Reformasi
Bisnis Tionghoa
Hasanudin Abdurakhman ;
Cendekiawan;
Penulis; Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 20 Februari 2017
Saya ditantang oleh seorang teman dari etnis Tionghoa,
untuk menyampaikan kritik kepada kalangan bisnis Tionghoa. "Kami juga
ingin melakukan koreksi terhadap berbagai tindak tanduk kami, agar kita semua
bisa berkontribusi secara positif untuk Indonesia. Masukan dari saudara
sebangsa akan sangat bermanfaat," katanya.
Ini bukan tantangan yang mudah untuk dijawab. Bukan karena
saya segan menyampaikan kritik. Tapi karena bagi saya persoalan Tionghoa ini
lebih sering merupakan persoalan stereotype ketimbang nyata. Atau setidaknya,
sulit dibedakan dengan tegas, mana yang merupakan stereotype, mana yang
fakta.
Tapi bagi saya tantangan ini menarik. Selama ini seperti
halnya soal agama, kita nyaris tak pernah secara terbuka membicarakan soal
etnis. Pembicaraannya sering dilakukan secara tertutup, berbasis pada
kecurigaan. Saya kira penting bagi kita untuk mulai melihat dan membicarakan
masalah ini secara terbuka dan adil.
Pertanyaan pertama yang harus saya ajukan adalah, kenapa
Tionghoa? Kenapa yang disebut non-pribumi itu cuma mereka? Kenapa Arab,
India, dan bangsa lain tidak atau jarang disebut demikian? Bahkan sebenarnya,
istilah non-pribumi itu sebenarnya sangat absurd. Kita semua ini adalah
pendatang di bumi Nusantara ini.
Tapi sekali lagi, kenapa Tionghoa? Karena mereka secara
menonjol menguasai perekonomian. Itu fakta. Tapi kenapa? Jawabannya bisa
sangat panjang dan rumit. Jawaban sederhananya, karena mereka mau berbisnis.
Orang-orang Tionghoa secara rata-rata memang punya kemauan
dan nyali bisnis yang tinggi. Artinya, orang yang punya kemauan yang sama
akan bisa juga berbisnis seperti mereka. Buktinya, ada banyak juga
konglomerat kita yang bukan orang Tionghoa.
Kesan lain, orang Tionghoa itu tertutup. Sulit bagi yang
bukan Tionghoa untuk bisa masuk ke jaringan bisnis mereka. Pernyataan ini pun
perlu diuji betul dengan kajian yang sahih. Saya kebetulan sudah 20 tahun
lebih berinteraksi dengan orang Jepang. Kesannya sama, mereka sulit ditembus.
Tapi saya memahami itu sebagai masalah membangun kepercayaan. Kalau kita bisa
membangunnya, sebenarnya tidak sulit. Faktanya, ada cukup banyak eksekutif
maupun mitra bisnis dari kalangan pribumi di perusahaan Tionghoa.
Orang Tionghoa dikesankan diskriminatif terhadap yang
bukan Tionghoa. Ini sulit untuk kita konfirmasi. Mungkin ada faktanya, tapi
apakah itu merupakan kebiasaan umum? Atau sekedar perilaku personal saja?
Tidakkah hal yang sama juga dilakukan oleh etnis lain? Sedandainya pun ada,
apa solusinya? Ini adalah soal kepatuhan hukum. Solusinya harus diambil
berdasar hukum, yang lebih khusus akan dibahas di bagian akhir dari tulisan
ini.
Kata teman saya tadi, orang Tionghoa sering berperilaku
seperti pemilik sawah yang tahunya hanya menggarap sawah, dan panen. Mereka
tidak peduli pada jalan yang dilalui untuk menuju ke sawah itu. Juga tidak
peduli pada sawah-sawah di sekitar. Benarkah demikian? Saya kira justru
teman-teman Tionghoa yang harus mengkaji ini secara adil dan terbuka. Saya
sendiri tidak punya banyak informasi.
Dari saya, ada 2 kritik. Pertama soal kepatuhan hukum,
yang dalam dunia bisnis disebut compliance. Bisnis tujuannya untung. Waktu
sangat berharga bagi pebisnis. Maka birokrasi biasanya adalah musuh bagi
dunia bisnis. Terlebih bila birokrasinya korup. Orang bisnis akan mencari
cara memotong berbagai hambatan birokrasi itu. Bila diperlukan, mereka rela
membayar secara ilegal.
Ini fakta dari lapangan. Ada begitu banyak kasus korupsi,
utamanya penyuapan dari pengusaha kepada aparat pemerintah. Dalihnya, para
pengusaha terpaksa melakukan itu, karena kalau tidak disuap, aparat tidak
bergerak untuk melayani. Atau bahkan mereka menghalangi dengan berbagai cara.
Tapi dalih itu tak selalu benar. Tak jarang justru para
pengusahalah yang mencari-cari jalan menyuap, agar mereka bisa bebas
berbisnis dengan melanggar hukum. Singkat kata, korupsi itu ada karena ada 2
pihak yang korup, yaitu pengusaha dan aparat.
Ada banyak kasus korupsi yang melibatkan pengusaha
Tionghoa. Maka ini adalah isu penting. Indonesia harus bebas dari korupsi,
dan pengusaha harus membebaskan diri dari praktik-praktik bisnis kotor.
Orang-orang Tionghoa yang merupakan pelaku utama di dunia ini harus mengambil
peran utama. Jangan sampai mereka bersikap masa bodoh. Tentu saja dengan
tidak mengesampingkan peran pengusaha lain dari kalangan non Tionghoa.
Kedua, soal teknologi. Kita punya banyak pengusaha, dengan
kekayaan berlimpah. Tapi apa produk teknologi kita? Nyaris tidak ada.
Kebanyakan bisnis kita adalah bisnis perdagangan, keuangan, dan property.
Sisanya bisnis pengolahan sumber daya alam. Teknologi yang kita pakai, kita
beli saja. Tidak ada produk hasil teknologi kita sendiri. Kita sangat
tertinggal dalam industri pembuatan barang atau manufaktur.
Kenapa? Karena kita tidak melakukan riset dan
pengembangan. Kita lebih suka berdagang. Bisnis perdagangan rantai
spekulasinya tidak panjang. Keuntungan bisa ditakar dengan segera. Bisnis
manufaktur membutuhkan kemampuan teknologi, manajemen, dan yang penting,
margin keuntungannya tidak besar. Terlebih, kegiatan pengembangan produk
membutuhkan waktu, SDM, dan biaya yang sangat besar. Maka, tidak banyak
pengusaha yang mau melakukannya.
Tapi bila kita tidak melakukannya, maka kita akan terus
menerus tergantung pada teknologi dan produk orang lain. Kita tak menjadi
produsen, sekedar konsumen. Ketika kelak sumber daya alam kita habis, apa
yang akan kita pakai untuk berdagang dengan bangsa lain? Tiongkok, Jepang,
Korea, Taiwan, adalah negara-negara dengan basis manufaktur yang kuat. Di
belakang mereka ada Thailand dan Singapura. Kita masih jauh tertinggal.
Maukah para pengusaha Tionghoa berinvestasi untuk riset,
mengembangkan teknologi? Ini tantangan besar. Komitmen pada Indonesia harus
dibuktikan dengan cara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar