Kontroversi
Pengaktifan Kembali Gubernur Jakarta
Frans H Winarta ;
Guru
Besar Universitas Pelita Harapan;
Ketua Umum Persatuan Advokat
Indonesia (Peradin)
|
KORAN
SINDO, 23
Februari 2017
Sesuai dengan amanat UUD 1945, Indonesia sebagai negara
hukum menjunjung tinggi penegakan hukum yang adil di mana setiap warga negara
mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Segala persoalan yang terjadi harus diselesaikan secara
hukum dan setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Proses
demokrasi yang terjadi di Indonesia semenjak era reformasi begitu dinamis.
Dahulu banyak orang yang tadinya apatis terhadap keberlangsungan negara. Bisa
jadi karena sebelumnya, kebebasan berekspresi sempat dibungkam.
Namun, saat ini seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi
dalam demokrasi dengan menggunakan elemen-elemen yang dimungkinkan dalam
sistem demokrasi. Tahun 2017 ini pilkada diadakan serentak di Indonesia.
Setiap warga negara berhak untuk memilih calon kepala daerah yang mampu
membangun sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing.
Dapat kita rasakan sendiri, banyak hal yang terjadi
menjelang hari- H pilkada DKI Jakarta yang menarik perhatian rakyat
Indonesia. Hampir seluruh lapisan masyarakat begitu peduli terhadap jalannya
pemerintahan. Adapun yang menjadi faktor utama bagi warga Jakarta pada
umumnya adalah mengenai program kerja calon gubernur dan wakil gubernur DKI.
Warga Jakarta merasakan sendiri perubahan baik yang terjadi
di Jakarta beberapa tahun belakangan sehingga standar penilaian terhadap
cagub dan cawagub menjadi lebih tinggi pula. Yang lebih hebat, janji-janji
politik tidaklah menjadi penilaian utama warga Jakarta, melainkan program
pembangunan yang benar-benar dilaksanakan. Walaupun begitu, fokus debat
publik kemarin ternyata para paslon kurang bermutu dan agak jauh dari
harapan.
Padahal, persoalan yang dihadapi DKI Jakarta sangatlah
kompleks. Warga Jakarta mengharapkan perdebatan yang sengit dalam isu
lingkungan hidup, transportasi publik, pengangguran, reformasi birokrasi,
narkoba, dan tingkat kejahatan, serta isu disabilitas, dan isu-isu lainnya.
Gejolak Politik
Sistem meritokrasi adalah sistem politik yang paling tepat
dilaksanakan untuk memberikan penghargaan lebih bagi mereka yang berprestasi.
Hal ini tentunya untuk menghindari sistem politik dinasti yang hanya
memberikan kesempatan kepada keluarga untuk kembali melanjutkan kekuasaan.
Namun, perlu diperhatikan mengenai etika berpolitik di Indonesia yang dikenal
dengan adat ketimurannya.
Hal ini untuk memberikan nilai teladan kepada generasi
muda yang mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin. Tidak bisa dimungkiri
terjadi ingar bingar di Ibu Kota semenjak Basuki Tjahaja Purnama (BTP) diduga
melakukan penodaan agama di Pulau Seribu akhir tahun 2016 lalu. Mulai dari
beberapa kali unjuk rasa hingga ketegangan yang terjadi dalam proses
pemeriksaan saksi dari JPU, yaitu Ketua Umum MUI Kiai Maruf Amin di
persidangan penodaan agama beberapa waktu lalu. Setelah cuti masa kampanye
pilkada selesai, gubernur nonaktif DKI seharusnya kembali ke balai kota untuk
melanjutkan aktivitasnya sebagai seorang kepala daerah.
Namun, karena status baru yang disandangnya sebagai
terdakwa, Mendagri harusnya mendorong Presiden Jokowi untuk segera
memberhentikan sementara BTP setelah cuti kampanye pilkada selesai. Hal ini
sesuai dengan aturan UU No23/2014 tentang Pemerintahan Daerah di mana
pemberhentian sementara gubernur dilakukan oleh presiden. Hal ini tentu juga
demi menghindari cacat hukum dan tidak berpotensi melanggar undang-undang.
Presiden Jokowi tidak boleh ragu dalam mengambil keputusan
dan sudah seharusnya Presiden Jokowi segera mengambil tindakan yang nyata
agar tidak terjadi gejolak lagi ke depannya. Setelah gubernur diberhentikan
sementara, nantinya wakil gubernur mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
dan wewenang gubernur yang berhalangan sementara. Jika Presiden Jokowi tidak
mengambil langkah tersebut, hal ini akan berpotensi memecah belah persatuan
dan kesatuan bangsa.
Karena telah terjadi begitu banyak persoalan yang muncul
bagaikan benang ruwet yang harus segera diurai. Asas praduga tak bersalah
wajib diutamakan, namun pencegahan persoalan menjadi meluas dan
berlarut-larut tentunya lebih baik. Dan yang paling penting, hal ini
dilakukan untuk menjaga suasana Ibu Kota agar tetap kondusif.
Bahkan, menurut berita yang beredar di media massa,
beberapa fraksi DPRD DKI Jakarta enggan untuk melaksanakan rapat kerja dengan
SKPD Pemprov DKI. Hal ini dilakukan karena memang ada potensi penyimpangan
dengan kembalinya seorang terdakwa menjabat sebagai gubernur setelah selesai
cuti kampanye pilkada kemarin. Tentu ini akan mengganggu efektivitas kinerja
banyak pihak.
Perlu diingat, musuh terberat bangsa Indonesia saat ini
adalah semakin banyak elemen masyarakat yang seolah menginginkan retaknya
persatuan dan kesatuan yang telah dipupuk berpuluh-puluh tahun oleh para
pendiri bangsa ini (the founding
fathers). Tentunya hal tersebut harus dihindari. Karena untuk menjadi
sebuah bangsa yang besar seperti saat ini memerlukan perjuangan berat,
beserta keringat dan darah seluruh rakyat Indonesia pada masa lampau.
Terlebih janganlah rakyat mau dialihkan perhatiannya dari fokus paling utama
negara ini, yaitu pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar