Wacana
Perppu Pemilu
Khairul Fahmi ;
Peneliti
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Unand;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum FH UGM
|
KORAN
SINDO, 20
Februari 2017
Pansel komisioner KPU-Bawaslu telah menyelesaikan tugasnya
dengan menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota
Bawaslu kepada Presiden pada 1 Februari lalu. Hasil seleksi tersebut
selanjutnya akan diajukan Presiden kepada DPR untuk dilakukan pemilihan terhadap
tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu. Jika dihitung berdasarkan hari
kerja, paling lambat tanggal 21 Februari, Presiden sudah harus menyerahkan 24
nama calon penyelenggara pemilu dimaksud. Berikutnya, dalam waktu 30 hari
sejak berkas calon diterima, DPR sudah harus melakukan uji kelayakan dan
kepatutan, serta memilih anggota KPU-Bawaslu.
Bila dihitung waktu maksimal, deadline pemilihan anggota
KPU-Bawaslu jatuh pada tanggal 4 April 2017 atau delapan hari sebelum
berakhir masa jabatan komisioner saat ini. Jika hal itu diikuti, hanya akan
ada waktu selama dua bulan bagi anggota KPUBawaslu baru melakukan adaptasi
dan konsolidasi menjelang dimulainya tahapan Pemilu 2019 pada Juni mendatang.
Sebuah waktu yang amat singkat di tengah segala ketergesaan persiapan tahapan
pemilu.
Sayangnya, jangankan berharap agar proses pengajuan oleh
Presiden dan pemilihan di DPR disegerakan. Yang muncul justru rencana
penundaan hingga penolakan terhadap hasil seleksi yang telah dilakukan. Ketua
Pansus RUU pemilu dan sejumlah anggota fraksi DPR beralasan, UU Pemilu masih
sedang dibahas dan diperkirakan beberapa ketentuan terkait penyelenggara
pemilu akan mengalami perubahan, khususnya ihwal jumlah dan syarat anggota
KPU-Bawaslu.
Dengan begitu, menurut mereka, seleksi semestinya
dilakukan nanti setelah UU Pemilu disahkan. Guna mengatasi kekosongan jabatan
anggota KPU-Bawaslu akibat belum disahkannya UU, wacana meminta Presiden
menerbitkan Perppu Pemilu pun digulirkan.
Tanpa Alasan
Dalam batas-batas tertentu, manuver penolakan yang
dilontarkan kalangan DPR dapat dimaklumi. Hanya, wacana itu tidak dibangun di
atas tempat berpijak yang jelas. Sebab, tiada satu alasan hukum pun yang bisa
dijadikan alasan pembenar merealisasikan hal itu sebagai sikap resmi DPR.
Mengapa demikian? Pertama, proses seleksi calon anggota KPU-Bawaslu
sebagaimana diatur UU Nomor 15/2011 dan tahapan pemilu sesuai UU Nomor 8/2012
masih mengikat Presiden dan DPR hingga kini sehingga fakta segera berakhirnya
masa jabatan komisioner dan dimulainya tahapan pemilu 2019 menuntut Presiden
dan DPR untuk memenuhi amanat dua UU tersebut.
Kedua, belum selesainya pembahasan RUU Pemilu bukanlah
penghambat bagi proses seleksi. Sebab, UU Penyelenggara Pemilu yang ada
merupakan hukum positif yang masih berlaku. Dalam kondisi anggota
KPU-Bawaslutelahakanmengakhiri jabatan, mekanisme pengisian pejabat periode
berikutnya harus mengacu pada UU tersebut. Sementara RUU Pemilu baru sebatas
draf, yang sama sekali tidak dapat mengesampingkan UU yang masih sah berlaku.
Ketiga, UU Nomor 8/2012 mengamanatkan, tahapan pemilu sudah harus dimulai
paling lambat 22 bulan sebelum pemungutan suara.
Artinya, tahapan Pemilu 2019 sudah akan dimulai pada Juni
2017 mendatang. Guna memberikan waktu yang cukup bagi komisioner baru
mempersiapkannya, proses pergantian tidak boleh melebihi batas akhir masa
jabatan komisioner KPUBawaslu periode 2012-2017, yaitu 12 April 2017.
Keempat, jika kelak dalam UU Pemilu yang baru komposisi keanggotaan KPU dan
Bawaslu lebih banyak dari yang ada saat ini dan membutuhkan lebih banyak
calon dari yang telah diajukan, DPR sesungguhnya memiliki beberapa alternatif
tanpa menolak hasil seleksi yang telah selesai.
Pertama, jumlah keanggotaan KPU-Bawaslu yang baru diyakini
tidak akan melebihi jumlah calon yang diajukan Presiden saat ini sehingga DPR
dapat memaksimalkan nama-nama yang telah dihasilkan dalam proses pemilihan.
Bila pilihan itu tidak bisa diakomodasi, DPR dapat mengambil pilihan kedua,
yaitu meminta tambah calon kepada Presiden sesuai kebutuhan yang ditentukan
UU Pemilu baru. Dengan alternatif itu, menunda atau menolak seleksi calon
penyelenggara pemilu baru tentu dapat diurungkan.
Tidak Ada Kegentingan
Di tengah ketiadaan alasan menunda proses seleksi calon
anggota KPU dan Bawaslu, DPR juga berencana meminta Presiden menerbitkan
Perppu untuk memperpanjang masa jabatan anggota KPU-Bawaslu saat ini.
Permintaan tersebut amat kontraproduksi dengan wacana yang dilontarkan.
Betapa tidak, ancaman tidak terisinya jabatan anggota KPUBawaslu sesuai
jadwal muncul dari DPR, namun Presiden yang malah diminta memberi jalan
keluar dengan Perppu.
Kalaupun misalnya permintaan itu akan dipertimbangkan
lebih jauh, secara objektif Presiden sama sekali tidak memiliki alasan
menerbitkan Perppu untuk kasus demikian. Sebab, dalam sistem peraturan
perundang-undangan Indonesia, Perppu merupakan pintu darurat. Sebagai pintu
darurat, hanya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan digunakan. Sekaitan
dengan itu, syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa mesti terpenuhi bila
langkah tersebut akan ditempuh.
Kegentingan memaksa dimaksud setidaknya mencakup tiga
kondisi sebagaimana dikemukakan MK melalui Putusan Nomor 38/PUUVII/ 2009,
yaitu : (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak
memadai sehingga terjadi kekosongan hukum; (3) kekosongan hukum tidak dapat
diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena waktu yang diperlukan
tidak mencukupi, sementara keadaan mendesak perlu kepastian untuk segera
diselesaikan.
Hingga kini sama sekali tidak ada masalah hukum terkait
masa jabatan komisioner dan proses seleksi anggota KPUBawaslu periode
berikutnya yang membutuhkan penyelesaian secara cepat berdasarkan UU darurat.
Komisioner KPUBawaslu memang akan segera mengakhiri masa jabatannya. Namun,
untuk calon pengganti, Presiden telah menetapkannya. Tinggal DPR melakukan
proses pemilihan saja sehingga tidak akan terjadi kekosongan jabatan anggota
KPU-Bawaslu.
Selain tidak ada kebutuhan mendesak, juga tidak terjadi
kekosongan hukum yang membutuhkan terbitnya Perppu. Sebab, UU Nomor 15/2011
masih berlaku dan sah dijadikan dasar menyeleksi calon anggota KPU-Bawaslu.
Bisa saja DPR menolak hasil seleksi calon anggota KPU-Bawaslu. Namun, DPR
tidak dapat menafikan keberadaan UU Penyelenggara Pemilu yang mementahkan
keinginannya meminta Presiden menerbitkan Perppu Pemilu. Ketiadaan alasan
penolakan dan tidak terpenuhinya syarat objektif penerbitan Perppu Pemilu
sebagaimana dibentangkan di atas patut diperhitungkan DPR guna mengurungkan
niat menunda atau menolak hasil seleksi yang diserahkan Presiden.
Tidak ada yang salah bila proses pemilihan anggota KPU-Bawaslu
dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan RUU Pemilu. Andaipun kelak terdapat
perubahan komposisi keanggotaan KPU-Bawaslu, penyesuaian dapat dilakukan
kemudian. Langkah tersebut jauh lebih bijak di tengah amat mendesaknya
pengisian anggota KPU-Bawaslu dan persiapan Pemilu 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar