Menyingkap
Kebijakan Perdagangan di Indonesia
Intan Soeparna ;
Dosen
Universitas Airlangga
|
KORAN
SINDO, 20
Februari 2017
Indonesia tidak boleh kehilangan fokus dalam meningkatkan
kebijakan perdagangan. Pemerintahan Joko Widodo telah menjalankan paket
deregulasi secara substansial ke arah yang benar dan mendorong laju
pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Agar kebijakan ini berjalan dengan baik, pemerintah harus
bijaksana dalam hal pengaturan importasi barang yang umumnya mencakup kuota,
perizinan impor, serta tingkat kandungan dalam negeri. Tujuan pemerintahan
Joko Widodo untuk mempromosikan industri dalam negeri pun telah diuraikan
dengan baik dalam paket-paket deregulasi. Indonesia sebagai negara agraris
memerlukan strategi yang terstruktur untuk meningkatkan kinerja sektor
agroindustri di sisi hilir dan sektor pertanian di sisi hulu.
Sektor pertanian yang kuat adalah kunci bagi pemerintah
untuk menyejahterakan petani dan melindungi industri dalam negeri dari
ketergantungan impor bahan baku. Sektor pertanian merupakan sektor yang
memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia yang menopang penghidupan
lebih dari 50 juta penduduk, yang sebagian besar terdiri atas petani di
daerah pedesaan. Di dalam era globalisasi, aturan perdagangan internasional
menjadi kerangka acuan yang digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia
dalam menyusun kebijakan pertanian mereka.
Ketidaksesuaian dengan aturan tersebut dapat menciptakan
sengketa dagang antarnegara. Sebagai contoh, bulan Desember yang lalu Badan
Penyelesaian Sengketa dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan
bahwa kebijakan impor produk hortikultura yang diterapkan oleh Indonesia
melanggar ketentuan perdagangan internasional. Permasalahan tersebut bermula
pada tahun 2012, ketika Indonesia menetapkan sejumlah ketentuan impor untuk
buah-buahandansayur- sayuran, seperti rezim perizinan impor yang ketat,
ketentuan impor berkala dan permanen, persyaratan tingkat kandungan dalam
negeri, dan harga acuan untuk komoditas pangan tertentu.
Kekalahan di WTO akan memberikan dampak negatif terhadap
reputasi dan kredibilitas Indonesia. Selain itu, negara penggugat dapat
meminta kompensasi atau menerapkan retaliasi terhadap produk Indonesia
apabila Indonesia tidak menyesuaikan kebijakannya sesuai dengan keputusan
WTO. Seperti yang terjadi pada kasus US-COOL, Meksiko dan Kanada
diperbolehkan untuk melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebesar USD1
miliar setiap tahunnya.
Dengan adanya resesi global, banyak kelompok yang
menganggap aturan perdagangan internasional sebagai ancaman karena dapat
menghambat kemampuan negara dalam mengelola perekonomian dalam negerinya.
Namun, di sisi lain, aturan tersebut juga telah meningkatkan kesuksesan
pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia pada beberapa dekade yang lalu.
Apa yang Dapat Kita Pelajari dari
Masa Lalu?
Apabila kita melihat ke belakang, Indonesia berupaya keras
untuk mengintegrasikan perekonomiannya ke dalam perekonomian dunia. Proses
integrasi tersebut sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan dipercepat pada
tahun 1990-an. Pada periode tersebut, pemerintah berhasil mengurangi hambatan
perdagangan secara substansial dan membuka perekonomian untuk investasi dari
luar negeri. Momentum kebijakan keterbukaanpasarIndonesiaterjadi ketika
adanya penurunan yang tajam terhadap harga minyak.
Pemerintah melakukan langkah
yangtepatuntukmerestruksiperekonomian dengan melalukan diversifikasi pada
sektor perdagangan dan mengesampingkan ketergantungannya terhadap minyak dan
gas. Pada akhir tahun 1980-an, perubahan kebijakan perdagangan diterapkan
melalui serangkaian paket deregulasi yang diterbitkan setidaknya sekali
setiap tahun. Hal ini bertujuan untuk mengurangi hambatan nontarif
perdagangan (Non-Tariff Barriers).
Penanaman modal dari luar negeri pun dipermudah secara
bertahap. Fokus pemerintah selanjutnya kala itu adalah membenahi perizinan
impor. Pada tahun 1990- an, ada lebih dari 1.000 produk yang masuk daftar
pembenahan. Enam tahun kemudian, jumlah produk yang membutuhkan izin impor
turun menjadi 200 produk. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan seiring
dengan penerapan komitmen WTO oleh Indonesia untuk meniadakan semua hambatan
nontarif bagi komoditas yang terikat di WTO.
Integrasi yang dilakukan pada akhirnya mendukung
pertumbuhan yang diperlukan bagi negara. Kebijakan pemerintah berhasil
menarik investasi dari luar negeri untuk industri ekspor padat karya dan
mempercepat pertumbuhan industri berbasis pertanian di Indonesia.
Kekhawatiran Masa Depan
Mengingat potensi besar dari sektor pertanian di
Indonesia, pemerintah dapat menjadikan kebijakan di masa lalu sebagai acuan.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan produsen minyak sawit, cengkeh, dan
kayu manis terbesar di dunia. Produsen terbesar kedua untuk pala, karet alam,
singkong, vanili, dan minyak kelapa. Produsen terbesar ketiga untuk beras dan
kakao. Produsen terbesar keempat untuk kopi. Produsen terbesar kelima untuk
tembakau dan produsen terbesar keenam untuk teh. Komoditas-komoditas tersebut
cenderung ingin diatur secara sektoral.
Selain Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan,
saat ini DPR Indonesia juga telah menyetujui RUU Pertembakauan sebagai
rancangan inisiatif DPR. Melalui pemberitaan media, disebutkan bahwa RUU itu
akan menerapkan skema tingkat kandungan dalam negeri dan kuota untuk impor
tembakau. Undang-undang tersebut juga akan menetapkan tarif impor tembakau
yang tinggi. Kebijakan yang sedang dipertimbangkan tersebut dapat menimbulkan
beban berat bagi pasar dalam negeri dan sangat kontraproduktif bagi
perekonomian Indonesia.
Peraturan importasi yang dipertimbangkan tampaknya juga
akan menimbulkan permasalahan yang serupa dengan sengketa dagang produk
hortikultura. Oleh karenanya, alangkah bijaksananya untuk menerapkan skema
hambatan nontarif yang terkait dengan keamanan nasional, perlindungan
kesehatan, keselamatan, lingkungan, moralitas, kekayaan intelektual, dan
kepatuhan terhadap kewajiban internasional.
Pembenaran yang paling umum diberikan untuk praktik ini
dapat memungkinkan Indonesia untuk mempercepat pengembangan industri dan
sesuai dengan aturan WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar