi dan daya saing, bahkan
di banyak tempat menjadi andalan bagi berkembangnya kewirausahaan. Namun
suatu standar penggunaan teknologi internet dan manajemennya oleh negara
(misalnya terkait penyimpanan data konsumen dan pembayaran pajak) sedang
digagas. Aspek perlindungan HAM-nya kental. Misalnya di Uni Eropa.
Segenap negara anggotanya menjamin melalui peraturan di
negara masing-masing bahwa konsumen wajib menerima perlakuan adil, kualitas
standar yang dapat diterima, dan hak menerima ganti rugi. Peraturan di Eropa
mengarah pada perlindungan konsumen termasuk terkait iklan yang menyesatkan
atau kontrak yang tidak adil.
Di sisi lain juga terus diperangi gejala diskriminasi
akibat rasisme, xenophobia dan homophobia. Dalam konteks ekonomi digital,
mereka sedang mencari upaya meningkatkan kepercayaan konsumen dalam melakukan
transaksi lintas negara di luar Uni Eropa. Di sanalah Indonesia, sebagai
negara anggota G-20, akan diminta pula tanggapannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar