Habis
Gelap Terbitlah Terang
Samuel Mulia ;
Penulis
Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 26 Februari 2017
Langit begitu gelap gulita di pagi hari ketika saya
menulis artikel ini. Mendung menutupi Kota Jakarta. Belum lagi hujan yang tak
berhenti turun. Matahari sudah tiga hari tak memperlihatkan batang hidungnya.
Dengan cuaca seperti itu, biasanya saya jadi baper alias
bawa perasaan. Namun, pagi itu, saya teringat pesan seorang teman yang pernah
sekali waktu menasihati, bahwa saya harus mampu bersinar seperti matahari di
tengah kegelapan.
Gelap
Dulu, ketika pesan yang tampaknya masuk akal dijalani itu
disampaikan, saya hanya manggut-manggut menyetujuinya. Entah mengapa pagi itu
saya jadi bertanya, apakah pesan yang sudah lama disampaikan itu masuk akal
untuk dijalani. Saya harus mampu menjadi seperti matahari bersinar di tengah
kegelapan, di tengah mendung nan kelabu?
Saya melepaskan pandangan kepada gelapnya pagi pada hari
itu. Dari tempat tinggal yang berlokasi di lantai yang lumayan tinggi,
pemandangan Kota Jakarta dalam kegelapan dan hujan, seperti sebuah lukisan
yang dramatis. Bahkan beberapa gedung pencakar langit yang biasanya dapat
dilihat dengan jelas, hari itu tertutup kabut dan hanya samar-samar terlihat.
Tentu, pemandangan semacam itu tak menyuguhkan sedikit pun
sinar matahari. Sinarnya yang biasa terik dan menyengat tak mampu menembus
kegelapan sepagi itu. Maka sebuah pagi hari disebut pagi yang mendung,
berkabut, dan gulita, kalau sinar matahari menjadi impoten alias tak berdaya
melawan kegelapan yang dihadirkan semesta.
Melihat pemandangan dramatis sepagi itu, saya mulai
meragukan nasihat teman saya di atas untuk mampu menjadi matahari yang
menyinari kegelapan sehingga kegelapan sirna. Bukankah pemandangan dramatis
itu telah menyuguhkan sebuah bukti nyata, bahwa matahari dengan sinarnya yang
kuat sekalipun, tidak mampu menyinari kegelapan?
Dengan kemampuan intelektual yang digambarkan oleh kepala
sekolah di masa sekolah dasar dahulu, sebagai ayam tanpa otak, saya berpikir
bahwa akan datang masanya setiap orang akan menghadapi sebuah hari yang
gelap, dan ada masanya menghadapi situasi yang terang. Namun, seseorang tak
bisa menjadi pahlawan kesiangan untuk menepis hari yang seharusnya gelap,
menjadikannya terang benderang.
Terang
Saya ingat sekali waktu pernah dinasihati oleh
teman-teman, dan oleh mereka yang sudah mengenyam garam kehidupan lebih lama,
bahwa pelajaran hidup itu bisa didapat dari begitu banyak hal dan kejadian.
Baik dari sebuah keadaan yang terang, atau oleh keadaan yang gelap.
Pelajaran yang diberikan ketika kita sehat walafiat dan
kaya raya, dan pelajaran ketika kita kekurangan uang dan berkelimpahan
penyakit. Saya tak tahu apakah Anda pernah dinasihati seperti itu. Kalau
saya, sudah sampai bosan rasanya.
Nah, kalau benar demikian nasihat mulia itu, apa
pentingnya saya sampai harus menerangi kegelapan, kalau dari kegelapan
seseorang bisa belajar sesuatu dan naik kelas? Mengapa saya harus berpikir
bahwa kegelapan itu selalu perlu diterangi? Mengapa saya seperti merasa
terang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi?
Kalau memang benar bahwa kita bisa naik kelas karena
mengalami terang dan karena mengalami gelap, bukankah keduanya memiliki bobot
yang sama? Terang bisa memberi terik yang membuat seseorang berkata:
"Duh panasnya setengah mati." Namun, di lain pihak, teriknya terang
membuat jemuran cepat kering.
Mendung yang sangat dan membuat gulita serta hujan deras
yang datang, bisa mendatangkan banjir yang merepotkan, tetapi mendung
menyejukkan hari. Jadi, kalau saya menjadi manusia yang menerangi kegelapan,
tidakkah saya malah menghalangi orang untuk naik kelas dan ia tak bisa
belajar dari sebuah situasi yang gulita?
Saya percaya, setelah hari-hari penuh hujan yang
menggelapkan bumi, akan datang hari-hari musim panas yang terik memanasi
fisik. Dan, seperti juga musim yang berganti secara alamiah, maka perubahan
gelap ke dalam terang akan terjadi secara alamiah ketika masanya sudah tepat
untuk berubah. Maka, seyogianyalah manusia menikmati keduanya tanpa perlu
mempercepat atau memaksa proses perubahan itu.
Benarlah kalau dikatakan bahwa habis gelap terbitlah
terang, bukan di tengah gelap terbitlah terang. Maka, wujud dari kebahagiaan
yang sejati buat saya adalah tidak bercita-cita seperti pungguk merindukan
bulan untuk bersinar di tengah kegelapan.
Wujud kebahagiaan yang sejati itu adalah terdapat di dalam
kemampuan bersyukur untuk menikmati kegelapan tanpa harus berharap ada
terang, dan bersyukur menikmati teriknya hidup tanpa mengharap datangnya
hujan yang mendinginkan.
Karena manusia hanya diberi dua kesempatan besar dalam
hidupnya. Diberi kesempatan mengalami gelap dan mengalami terang. Dan, ketika
manusia bercita-cita menepis kegelapan, masih pantaskah ia disebut manusia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar