Disruption
Dan Cuci Darah
Rhenald Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 23
Februari 2017
Salah satu novel favorit saya adalah The Godfather karya
Mario Puzo. Novelis ini sebetulnya tinggal di New York, Amerika Serikat,
tetapi dia begitu fasih menuturkan perihal dunia cosa nostra yang tumbuh
subur di Italia dan kemudian menyebar ke antero negeri.
Anda masih ingat apa arti cosa nostra? Iya, ini ungkapan
yang dilontarkan Don Corleone, tokoh mafia dalam novel itu— yang juga sudah
difilmkan bahkan sampai tiga seri dan menyabet sejumlah penghargaan
AcademyAward atau Piala Oscar. Arti kata itu adalah “kita urus dunia kita
sendiri”. Para mafia memang tidak mau tunduk pada aturan pemerintah.
Mereka menciptakan hukum, aturan, dan tradisi sendiri.
Salah satunya adalah tradisi “cuci darah”. Mengerikan. Ini tradisi yang
merujuk pada perang antarmafia yang menyebabkan ratusan korban berjatuhan di
manamana sehingga menciptakan banjir darah. Darah itulah yang digunakan untuk
mencuci.
Siapa yang dicuci? Para mafia lama, tokohtokoh tua,
penguasa kemapanan, generasi yang sudah obsolete dan tiba waktunya untuk
digantikan dengan generasi baru yang lebih segar. Lagipula zamannya memang
sudah berganti. Itulah dunia cosa nostra.
Empat Faktor
Fenomena ala “cuci darah” juga terjadi di ranah bisnis.
Mulai dari yang skala kecil tetapi bersifat masif hingga ke skala besar.
Contohnya ojek tradisional vs GoJek/GrabBike hingga perusahaan taksi Blue
Bird/Express vs Uber/GrabCar. Mengapa ini bisa terjadi? Kuncinya adalah
adanya kesenjangan. Ada gap antara yang dibutuhkan konsumen dan produk atau
layanan dari para penyedia jasa.
Lalu ada excess capacity yang dimiliki sesama konsumen.
Intinya, konsumen mau ojek yangmudahdidapatdengantarif murah, tetapi yang ada
ojek yang sulit dicari dengan tarif sesukanya. Kadang tarifnya terkesan
memeras. Konsumen mau taksi yang tarifnya lebih bersahabat dan mudah dipesan.
Dilapangan, yang ada taksi dengan tarif kurang ramah kantong dan pada jam-jam
sibuk sulit dipesan.
Lalu ada konsumen yang punya kelebihan kapasitas karena
fasilitas yang dimilikinya tak terpakai 24 jam secara utuh. Beberapa jam
dalam sehari masih bisa dikomersialkan. Fenomena ada ojek vs Gojek/GrabBike
atau Blue Bird/Express vs Uber/GrabCar kini meluas ke mana-mana, ke berbagai
bidang usaha. Di bisnis perhotelan ada Airbnb yang menjadi pesaing hotel.
Lalu yang belakangan berkembang secara masif adalah bisnis
fintech. Apa itu fintech? Ini kepanjangan dari financial technology. Artinya
tentu Anda bisa dengan mudah menerka, yakni inovasi dalam bidang finansial
dengan menerapkan teknologi modern. Ada banyak aktivitas di industri
finansial yang berbasis fintech seperti proses pembayaran, transfer, jual
beli saham, peminjaman uang secara peer to peer, dan sebagainya.
Jadi, bukan sekadar e-money atau ewallet. Di kawasan
Asia-Pasifik, bisnis fintech mampu berkembang dengan sangat pesat. Ini
tecermin setidak-tidaknya dari besarnya nilai investasi di industri itu.
Menurut data Accenture, sepanjang 2014 investasi fintech mencapai USD880
juta. Namun selama sembilan bulan pertama tahun 2015, investasi di industri
fintech sudah senilai USD3,5 miliar.
Jadi sudah tumbuh hingga tiga kali lipat dan bukan tidak
mungkin akan mencapai empat kali lipat. Apa yang membuat industri fintech
mampu berkembang begitu pesat? Saya melihat setidak-tidaknya ada empat
faktor.
Pertama, banyak anak muda kita yang begitu lulus kuliah
langsung mengembangkan bisnis start-up. Mereka ini sangat terbantu dengan
adanya fintech. Mereka bisa memperoleh pinjaman untuk modal usaha hingga
menemukan mitra untuk berkolaborasi.
Kedua, meluasnya fintech membuat banyak usaha bisa
memperoleh pinjaman dengan suku bunga yang lebih rendah ketimbang suku bunga
perbankan atau lembaga pembiayaan lain.
Salah satu aplikasi yang memfasilitasi para startup untuk
memperoleh pinjaman adalah KoinWorks. Selama ini banyak pebisnis kreatif yang
kesulitan memperoleh pinjaman dari bank karena mereka tak memiliki agunan.
Aplikasi KoinWorks mempertemukan mereka yang butuh modal dengan para pemilik
dana tanpa harus ribet soal agunan. Aplikasi seperti KoinWorks ini banyak
berkembang di Indonesia. Contohnya ada, cukup banyak. Hanya saja business
model - nya masih banyak yang harus dibongkar lagi agar benar-benar
disruptif.
Ketiga, tumbuhnya bisnis fintech juga membuat bitcoin
berkembang.
Untuk Anda ketahui, bitcoin adalah mata uang virtual yang
digunakan sebagai alat bertransaksi di dunia digital. Jadi kalau mata uang
dolar atau rupiah digunakan untuk bertransaksi di dunia nyata, di dunia
digital transaksinya bisa menggunakan bitcoin. Berkembangan fintech
membuatpenggunaan bitcoin jugameluas.
Di dunia ini ada 2,5 miliar pengguna bitcoin yang tidak
memilikiakunbank. Denganadanya bitcoin, mereka tetap bisa bertransaksi
seperti melakukan pembayaran, transfer. Keempat, berkembangnya bisnis fintech
juga meningkatkan taraf hidup masyarakat. Di Malaysia ada Soft Space, sebuah
start-up yang mengembangkan aplikasi untuk menggandeng merchant-merchant yang
mau menerima pembayaran dengan kartu kredit, tetapi suku bunganya sangat
rendah. Anda tahu bukan betapa tingginya suku bunga kartu kredit di negara
kita?
Game Changer
Melihat begitu masifnya perkembangan bisnis fintech, saya
berharap para pelaku bisnis keuangan di negara kita tidak gagap meresponsnya.
Jangan sampai seperti yang terjadi pada pelaku di industri transportasi.
Mereka ramairamai menolak kehadiran ojek atau taksi berbasis aplikasi setelah
penghasilannya terpangkas lebih dari separuhnya.
Juga saya berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank
Indonesia, dan Kementerian Keuangan tidak merespons kehadiran fintech dengan
caracara yang kurang pas sebagaimana pernah dilakukan Kementerian Perhubungan
ketika menyikapi hadirnya ojek atau taksi berbasis aplikasi. Mereka memakai
paradigma masa lalu untuk mengatur bisnis-bisnis masa depan.
Jelas tidak kena! Di kalangan industri, saya lihat mereka
merespons kehadiran fintech dengan lebih bersahabat. Contohnya Bank Mandiri.
Melalui anak usahanya PT Mandiri Capital Indonesia (MCI), bank BUMN ini malah
berinvestasi di 4 perusahaan fintech. Untuk tahun ini MCI menargetkan
penyertaan modal pada 8 sampai 10 bisnis fintech .
Kalau langkah Bank Mandiri ditiru oleh bank-bank atau
lembaga pembiayaan yang lain, ini tentu menjadi kabar gembira. Hanya, catatan
saya, jangan sampai kolaborasi atau penyertaan modal dijadikan bank atau
lembaga pembiayaan untuk “membonsai” bisnis fintech. Jadikanlah penyertaan
modal itu sebagai strategi atau vehicle untuk pertumbuhan bisnis di masa
mendatang.
Saya termasuk orang yang yakin bahwa bisnis fintech akan
menjadi game changer bagi industri keuangan kita dan mungkin juga dunia. Di
Indonesia, misalnya, baru 19% dari seluruh penduduknya yang memakai bank.
Jadi masih ada 81% yang belum menggunakan bank. Ini tentu bisa menjadi pasar
potensial bisnis fintech.
Maka tak selayaknya pelaku bisnis dan regulator membendung
laju bisnis fintech. Kalau itu dilakukan, saya khawatir, bakal terjadi “cuci
darah” sebagaimana menimpa kalangan cosa nostra. Kita tentu tak berharap
jangan sampai hal itu terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar