Pilkada
DKI dan Politik Sentimentil
Agus Riewanto ;
Pengajar
Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 18 Februari 2017
PILKADA DKI Jakarta telah usai digelar dan dipastikan akan
berlangsung dua putaran, karena dari tiga pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur (Paslon) yang bertanding tidak satu pun dapat memperoleh suara di
atas 50 persen. Hasil perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei
menempatkan Paslon Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga sebagai pasangan yang
memperoleh suara berimbang dengan kisaran perolehan suara antara 39-43
persen.
Karena itu kedua Paslon ini akan bertanding lagi pada
putaran kedua. Kendati masih harus menunggu hasil rekapitulasi resmi KPU DKI
Jakarta pada tanggal 4 Maret 2016 mendatang, namun berdasarkan pengalaman
Pilkada selama ini, hasil quick count tak berbeda jauh dari hasil
rekapitulasi resmi KPU. Pilkada DKI ini berbeda dari Pilkada di tempat lain,
karena merupakan daerah khusus yang diatur dengan mekanisme tersendiri,
bersama dengan Provinsi Aceh dan Papua.
Pilkada di tiga provinsi ini mengacu pada Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 36 ayat 2, yang menyatakan
jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh data lebih dari 50 persen, maka
diadakan putaran kedua. Pada putaran kedua, diikuti oleh paslon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama. PKPU No
6/2016 itu telah mengatur secara rigid tahapan penyelenggaraan putaran kedua,
paling tidak ada 4 tahapan yang akan dijalani oleh paslon. (a). Pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan pemilihan; (b).
Kampanye dalam bentuk penajaman visi, misi, dan program
pasangan calon; (c). Pemungutan dan penghitungan suara; dan (d). Rekapitulasi
hasil perolehan suara. Jika tak ada persoalan yang berarti, maka Pilkada
serentak DKI dan juga daerah lain akan berlangsung dua putaran pada tanggal
19 April 2017. Hasil quick count Pilkada DKI kali ini cukup mengejutkan
karena telah mengeliminasi Agus-Silvy untuk bertarung di putaran kedua,
munculnya Anies-Sandiaga dan menstabilkan posisi Ahok-Djarot. Hasil survei
selama ini selalu menempatkan Agus-Silvy diposisi kedua, dan Anies-Sandiaga
di posisi buncit, serta Ahok-Djarot diposisi paling atas.
Fenomena ini dapat terjadi karena pemilih DKI adalah
pemilih yang relatif rasional. Preferensi pilihan pemilih DKI lebih
didasarkan pada pengalaman memimpin, kecakapan berargumentasi dalam debat
publik, hasil karya nyata calon dan yang lebih menarik adalah
antibayang-bayang pemimpin sebelumnya. Fenomena ini menjelaskan bahwa,
Agus-Silvi bukan pilihan ideal publik DKI, selain tidak punya pengalaman
memimpin, tidak cukup cakap berdebat, dan relatif tidak punya rekam jejak
karya nyata dan yang pasti diduga kuat berada dalam bayang-bayang ayahnya,
mantan Presiden SBY.
Faktor lain yang menyebabkan tereliminasnya Agus-Silvy
dari pertarungan kali ini, juga karena sejumlah pernyataan dan sikap politik
yang ditunjukkan SBY dalam beberapa pekan belakangan ini baik melalui media
sosial maupun sejumlah konferensi pers telah memantik tidak simpatinya publik
pada Agus-Silvy. Lebih dari itu, isu kontroversi perseteruan antara Antasri
Azhar (mantan Ketua KPK) dengan SBY terkait dengan dugaan kriminalisasi yang
dituduhkan Antasari kepada SBY telah turut menyumbang tereliminasinya
Agus-Silvi.
Pilpres 2019
Kini yang tersisa untuk bertarung di putaran kedua adalah
pasangan Ahok-Djarot Vs Anies-Sandiaga, pertarungan antar keduanya dalam
Pilkada DKI putaran kedua akan jauh lebih menarik untuk dicermati karena
mencerminkan cita rasa dan miniatur pemilihan presiden (Pilpres 2019).
Pilkada DKI putaran kedua merupakan ajang yang sangat bergengsi karena berada
di pusaran kekuasaan politik, pusat selebriti media dan pusat kegiatan uang
dan ekonomi.
Karena itu siapa pun yang bertarung dalam Pilkada DKI
telah menanam saham popularitas secara nasional. Itulah sebabnya Jakarta
selalu diidentikkan dengan Indonesia. Siapa yang dapat ”menaklukkan” Jakarta,
maka dipastikan akan dapat ”menaklukkan” Indonesia.
Dalam konteks politik siapa pun calon yang akan menang
dalam Pilkada DKI sulit dibantah tak akan melaju ke puncak pencalonan
pemilihan presiden 2019 mendatang. Realitas ini telah dialami oleh Jokowi
ketika ia mampu ”menaklukkan” pemilih Jakarta dan menang dalam Pilkada DKI
tahun 2012 lalu, maka kemudian Jokowi berhasil merebut kursi presiden pada
Pilpres 2014 lalu. Sikap politik yang mengedepankan akal sehat seharusnya
menjadi tumpuan utama dalam memilih bukan berdasarkan pada dua politik
sentimentil, yakni ketokohan dan agama. Karena kedua sentimentil ini sulit
dipisahkan dari tradisi panggung politik di Indonesia.
Itulah sebabnya kedua sentimentil itu harus dihindari dan
ditempatkan dalam konteks kewajaran bukan keluarbiasaan sehingga tidak
berpotensi memecah belah kohesifitas sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar