Komodifikasi
Dunia Pendidikan
Ahmad Faizuddin ;
Alumnus
UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ohio University (Athens, USA); Sekarang Menempuh Jenjang Doctoral Bidang Educational
Management & Leadership di International Islamic University Malaysia
|
KOMPAS, 25 Februari 2017
Penyalahgunaan dana pendidikan di sejumlah wilayah
Nusantara membenarkan argumen bahwa pendidikan sudah jadi komoditas basah
dewasa ini. Peserta didik yang belajar sekadar untuk memperoleh ijazah dan
guru yang sibuk dengan sertifikasi adalah warna-warni dunia pendidikan
Indonesia. Pada hakikatnya, pendidikan sebuah bangsa mencerminkan sejauh mana
proses transformasi sosial berjalan dan menunjukkan baik buruknya wajah
penguasa bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah solusi konkret dan
kerja sama yang baik dari semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Dunia pendidikan di era sekarang menghadapi tantangan
besar dengan adanya liberalisasi dan perdagangan global sehingga berdampak
terhadap komodifikasi pendidikan. Artinya, pendidikan tak lagi jadi alat
transformasi sosial. Pendidikan telah menjadi komoditas yang menguntungkan
demi kepentingan ideologi, penguasa dan pihak-pihak tertentu.
Dalam dunia pendidikan, komodifikasi adalah hal yang tidak
dapat dielakkan sepenuhnya. Sekolah atau institusi pendidikan dianggap
sebagai tempat menjual jasa dan murid sebagai konsumen utamanya. Maka, tak
heran jika ada komersialisasi buku pelajaran dan proyek pengadaan
sarana-prasarana yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sebuah lembaga
pendidikan.
Prospek bisnis pendidikan
Pendidikan di Indonesia sedang mengalami distorsi, baik
dari segi proses, mutu, maupun pencapaian kualitas. Dari segi proses,
pelaksanaan pendidikan tidak relevan dengan evaluasi kemajuan yang dicapai.
Dari segi mutu, terjadi kelemahan perencanaan pendidikan dan kesenjangan
lulusan dengan kebutuhan masyarakat. Sementara dari segi kualitas, terjadi
distorsi karena kurangnya analisis menyeluruh dalam menerapkan sebuah
kebijakan pendidikan.
Kasus proyek buku sekolah, misalnya, hanya bagian kecil
dari potret buram wajah pendidikan kita. Jika kita perhatikan lebih mendalam,
permasalahan pendidikan ternyata banyak dinodai kasus-kasus lain, seperti
korupsi pengadaan barang, jual-beli ijazah, dan penyelewengan dana bantuan
operasional sekolah.
Dari segi material, perubahan kurikulum yang sering
terjadi juga melemahkan fondasi pendidikan. Banyak orang jadi bingung dengan
kebijakan kurikulum Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, tercatat 11 kali
perubahan kurikulum: Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947); Kurikulum 1952
(Rentjana Pelajaran Terurai 1952); Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964);
Kurikulum 1968; Kurikulum 1975; Kurikulum 1984; Kurikulum 1994 dan Suplemen
Kurikulum 1999; Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi); 2006
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan); dan yang terakhir Kurikulum 2013
(K-13).
Namun, ada kalanya dinas pendidikan di Indonesia hanya
perpanjangan tangan pemerintah dalam menerapkan doktrin-doktrin tertentu
untuk melanggengkan kepentingan beberapa pihak. Hal ini tidak terlepas dari
kebijakan politik petinggi negara. Pencampuradukan antara kepentingan dan
kebijakan tarik-menarik sehingga mengakibatkan ketakjelasan arah, visi dan
misi pendidikan.
Di era Orde Baru, misalnya, pendidikan didominasi oleh
doktrin pengajaran Pancasila dan penataran Pedoman, Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila (P4) untuk membungkam publik terhadap kepentingan
politik yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hasilnya, murid hanya
menghafal pasal-pasal dan UU tanpa memahami substansinya.
Secara ekonomis, pendidikan jadi prospek bisnis basah
banyak orang, mulai dari penyelenggara pendidikan di tingkat dinas sampai
penerima proyek di ruang kelas. Di antara wujud nyata komodifikasi di dunia
pendidikan saat ini adalah komersialisasi buku pelajaran, alat tulis, seragam
sekolah, dan sebagainya. Dengan rata-rata 37 juta siswa setiap tahun yang
masuk sekolah dari SD hingga SMA/SMK, ini adalah peluang pasar bagi
perusahaan-perusahaan swasta untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan
konsumennya.
Contoh lain adalah pembukaan program studi (prodi) baru di
perguruan tinggi. Dengan adanya tuntutan pasar, institusi pendidikan
berlomba-lomba membuka jurusan baru yang laku di pasaran. Akibatnya,
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) semakin tinggi karena dianggap
program bergengsi dan favorit. Lulusan produk pendidikan seperti ini biasanya
hanya berorientasi mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi dan punya
kepekaan sosial yang rendah. Efek jangka panjangnya adalah pengembangan ilmu
pengetahuan disesuaikan dengan kebutuhan pemilik modal (kapitalis) dan
meninggalkan tradisi keilmuan yang sebenarnya, yaitu mencari kebenaran.
Internalisasi nilai-nilai
Secara garis besar, pendidikan adalah investasi sumber daya
insani dan berada di garis paling depan dalam upaya memajukan sebuah bangsa.
Proses pendidikan mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
termasuk sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya. Oleh karena
itu, penanganannya harus mempertimbangkan seluruh aspek tersebut supaya
tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan, ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang kreatif serta bertanggung jawab.”
Pendidikan seharusnya menempati posisi strategis dalam
kehidupan sebuah bangsa. Soekarno (1963) dalam tulisannya ”Menjadi Guru di
Kala Kebangunan” berkata, ”Sebuah bangsa hanya dapat mengajarkan apa yang
terkandung di dalam jiwanya sendiri. Bangsa budak belian akan mendidik mental
anaknya ke dalam roh penghambaan dan penjilatan. Bangsa orang merdeka akan
mengajarkan anak- anaknya menjadi orang-orang merdeka.”
Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara juga
menyebutkan pendidikan adalah upaya memajukan budi pekerti (karakter),
pikiran (intelek), dan jasmani selaras dengan alam dan sekitarnya. Jadi,
hasil akhir yang diharapkan dari pendidikan adalah menjadi manusia yang
berkarakter dan berguna.
Oleh karena itu, aktor-aktor pendidikan harus menyadari
peran dan identitas masing-masing. Pemerintah, misalnya, bertanggung jawab
untuk melaksanakan pendidikan yang hakiki sehingga bisa mengatasi krisis dan
problematika bangsa. Caranya adalah dengan melepaskan intervensi kepentingan
yang berbau ekonomis dan politis. Pemerintah bersama dengan masyarakat juga
harus senantiasa mengawasi proses pendidikan supaya
penyelewengan-penyelewengan dana tidak terjadi lagi.
Selanjutnya, seorang pendidik bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugasnya dalam membimbing peserta didik dan mengubah pola pikir
mereka ke arah yang lebih baik. Pendidikan karakter dan anti konsumerisme
harus ditekankan sejak dini. Sementara murid bertanggung jawab melaksanakan
tugasnya sebagai penerus estafet bangsa dengan belajar sungguh-sungguh.
Belajar bukan sekadar untuk memperoleh nilai dan ijazah, melainkan untuk
memperoleh kompetensi intelektual yang tinggi sehingga dapat melakukan
pengabdian kepada masyarakat.
Apabila aktor-aktor pendidikan utama itu mau melaksanakan
praktik-praktik sosial yang baru dengan mengesampingkan pendidikan sebagai
komoditas yang menguntungkan, kebiasaan buruk yang telah lama kita praktikkan
sedikit demi sedikit akan terkikis dan dapat melahirkan harapan baru dalam
dunia pendidikan kita.
Akhirnya, pendidikan harus mencakup aspek-aspek akademis,
jasmaniah, mental, dan moralitas. Ilmu pengetahuan akademis dan jasmaniah
yang diajarkan tidak mencukupi tanpa adanya pembentukan sikap (mental), dan
ketiganya tidak lengkap tanpa adanya nilai-nilai agama sehingga melahirkan
manusia berakhlak mulia. Nilai-nilai positif inilah yang ada dalam masyarakat
Indonesia dan dapat kita manfaatkan untuk kepentingan bersama. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar