Menakar
Putaran Kedua
Djayadi Hanan ;
Direktur
Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
KOMPAS, 22 Februari 2017
Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan
hasil real count yang ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua
pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu
penghitungan dan pengumuman resmi saja. Tidak ada satu pasangan calon pun
yang berhasil memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut
satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi
ketiga. Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki
Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga,
Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Perhatian kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran
kedua. Pertanyaan utamanya ada dua: ke manakah partai-partai pendukung
Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya dan ke manakah pemilih pasangan calon
ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini disebut utama dengan asumsi pemilih
pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan tetap solid mendukung mereka di
putaran kedua.
Jika melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung
pasangan calon nomor urut satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya
peluang lebih besar untuk memperoleh limpahan suara karena karakteristik
pemilihnya mirip. Namun, putaran kedua baru akan berlangsung sekitar dua
bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak hal bisa terjadi selama dua bulan
tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.
Maka, untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua
akan berlangsung sangat ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki
kekuatan dan kelemahan masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa
membuat pertarungan pasangan calon nomor urut dua melawan pasangan calon
nomor urut tiga berimbang, seperti pada putaran pertama.
Koalisi partai
Meski pergerakan di tingkat elite belum tentu diikuti oleh
pendukungnya di kalangan pemilih, dukungan partai tetap penting sebagai
simbol, sebagai tambahan potensi mesin politik, dan untuk tambahan suara dari
pendukung partai yang masih punya kedekatan emosional dengan partai atau
elite partai. Sekecil apa pun tambahan dukungan diperoleh tetap akan penting
mengingat putaran kedua diasumsikan berlangsung ketat dan sengit.
Yang juga penting, meraih dukungan partai minimal
mengurangi potensi partai tersebut untuk membantu pihak lawan. Dengan kata
lain, partai-partai yang mendukung pasangan calon nomor urut satu jelas akan
menjadi rebutan pasangan calon nomor urut dua dan nomor urut tiga.
Di atas kertas, ada tiga partai yang paling mungkin
bergabung dengan pasangan calon nomor urut dua: Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ketiga partai ini bagian dari koalisi besar pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla
bersama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Nasdem,
dan Hanura. Atas dasar itu, ketiga partai pengusung pasangan calon nomor urut
satu lebih masuk akal diprioritaskan oleh pasangan calon nomor urut dua yang
diusung dan didukung keempat partai pendukung pemerintah tersebut.
Namun, jika benar ketiga partai berpindah ke pasangan
calon nomor urut dua, tantangan besarnya adalah bagaimana mentransformasi
sikap elite partai menjadi sikap para pemilih pendukung partai. Mengingat
kecenderungan pemilih Jakarta yang lebih independen dan biasanya ketokohan
figur lebih penting bagi pemilih dalam pilkada, sangat tidak mudah melakukan
transformasi ini. Misalnya, menurut berbagai survei SMRC sepanjang 2016
hingga awal 2017, lebih dari 75 persen pemilih Jakarta memutuskan sendiri
pilihannya.
PKB secara tradisional mungkin menunjukkan kaitan
emosional yang cukup dekat antara elite dan para pendukungnya. Ini bisa
menjadi peluang bagi pasangan calon nomor urut dua. Dengan menggandeng PKB,
warga Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya cenderung memilih PKB diharapkan
juga akan mengikuti pergerakan elite partai. Tantangannya adalah sejumlah
tokoh NU, seperti Kiai Ma'ruf Amin, kelihatan cenderung kurang berpihak
kepada pasangan Basuki-Djarot. Sampai tingkat tertentu hal yang sama bisa
juga terjadi pada PPP, yang sebagian pemilihnya mirip dengan pemilih PKB.
Yang juga sangat mungkin, partai-partai pendukung pasangan
calon nomor urut satu akan menentukan sikap berdasarkan kecenderungan pilihan
pendukungnya di putaran pertama. Data untuk ini pasti tersedia di partai
masing-masing. Dalam exit poll SMRC pada hari pemungutan suara lalu, sekitar
70 persen pemilih PAN, 60 persen pemilih PKB, dan 50 persen pemilih PPP
memilih pasangan calon tiga.
Ini artinya pemilih ketiga partai tersebut punya
kecenderungan memilih Anies-Sandi. Kalau kecenderungan ini yang dipakai, maka
ketiga partai ini juga sangat mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor
urut tiga. Dengan kata lain, tarik-menarik terhadap dukungan tiga partai
pendukung Agus-Sylvi ini akan berlangsung sengit.
Menurut logika politik konvensional, Partai Demokrat
adalah yang paling sulit diajak bergabung ke pasangan calon nomor urut dua.
Selain bukan bagian dari koalisi pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P,
hubungan ketua umum partai ini dengan Ketua Umum PDI-P masih belum mulus.
Beberapa peristiwa politik menjelang hari pemungutan suara 15 Februari makin
menguatkan ketegangan antara Partai Demokrat dan PDI-P beserta pendukung
masing-masing, bahkan antara Ketua Umum Partai Demokrat dan pihak Istana.
Apakah ini berarti Partai Demokrat akan lebih mudah ke
Anies-Sandi? Mungkin saja, tapi belum tentu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sebagai ketua umum biasanya sangat memperhatikan kecenderungan pilihan
politik publik, yang dalam hal ini berarti pemilih partainya. Di antara
pendukung pasangan calon nomor urut satu, pemilih Demokrat adalah yang paling
solid. Menurut data exit poll SMRC, sekitar 64 persen pemilih Demokrat
mendukung Agus-Sylvi, 24 persen mendukung Anies-Sandi, dan 12 persen
mendukung Basuki-Djarot.
Soliditas pendukung Demokrat memang mungkin terjadi karena
ketokohan SBY yang masih mendominasi. Pergerakan SBY berpotensi untuk diikuti
pendukungnya. Mengingat dukungan elektoral partai ini ada di kisaran 10
persen, maka posisi Demokrat, dan SBY, kembali penting, mungkin juga seksi.
Memahami pemilih dan pergerakannya
Exit poll SMRC menemukan lima alasan utama masyarakat
memilih pasangan calon nomor urut satu. Kelimanya secara berurutan adalah
karena program yang meyakinkan (27,4 persen), alasan terkait agama (17,7
persen), karena pilihan keluarga (16,5 persen), karena dianggap
memperjuangkan rakyat kecil (13,4 persen), dan karena kampanyenya paling diingat
(11 persen). Ada sejumlah alasan lain dengan persentase yang jauh lebih
kecil.
Alasan agama tampaknya langsung dapat kita gunakan sebagai
alat prediksi. Perolehan suara pasangan calon satu ada di kisaran 17 persen.
Ini berarti, ada sekitar 3 persen pemilih pasangan calon satu memilih karena
alasan agama. Di putaran kedua, sangat besar kemungkinan pasangan calon tiga
memperoleh tambahan 3 persen dari pergerakan pemilih ini. Jika analisis ini
benar, tersisa 14 persen pemilih Agus-Sylvi yang masih bisa diperebutkan.
Jika menggunakan agama sebagai predictor, kemungkinan
besar cara berpikir pemilih di putaran pertama dilakukan secara dua tingkat.
Pemilih Muslim yang banyak dipengaruhi agama dalam keputusan memilih
pertama-tama memilah ketiga pasangan calon menjadi dua bagian: calon gubernur
Muslim dan calon gubernur non-Muslim. Selanjutnya, karena ada dua calon
gubernur Muslim, maka pilihan dijatuhkan atas pertimbangan faktor-faktor di
luar agama.
Menurut exit poll yang sama, Anies- Sandi dipilih karena
alasan memiliki program yang meyakinkan (39 persen), alasan agama (20,3
persen), pilihan keluarga (11,2 persen), kampanyenya paling diingat (10
persen), memperjuangkan rakyat kecil (9 persen), dan sejumlah alasan lain.
Jadi, kalau kita bandingkan alasan memilih pasangan calon nomor urut satu
versus pasangan calon nomor urut tiga, tampak faktor agama tidak begitu
menonjol.
Akan tetapi, kalau kita rinci distribusi pemilih
berdasarkan agama kepada ketiga pasangan calon, di kalangan Muslim, menurut
exit poll itu, 47 persen memilih Anies-Sandi, 34 persen memilih Basuki-
Djarot, dan 19 persen memilih Agus-Sylvi. Dengan kata lain, 66 persen pemilih
Muslim memilih calon gubernur Muslim. Jumlah pemilih Muslim di Jakarta ada
sekitar 86 persen.
Dengan asumsi angka partisipasi pemilih secara demografi
terdistribusi secara proporsional dibandingkan yang tidak memilih, ini
berarti ada sekitar 56,7 persen pemilih Muslim (di antara 86 persen) yang
memilih atas dasar keyakinan agama. Angka ini dikonfirmasi oleh data lain
dari exit poll yang menemukan bahwa sekitar 56 persen pemilih Jakarta setuju
bahwa orang Islam tidak boleh dipimpin oleh orang bukan Islam. Kesimpulannya,
faktor agama menjadi faktor yang penting dalam pilkada DKI putaran pertama.
Sementara itu, kekuatan utama pasangan calon nomor urut
dua adalah posisinya sebagai petahana. Alasan utama Basuki-Djarot dipilih
adalah karena program yang paling meyakinkan (67,4 persen), paling
memperjuangkan rakyat kecil (15,6 persen), pilihan keluarga (8,8 persen),
kampanyenya paling diingat (5 persen), dan sejumlah alasan lain. Data exit
poll juga menemukan hal yang konsisten dengan data berbagai survei sebelum
pilkada soal tingkat kepuasan publik kepada petahana, yaitu di kisaran 70
persen.
Inilah alasan mengapa petahana masih bisa unggul tipis
dari lawan-lawannya. Namun, keunggulan sebagai petahana ini memperoleh
tantangan serius, antara lain, dari faktor sosiologis.
Kalau kita sederhanakan, ada dua faktor utama yang
bertarung dalam pilkada DKI putaran pertama: faktor sosiologis dan faktor
ekonomi-politik (evaluasi terhadap petahana). Tentu saja kedua faktor ini
dalam kenyataannya bukan faktor tunggal. Keduanya berjalin berkelindan dengan
faktor lain.
Pada putaran kedua nanti, kedua faktor utama ini tetap
akan berpengaruh. Namun, seberapa besar pengaruhnya, masih bergantung pada
banyak hal lainnya. Faktor personalitas atau kualitas personal kandidat, baik
dari segi kapasitas maupun emosional, juga memengaruhi sikap pemilih. Faktor
pengaruh agama, menurut temuan berbagai survei hingga exit poll, tidak
bersifat tetap. Sebelum akhir Oktober atau November, jumlah pemilih Jakarta
yang meyakini orang Islam tidak boleh dipimpin non-Muslim ada di kisaran
maksimal 30-35 persen.
Namun, berbagai peristiwa, seperti dugaan penodaan agama,
membuat sentimen ini meningkat, hingga ke angka 50-an persen. Ia sempat turun
lagi setelah pertengahan Desember ketika suasana panas politik mulai turun.
Menjelang hari pemungutan suara, faktor ini kembali menguat. Sejumlah faktor
lain juga mungkin berpengaruh: manajemen isu di kedua pasangan calon
(termasuk di dalamnya sidang dugaan penodaan agama), intensitas proses
sosialisasi selama dua bulan ke depan, dan peristiwa-peristiwa yang muncul
secara tidak terduga. Maka, belum ada kandidat yang bisa ongkang-ongkang kaki
menuju 19 April 2017. Putaran kedua is still anybody's game! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar