Blas,
Demokrasi Kita Bablas
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2017
BILA sungguh kita ikhlas untuk bersikap jujur dan berpikir
jernih, dengan perangkat common sense (nalar umum) saja, apa yang dapat kita
pahami dan terima dari ketentuan (hampir) aksiomatis dalam matematika 'ajaib'
seperti: 50+1 = menang? Itulah matematika dasar dalam ritus utama demokrasi
bernama pemilihan (umum) atau election. Bagaimana kita menakar dengan seluruh
pengetahuan dan kearifan hidup kita, arti 0,5% atau sekadar ratusan atau
puluhan suara mampu memaksa seorang (kandidat) lain untuk menerima kalah
dalam kompetisi pilkada, seperti yang baru saja berlangsung di ratusan
wilayah negeri ini.
Angka sederhana itu bukan saja menafikan perjuangan dan
doa, keringat hingga airmata, harta hingga warisan dari sang pecundang, tapi
juga membuat 49,5% perolehan suara sang pecundang tak punya makna apa-apa.
Dalam demokrasi, jumlah yang bisa dikatakan 'setengah' itu tak memiliki hak
apa pun, jangankan untuk jatah kekuasaan dan fasilitas lainnya, tapi juga
untuk menetapkan kebenaran, kebaikan, atau kebajikan bagi orang lain, bagi
konstituen atau masyarakat pada umumnya.
The winner takes all, dan pecundang pun harus duduk saja
di belakang, jadi penumpang ke mana pun kereta negeri dipacu kencang. Apa
yang kemudian menjadi ironi ialah, setengah persen atau sekian ratus/ribu
suara itu memberi hak penuh pada pemenang untuk merengkuh seluruh kuasa,
mengendalikan seluruh permodalan rakyat (anggaran belanja dan sebagainya) dan
menentukan bukan hanya cara berdiplomasi atau berhubungan dengan dunia luar,
menggunakan senjata, hingga ke mana masa depan seluruh masyarakat diarahkan.
Tak ada tempat untuk kebenaran, kebajikan, atau
pertimbangan lain. Cukup setengah persen, atau bahkan satu suara lebih saja.
Ironi itu menjadi tragedi ketika peroleh suara lebih itu didapatkan dengan
cara yang tidak elegan, bermartabat, bahkan kriminal. Dengan politik uang,
sembako, hingga ancaman. Atau seperti yang banyak terjadi, dimenangkan
keputusan pengadilan atau hakim mahkamah.
Itulah yang terjadi sekian kali bahkan di negeri yang
menjadi acuan demokrasi dunia, Amerika Serikat, dengan popular votes atau
perolehan suara terbanyak bisa dipecundangi sistem untuk memenangi pihak yang
kalah suara. Itulah demokrasi. Sistem yang ternyata tidak mencegah kekuatan
ekstrem meraih kekuasaan atau dominasi politik, seperti Geert Wilders di
Belanda, Marine Le Penn di Prancis, dan banyak negara lain di Eropa. Itulah
juga sistem yang melegetimasi secara kuat pemimpin-pemimpin negara yang oleh
banyak kalangan dianggap 'preman' atau otoriter, seperti terjadi di Turki,
Malaysia, Filipina, juga Amerika.
Tragik demokrasi
Akhirnya kita semua menjadi saksi dari munculnya bukti:
sistem politik pilihan universal, demokrasi, pada dasarnya tidak mampu
memberi garansi akan muncul dan berlakunya tata kemasyarakatan hingga tata
negara yang ideal. Setidaknya yang mampu memberi garansi kenyamanan hidup
bagi manusia, di tingkat nasional hingga personal, kecuali ia menjadi medium
legal untuk ekspresi pikiran dan perasaan, sampai di tingkat di mana ekspresi
itu lebih dipengaruhi libido atau syahwat kekuasaan atau kenikmatan yang di
luar kontrol; nafsu egoistik, dan selfish yang keluar dari takaran.
Maka tidaklah mengherankan jika praktik demokrasi, di
negeri ini misalnya, sebenarnya juga di banyak negeri lainnya, menghasilkan
lebih banyak keributan ketimbang kebaikan. Lebih banyak kata-kata ketimbang
refleksi, nafsu, dan ambisi ketimbang pengabdian dan kejujuran, dan
seterusnya. Terlebih ketika dalam situasi itu lahir produk-produk mutakhir
dalam teknologi informasi dan komunikasi, dalam bentuk web dan semua
turunannya: dunia virtual yang memberi izin bagi semua bentuk ekspresi
imajinatif hingga ilusif.
Demokrasi, dengan seluruh perangkat filosofis hingga
praktisnya, tidak mampu mencegah keriuhan bahkan di saat tertentu menjadi
kaos virtual karena semua memainkan hak yang justru diciptakan dan dilindungi
demokrasi itu sendiri. Bahwa kemudian berseliweran, menjadi hantu yang acap
kali dianggap nyata, slogan busuk, janji kosong, berita palsu (hoax),
intimidasi, dan pelbagai ekspresi buruk dan jahat lainnya, menjadi
konsekuensi tak terelakkan. Dan kita, dipaksa, harus menerimanya.
Karena kita menerima demokrasi. Itulah yang terjadi, di
Jerman, Prancis, Italia, atau Amerika juga. Apakah itu berarti kita, juga
banyak rakyat di banyak negara, kebablasan dalam menerapkan demokrasi? Atau
justru demokrasi itu sendiri adalah sistem yang sudah pada dasarnya
kebablasan dalam memahami manusia dan perilakunya? Kebablasan dalam arti
demokrasi pada akhirnya sadar bahkan ia tidak mampu mengendalikan dampak
buruk atau ekses yang memang sudah menjadi bagian integral dalam
keberadaannya. Maka blas, demokrasi memang sudah lahirnya bablas. Bukan cuma
angine, tapi juga kemurniannya, kemuliaannya, juga hasil idealnya.
Jawaban itu
Ini bukan pesimisme, mungkin sebuah kritik, sedikit pedas
mungkin. Karena sejarah sudah berkali-kali membuktikan. Bahkan sejak mula
demokrasi tulen diterapkan di Eropa, Jerman dalam hal ini, produknya ialah
sebuah tragedi dianggap cacat peradaban di sekujur sejarah manusia, namanya:
Adolf Hitler. Maka tidak perlu kita terlalu optimistis pada demokrasi dan
merasa banyak pihak mengganggu atau membuatnya kebablasan, karena boleh jadi
satu kali nanti, figur semacam Trump, Erdogan, atau Wilders bahkan Hitler pun
dapat menang dalam pemilu di negeri ini, entah daerah atau nasional.
Mau omong apa? Demokrasi. Saya kira sudah saatnya kita,
juga banyak pihak di atas bumi ini sebenarnya, berpikir ulang tentang
implementasi sistemik dari ide yang sebenarnya sudah terbelakang ini. Kita
harus berani jujur dan berani mengatakan, dalam praktik atau kenyataannya,
demokrasi di banyak bagian bumi ini telah menjadi sumber legitimasi dari
kekuasaan dominatif segelintir orang, elite, entah elite politik, modal,
agama, akademik, dsb.
Ini perbincangan lama di banyak mimbar akademik dunia.
Tapi tak pernah sudah, karena lagi-lagi, elite yang punya kuasa dapat
mengendalikan kalau perlu menghabisi pikiran-pikiran miring dan alternatif
(di luar demokrasi) itu. Bagi kita, rakyat negeri penuh sejarah yang bisa
menjadi sampah ini, saya merasakan urgensi yang mendesak untuk melakukan
pemikiran ulang. Sebagian kalangan yang pesimistis atau penuh prasangka,
mungkin mencurigainya, karena ia mengancam comfort zone mereka.
Sebagian lain mendapatkan jalan buntu karena mata hati dan
pikirannya, yang terdidik secara 'demokratis'-kontinental sejak PAUD hingga
S4, tidak bisa melihat 'jalan' lain, alternatif lain. Padahal kita semua
tahu, ada satu kekuatan dalam diri kita yang sebenarnya mampu memberi
jawaban-jawaban untuk semua persoalan di atas. Kekuatan yang sudah diuji jauh
lebih lama dan hebat dari mayoritas bangsa di muka bumi ini.
Kekuatan kebudayaan yang tidak berada di luar, tapi di
dalam diri kita sendiri. Tersimpan dalam jejak ribuan tahun, menjadi semacam
genetika kultural. Sayangnya, kita lupa. Tidak...kita tidak peduli,
mempersetankan, bahkan menghinanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar