Hujan
di Bulan Februari
Paulus Agus Winarso ;
Dosen
Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi & Geofisika
|
KOMPAS, 22 Februari 2017
Cuaca dan iklim bumi terus berkembang seiring berbagai
kondisi yang terjadi hingga kini. Di antaranya aktivitas bintik matahari dan
pemanasan global sebagai pemicunya.
Tingkat keragaman mulai terjadi era 1980-an, diawali
dengan hadirnya gejala alam El Nino yang berdampak global dan berdurasi 12-18
bulan kegiatannya.
Tingkat keragaman sedikit meningkat di era 1990-an kala
muncul periode El Nino dengan durasi terpanjang-sejak awal catatan hingga
kini-selama empat tahun. Di sisi lain, ada kondisi ekstrem lain: cuaca dengan
kegiatan pertumbuhan awan yang menghasilkan badai, yaitu hujan sangat lebat
dengan intensitas curah hujan 1 milimeter per detik, angin kencang dengan
kecepatan angin badai minimal 32 knot atau 65 kilometer per jam, dan petir
yang bersahutan seperti perang.
Awan yang menghasilkan badai dikenal kalangan penerbangan
dan pelayaran sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kehadiran awan Cb menambah
keragaman cuaca dengan konsekuensi badai di suatu lokasi.
Perkembangan keragaman cuaca dan iklim dengan hadirnya
gejala alam El Nino pada suatu kurun waktu dan gejala alam La Nina pada kurun
waktu lain datang silih berganti. Namun, gejala alam El Nino lebih dominan.
Kita bisa periksa dari data bahwa kondisi gejala alam El
Nino sangat mendominasi kegiatannya jika dibandingkan dengan kejadian gejala
alam La Nina. Seperti yang kita cermati, dampak El Nino adalah musim kemarau
kering dan berkepanjangan dengan kebakaran lahan dan hutan yang mulai terjadi
tahun 1982 dan 1987 dan kemudian meluas lagi tahun 1991 hingga 2009. Kita
tahu bahwa pada 1997 terjadi bencana nasional kebakaran lahan dan hutan yang
berlanjut dengan kejadian bencana asap lintas batas negara.
Situasi dan perkembangan ini kemudian berbalik dengan
kondisi 1980-2010 di mana kejadian gejala alam La Nina mendominasi dan
bertahan selama 30 tahun. Dengan kata lain, kondisi keragaman yang berkembang
sejak 2010 hingga awal 2017 adalah dampak gejala alam La Nina yang
mendominasi keragaman cuaca dan iklim Bumi dan berdampak di Indonesia.
Kegiatan matahari
Pertimbangan itu didasarkan pada perkembangan kegiatan
matahari yang ditunjukkan dengan jumlah bintik matahari. Bintik matahari
adalah bentuk proses fisis yang hasil akhirnya berupa pancaran gelombang
radiasi matahari atau energi yang bermanfaat dalam proses alami seluruh
galaksi termasuk bumi.
Jika jumlah bintik tinggi di atas 150 bintik matahari
(sunspot) per bulan, menurut saya, berarti cukup giat. Jika bintiknya kurang
dari 150 sunspot per bulan berarti kurang giat. Dari perkembangan kegiatan
bintik matahari sejak pertengahan 1970, tampak kegiatan fluktuasi/keragaman
sunspot giat 1980-1990 sebagai siklus sunspot nomor 21, siklus nomor 22
periode 1990-2000, siklus nomor 23 periode 2000-2010, dan kini siklus nomor
24 yang berjalan hingga tahun 2020.
Berdasarkan siklus nomor 21, 22, dan 23, puncak kegiatan
matahari siklus 150-200 sunspot dampaknya adalah gejala alam global El Nino
dengan kekeringan di Indonesia. Berawal tahun 2010 yang minimum dan memuncak
dengan kegiatan bintik 50-130 sunspot yang berarti menurun kegiatan sunspot.
Tahun 2016, peneliti dari Badan Penerbangan dan Antariksa
AS (NASA) mengumumkan mulainya periode dingin: udara terasa dingin bahkan di
dataran rendah. Catatan tersebut menghantar kita pada situasi keragaman cuaca
dengan episode dingin dengan kegiatan gejala alam La Nina mendominasi. Inilah
yang tampak pada periode 2010 hingga awal 2017 yang mungkin akan terus
berlanjut.
Periode bumi yang mendingin (global cooling) ini masih
akan berlanjut. Dari data curah hujan periode 1960-1990 dari stasiun penakar
hujan kawasan Jabodetabek, tampak bahwa awal Januari sampai awal Februari
merupakan puncak curah hujan untuk kawasan Jabodetabek.
Kejadian hujan tinggi berdampak terhadap kejadian banjir
di kawasan Jabodetabek. Apalagi kini puncak curah hujan bergeser mundur 1-3
dasarian. Pergeseran puncak hujan musim hujan 2016/2017 di dasarian III bulan
Februari 2017 untuk kawasan Jabodetabek semata karena posisi angin yang
bertiup dan hadirnya beberapa tekanan rendah yang terbentuk sejak akhir 2016
hingga akhir Januari 2017.
Kondisi angin dan pusat tekanan rendah di kawasan belahan
utara sekitar Laut China Selatan dan perairan barat Banda Aceh menjadi
hambatan perkembangan awan dan hujan saat itu hingga Januari 2017.
Setelah memasuki dasarian II Februari 2017 pusat tekanan
rendah di kawasan belahan utara berubah menjadi tekanan tinggi seiring naiknya
tekanan udara belahan utara khususnya daratan Asia. Namun, dasarian II
Februari 2017 masih bertiup angin dari arah barat-barat daya yang membentuk
keseringan awan dan hujan kawasan selatan dan timur Jabodetabek. Dengan
demikian, kawasan hujan masih terkonsentrasi di kawasan selatan Jabodetabek
khususnya Bogor dan timur kawasan Bekasi.
Memasuki awal dasarian III Februari 2017 angin arah barat-
barat laut mendominasi dan mulailah pergeseran curah hujan ke arah barat, utara, dan timur Jabodetabek.
Kemudian mengapa hujan terjadi cukup lama seperti hujan yang terjadi
Minggu-Selasa (tanggal 19, 20, dan 21 Februari 2017), seharusnya tidak
terjadi awan badai yang menghasilkan hujan lebat dan badai petir. Sepertinya
hujan berkepanjangan, diselingi peningkatan hujan dan hadirnya awan badai
lebih dari satu atau multicell dalam istilah meteorologi, adalah yang sedang
terjadi saat ini.
Mekanisme terjadinya proses adveksi tersebut seperti yang
umum terjadi dengan adanya aliran udara dingin dari belahan utara akibat hadirnya
tekanan tinggi, sedangkan kawasan selatan dengan udara meski dingin namun
lebih hangat. Kondisi inilah yang umumnya terjadi bersamaan dengan adanya
daerah pertemuan angin belahan bumi utara dan bumi selatan yang disebut
daerah pertemuan angin antar tropis (inter tropical convergence zone/ITCZ).
Daerah awan
ITCZ menjadi daerah pertumbuhan awan badai potensial yang
dapat berkembang secara mekanis dengan konvergensinya dan secara thermis
dengan konveksi jika ada panas matahari atau adveksi jika kondisi awan
menutup kawasan yang bersangkutan.
Keragaman cuaca dan iklim yang terjadi dan berkembang
sepertinya akan didominasi dengan kondisi yang akan sering tertutup awan yang
berlanjut dengan hujan. Jika kondisi ini berlanjut ada peluang udara dingin
seperti kawasan pegunungan terjadi di dataran rendah. Peluang kekeringan
sepertinya kecil terjadi.
Dengan kondisi siklus matahari nomor 24 yang kini
berkembang dengan bintik matahari kurang dari 50 hingga 2020, memberi
petunjuk dan arah kecenderungan pendinginan lebih dominan dari kondisi
hangat.
Maka, peluang keragaman cuaca dan iklim yang telah
berkembang sejak 2010 hingga awal 2017 menunjukkan kondisi awan dan hujan
berkelanjutan yang terkadang diikuti udara dingin.
Seyogianya kita dapat lebih arif dan bijaksana dalam
menyikapi perkembangan keragaman cuaca dan iklim yang terjadi khususnya
dampak melimpahnya air berupa bencana banjir, banjir bandang, dan longsor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar