Ekonomi
Politik Pengadaan
Reza Syawawi ;
Peneliti
di Transparency International Indonesia
|
KOMPAS, 25 Februari 2017
Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016
mengungkap bahwa modus korupsi yang paling banyak ditangani meliputi tindak
pidana korupsi terkait suap-menyuap, pengadaan barang dan jasa, serta
pencucian uang.
Sudah jamak diketahui publik, pengadaan barang dan jasa
masih jadi sektor paling rawan terjadinya korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus
suap-menyuap selalu beririsan dengan kepentingan untuk mendapatkan
proyek-proyek yang dibiayai oleh negara.
Pada satu sisi, pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah
bagian dari kebutuhan untuk memberikan pelayanan kepada publik. Di sisi lain,
ada potensi kerugian begitu besar jika terjadi penyimpangan. Hal ini semakin
mengkhawatirkan ketika sistem PBJ tidak selalu mampu memitigasi terjadinya
korupsi.
Masalah ini patut jadi catatan penting bagi rezim Joko
Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mengingat program pembangunan infrastruktur
yang dicanangkan menggelontorkan dana tidak sedikit, bahkan ada yang dibiayai
dari utang. Sementara sistem pengawasan terhadap megaproyek ini hanya
disandarkan pada pengawasan konvensional yang selama ini ada.
Di tingkat regulasi, proses PBJ memang mengalami banyak
perubahan. Seperti perubahan kelembagaan pengadaan melalui pembentukan unit
layanan pengadaan (ULP) di setiap unit hingga penggunaan dan pemanfaatan
teknologi informasi seperti inovasi layanan pengadaan secara elektronik
(LPSE), e-catalogue, dan seterusnya. Bahkan, untuk menyokong perubahan
tersebut juga didukung oleh pra-kondisi sebelum pengadaan dilakukan, seperti
kewajiban memublikasikan anggaran (APBN/APBD) secara keseluruhan, khususnya
publikasi terkait rencana umum pengadaan (RUP) pada setiap unit tertentu.
Pembaruan di sektor PBJ pada akhirnya hanya menyelesaikan
persoalan administratif. Sistem hanya membuat pejabat pengadaan tidak bertemu
dengan perusahaan tertentu karena semua sudah menggunakan instrumen teknologi
informasi.
Informasi mengenai anggaran dan rencana pengadaan sudah
tersedia di laman tertentu, tetapi tingkat aksesibilitas publik terhadap
informasi masih dipertanyakan. Apakah informasi tersebut terjangkau bagi
publik untuk mengaksesnya? Apakah informasi tersebut cukup bagi publik untuk
dapat mengawasi pelaksanaan PBJ? Apakah pemerintah telah menyediakan
mekanisme pengelolaan pengaduan yang efektif bagi publik?
Pertanyaan ini ditujukan untuk mengukur sejauh mana peran
publik dapat digunakan dalam mengawasi pembangunan infrastruktur. Sebab,
sistem pengadaan dirasa tidak cukup untuk mengurangi potensi terjadinya
praktik korupsi.
Pertama, tak ada standar baku mengenai keterbukaan
informasi di sektor pengadaan. Salah satunya mengenai keterbukaan kontrak
antara badan publik dan pihak ketiga (perusahaan pemenang). Dalam praktiknya,
badan publik masih menilai bahwa kontrak adalah bagian dari informasi yang
bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasi.Padahal, jika merujuk UU No
14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi
No 1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, perjanjian badan publik
dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya adalah informasi yang wajib
dibuka kepada publik.
Regulasi pengadaan tak secara eksplisit menyebutkan mengenai
keterbukaan kontrak tersebut bagi publik. Padahal, dokumen kontrak
menjelaskan dengan rinci siapa yang mengerjakan suatu proyek beserta detail
pekerjaan yang akan dilakukan. Keterbukaan kontrak akan jadi dokumen awal
untuk memetakan dimensi ekonomi politik pengadaan di seluruh badan publik.
Artinya, akan muncul satu analisis baru tentang kecenderungan korporasi
tertentu yang memenangkan pekerjaan tertentu. Hal yang tidak mungkin bisa
diidentifikasi oleh sistem pengadaan yang selama ini digunakan.
Kedua, pengawasan publik terhadap aktivitas pengadaan yang
minim. Problemnya bisa karena pemerintah tak menyediakan mekanisme pengaduan
yang jelas dan efektif atau publik tidak cukup memiliki informasi untuk
melakukan pengawasan. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan satu
bentuk mekanisme pengawasan yang terintegrasi terhadap proyek-proyek
strategis dengan melibatkan komponen masyarakat sipil.
Kedua hal ini perlu jadi perhatian serius agar tujuan
pemerintah untuk menggenjot perekonomian melalui pengadaan infrastruktur
tertentu tidak justru jadi bumerang di kemudian hari. Sebab, dalam banyak
kasus korupsi, agenda politik untuk mengeruk keuntungan ekonomi selalu
berujung pada kegagalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar