Abu
Nawas
Trias Kuncahyono ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 26 Februari 2017
Pekan lalu, seorang rekan mengirimkan lewat WA dua
renungan menarik: yang satu mengutip ucapan Lucretius dan satunya
menceritakan kisah Abu Nawas. Kedua tokoh itu hidup di zaman yang berbeda,
bahkan sangat berbeda. Akan tetapi, pesan lewat ucapan Lucretius dan kisah
Abu Nawas memiliki napas yang sama.
Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami (756-814) dikenal
dengan nama Abuu-Awaas atau Abu-Nuwas. Salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik pada awal periode Abbaasid atau Abbasiyah (750-1258) ini
dilahirkan di Ahvaz, Persia, dan meninggal di Baghdad. Dalam tubuhnya
mengalir darah Arab dan Persia. Ia digambarkan sebagai sosok yang bijaksana
dan kocak. Abu Nawas, yang belajar di Basrah, lalu di Kufah di bawah
bimbingan penyair Walibah ibn al-Hubab, kemudian dibimbing Khalaf al-Ahmar.
Namanya disebut-sebut dalam kisah Seribu Satu Malam. Banyak yang mengatakan,
karyanya mencerminkan gambaran masyarakat: lucu, sinikal, bahkan ironi
kehidupan.
Lucretius, lengkapnya Titus Lucretius Carus (99-55 SM),
adalah seorang penyair Romawi dan pengarang epik filsafat De Rerum Natura
(Tentang Sifat Alam Semesta). Ia meninggal sebelum magnum opus, karya
besarnya, De Rerum Natura, diselesaikan lengkap. Tidak banyak yang diketahui
tentang masa hidup Lucretius. Meski demikian, karyanya banyak memengaruhi
tokoh-tokoh dunia. Misalnya, seorang imam Katolik, ilmuwan yang juga filsuf
Pierre Gassendi (1592-1655) dari Perancis, dan Pierre Teilhard de Chardin
(1881-1955), seorang imam Katolik yang juga filsuf dan paleontologis.
Cerita yang dikisahkan Abu Nawas menarik. Demikian
ceritanya. Suatu hari, Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah
melihat ke dalam topinya. Orang banyak memperhatikannya dengan wajah heran.
Apakah Abu Nawas telah gila? Apalagi dia melihat ke dalam topinya sambil
tersenyum. Salah seorang datang menghampirinya dan bertanya, "Wahai
saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?"
"Aku sedang melihat surga, lengkap dengan barisan
bidadari," jawab Abu Nawas.
"Coba aku lihat! Aku tidak yakin kamu bisa melihat
seperti yang saya lihat," kata orang itu.
"Mengapa?" tanya Abu Nawas, dan menambahkan,
"Hanya orang beriman dan saleh saja yang bisa lihat surga di topi
ini."
Orang itu tergoda dan kemudian melihat ke dalam topi.
Sejenak dia berkata, "Benar. Aku melihat surga di topi ini dan juga
bidadari." Orang itu berteriak dan didengar orang banyak. Abu Nawas
tersenyum.
Banyak orang kemudian ingin melihat surga di dalam topi.
Tetapi, Abu Nawas mengingatkan, "Hanya orang beriman dan saleh yang bisa
lihat surga di dalam topi ini. Yang tak beriman tidak akan melihat apa
pun."
Satu demi satu orang melihat ke dalam topi Abu Nawas itu.
Ada yang dengan tegas menyatakan melihat surga, dan ada juga yang lalu
mengatakan, Abu Nawas berbohong. Abu Nawas tetap tenang saja sambil menebar
senyum. Akhirnya, yang tidak melihat surga di dalam topi itu melapor kepada
Raja dengan mengatakan, Abu Nawas menyebarkan kebohongan. Raja pun memanggil
Abu Nawas untuk menghadapnya.
"Abu Nawas. Benarkah kamu bilang, orang dapat melihat
surga di dalam topimu?" tanya Raja.
"Benar, Raja. Tetapi, yang bisa lihat hanya orang
beriman dan saleh. Yang tidak bisa melihat itu artinya dia tidak beriman dan
tidak saleh," jawabnya tenang.
"Oh, begitu? Coba saya buktikan, apakah benar
ceritamu itu," kata Raja, yang lalu melihat ke dalam topi. Setelah
melihat ke dalam topi, Raja terdiam. Dalam hati Raja berkata, "Benar,
tidak tampak surga di dalam topi ini. Tetapi, kalau aku bilang tidak ada
surga, orang banyak akan mengatakan bahwa aku tidak beriman. Tentu akan
hancur reputasiku."
Lalu Raja berkata, "Benar! Saya sebagai saksi, di
dalam topi Abu Nawas kita bisa melihat surga dengan sederetan bidadari."
Setelah Raja mengatakan hal itu, orang yang mendengarnya menerima cerita Abu
Nawas karena khawatir berbeda dengan Raja, dan yang lebih penting akan dicap
sebagai tidak beriman.
Bersenjatakan "surga", Abu Nawas mampu membuat
orang-yang takut kehilangan jabatan, kehilangan kekuasaan, tidak populer, dan
dianggap tidak beriman-membuang akal sehat, mematikan akal sehat, dan
melakukan kebodohan. Karena itu, masuk akal yang dikatakan oleh Lucretius,
tantum religio potuit suadere malorum, betapa hebatnya agama sampai bisa
mendorong berbuat jahat.
Kejahatan karena agama dalam sejarah manusia banyak
terjadi di mana-mana, di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Dunia pernah
diwarnai dengan Perang 30 Tahun (1618-1648) antara Katolik dan Protestan di
wilayah yang sekarang menjadi Jerman, perang di Irlandia Utara antara
Protestan dan Katolik, Perang Salib, konflik Sunni dan Syiah di Irak, konflik
Hindu dan Muslim di India, dan masih banyak lagi, termasuk
kekejaman-kekejaman karena agama.
Fanatisme agama yang berlebihan, yang kelewat batas, telah
meruntuhkan toleransi antarmanusia yang aneka ragam ini. Agama digunakan
sebagai senjata untuk melegalkan semua cara, termasuk untuk tujuan-tujuan
politik. Demi agama, orang bisa menyakiti orang lain, seperti yang terjadi di
Myanmar, Suriah, Nigeria, Pakistan, Afganistan, Somalia, dan jangan lupa
termasuk Indonesia. Bahkan, teriakan Donald Trump ketika kampanye dan
kebijakannya pun bermuatan kebencian agama dan ras.
Kalau keberadaan agama harus dibela dengan kekerasan, apa sumbangannya
terhadap peradaban manusia? Bukankah toleransi, saling menghormati, saling
menghargai, persaudaraan, merupakan ungkapan keberadaban manusia? Benar yang
dikatakan Lucretius, "Seluruh hidup merupakan perjuangan dalam
kegelapan." Dan, kegelapan itu sekarang menguasai Bumi karena munculnya
pemimpin-pemimpin yang tidak peduli pada kemanusiaan, hak asasi manusia,
populis, dan xenofobia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar