Hunian
untuk Rakyat
Prabham Wulung Pratipodyo ;
Urbanis;
Alumnus Departemen Arsitektur
Universitas Indonesia serta program Magister Perencanaan Kota dan Real Estate
Universitas Tarumanagara
|
KOMPAS, 24 Februari 2017
Dalam kerasnya pertarungan Pilkada 2017 di DKI Jakarta,
salah satu yang mengemuka adalah pemikiran atau janji untuk menghadirkan
program penyediaan rumah bagi warga Jakarta dengan uang muka 0 persen.
Janji ini sontak menjadi perdebatan hebat, terutama di
media sosial, baik antara pengamat, tim sukses, maupun para pendengung.
Keriuhan ini wajar karena janji ini seperti guyuran hujan di tengah kemarau,
mengingat semakin mahalnya harga rumah di Jakarta yang membuat warga semakin
tidak mampu membeli.
Tulisan ini tidak untuk menyanggah atau mendukung janji
tersebut secara buta, tetapi untuk melihat secara komprehensif jika janji
tersebut diwujudkan. Oleh karena itu, saya akan menganggap bahwa janji
tersebut dilaksanakan dan mencoba melihat apa yang akan terjadi di belakang.
Juga akan dilihat kemungkinan-kemungkinan lain dalam upaya penyediaan hunian
bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Asumsi di awal, skema ini akan diberikan kepada masyarakat
berpenghasilan terbatas yang belum memiliki hunian. Skema ini juga
diasumsikan ditujukan pada pembelian hunian rumah susun yang sesuai
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diharapkan menjadi solusi pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan hunian, bukannya rumah tapak.
Uang muka 0 persen
Pada kenyataan di lapangan, para pengembang dan pembiaya
(bank, leasing, dan koperasi) sudah mampu memberikan gimmick program uang
muka 0 persen. Ada yang membagi rata harga rumah terhadap jumlah bulan yang
disepakati (kebanyakan 36 bulan hingga 60 bulan). Ada yang sebenarnya bukan
murni uang muka 0 persen, melainkan tetap ada uang muka (katakan sebanyak 20
persen), tetapi dicicil selama empat hingga enam bulan, lalu sisa 80 persen
diajukan dalam kredit pemilikan rumah (KPR).
Skema di atas banyak dilakukan oleh pengembang rumah susun
yang barangnya belum tersedia. Jadi, sambil pembeli mencicil uang pembelian
tersebut, pengembang mendapat uang arus kas secara bertahap untuk membangun
rumah susun yang ditawarkan. Dengan begitu sebenarnya pembeli adalah
"investor" bagi pengembang tersebut karena ia telah membantu arus
kas pengembang.
Dengan begitu, skema uang muka 0 persen pada hunian yang
belum jadi ini sebenarnya adalah
membagi risiko pengembang kepada pembeli karena hunian juga belum tersedia.
Bagi masyarakat bawah yang belum memiliki hunian, skema ini cukup "seram"
karena risiko pengembang telah dibebankan sebagian kepada pembeli dan pembeli
pun belum bisa menghuni. Mari kita
sebut skema ini sebagai "Skema A".
Sekarang, mari kita beralih ke "Skema B". Skema
ini ditawarkan pada hunian yang sudah jadi, besar kemungkinan pembiayaan
cicilan akan dibebankan kepada lembaga pembiayaan (bank) karena pengembang
tidak ingin barang yang sudah jadi dibayarkan beberapa waktu ke depan.
Tanpa uang muka, bank akan berharap Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta yang akan menalangi pembayaran uang muka. Melihat kebiasaan dan
risiko yang berlaku di industri ini, uang muka 15 persen (Peraturan Bank
Indonesia No 18/16/PBI/2016) harus ditalangi oleh pemerintah provinsi. Tentu
gubernur yang menjabat yang menjanjikan uang muka 0 persen harus berhitung
detail tentang hal ini.
Ada dua hal yang perlu dihitung secara detail. Pertama,
jumlah warga yang harus dibiayai. Ini akan berkorelasi juga pada aspek
keadilan, seperti siapa yang pantas dibiayai dan seberapa besar kemampuan
APBD DKI Jakarta membiayai.
Kedua, produk hunian mana yang diperbolehkan dibeli.
Karena ini adalah proses jual-beli, tentu produk yang ditawarkan tidak boleh
di atas tanah milik negara atau provinsi, tetapi inisiasi swasta (perhatikan
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun).
Produk hunian yang dihasilkan oleh pengembang swasta tentu
memberikan implikasi pada layak tidaknya lembaga swasta yang menawarkan dan
juga harga jual. Sebagaimana kita ketahui, harga tanah di Jakarta yang
dimiliki swasta cenderung tidak terkontrol. Akibatnya swasta terpaksa menjual
dengan harga tinggi.
Saat tulisan ini dibuat (2017), sulit menemukan harga
rumah susun di pinggir Jakarta seluas 36 meter persegi (standar layak untuk
berkeluarga) di bawah angka Rp 600 juta.
Risiko gagal bayar
Mari kita berasumsi bahwa "Skema B" yang
digunakan, mengingat "Skema A" cukup berisiko bagi masyarakat
bawah. Dengan begitu, pemerintah provinsi punya beban minimal 15 persen dari
harga Rp 600 juta di setiap unit. Tentu risiko gagal bayar terhadap sisa
pembayaran 85 persen oleh pembeli juga harus tetap dihitung.
Dari paparan di atas, penulis justru melihat bahwa solusi
penyediaan rumah bagi masyarakat bawah adalah rumah susun sewa. Melalui rumah
susun sewa, negara mampu menyediakan rumah susun di atas tanah negara untuk
dihuni masyarakat berpenghasilan terbatas.
Fungsi rumah sebagai hunian bagi keluarga tidak akan
berbeda antara rumah susun sewa dan rumah susun milik. Pemerintah pun bisa
mengatur besarnya subsidi biaya sewa agar biaya sewa dapat terjangkau
sehingga penghuni dapat hidup dengan baik.
Dengan rumah susun sewa, pemerintah akan memegang kontrol
penuh atas penghuni sehingga saat penghuni sudah lebih berdaya dan mampu
membeli hunian milik (meski di luar Jakarta), rumah susun sewa tersebut bisa
ditujukan bagi warga yang lebih membutuhkan. Dengan rumah susun sewa, kontrol
atas subsidi juga bisa dipenuhi sehingga tepat sasaran.
Sebagai informasi, subsidi pada rumah susun milik
cenderung salah sasaran karena begitu rumah susun milik telah secara utuh
dipunyai, pemilik cenderung menjual kepada pihak lain dengan harga pasar.
Yang terpenting, dengan kontrol penuh atas unit yang dibangun, pemerintah
mampu menyelenggarakan program ini lebih masif dan berkelanjutan agar
masyarakat bawah tidak lagi hidup di pinggir sungai atau kolong jembatan,
tetapi hidup berdaya di rumah susun sewa.
Skema rumah susun sewa, bukan rumah susun milik sebagai
solusi penyediaan hunian bagi masyarakat yang tidak berdaya, sudah banyak
dilakukan di negara-negara maju.
Di Denmark dan Portugal, penyediaan hunian bagi kaum tak
berdaya dilakukan dengan membangun social house yang tak lain adalah hunian
susun sewa. Tujuannya untuk mengarahkan subsidi kepada orang yang tepat dan
agar orang yang tak berdaya bisa tetap berada di dalam kota, tak tersingkir
oleh kaum yang lebih berpunya (Alves; Andersen, 2016).
Tentu ide uang muka 0 persen tetap baik jika mampu
dijalankan. Akan tetapi, hingga saat ini, penulis melihat program ini belum
bisa dijalankan secara masif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, agar
masyarakat bawah tetap dapat hidup layak dalam hunian yang baik, pemerintah,
baik tingkat pusat maupun provinsi, harus membangun rumah susun sewa
sebanyak-banyaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar