Freeport,
Kontrak Karya vs Konstitusi
Augustinus Simanjuntak ;
Dosen
Hukum Bisnis FE
Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 23
Februari 2017
Presiden Direktur Freeport McMoran Inc Richard Adkerson
telah mengingatkan pemerintah soal adanya batas waktu 120 hari (sejak 17
Januari 2017) untuk mencapai kesepakatan mengenai status kontrak karya PT
Freeport Indonesia (FI) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Jika
tidak ada titik temu, McMoran mengancam mengajukan masalah tersebut ke
arbitrase internasional.
Indonesia tentu tidak perlu gentar menghadapi ancaman
Adkerson itu. Sebab, pemerintah memiliki dasar konstitusional yang kuat dan
tegas untuk mengendalikan semua usaha tambang di Indonesia, termasuk di
Timika, Papua. Kita memiliki pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki eksplorasi
sumber daya alam (SDA) dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Juga pasal 4 (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara (Minerba) bahwa SDA tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang
dikuasai negara.
Lima puluh tahun sudah PT FI mengeruk kekayaan alam di
Timika. Namun, masih banyak rakyat (terutama di Papua) yang berada di bawah
garis kemiskinan. Pemerintah (sejak dulu) seolah tak berdaya menghadapi
kekuatan pemodal asing dalam pembuatan kontrak karya. Lima puluh tahun pula
kontrak karya dibuat dalam kedudukan yang sejajar antara pemerintah dan
swasta asing tanpa adanya proses alih aset dan teknologi industri. Baru
sekarang pemerintah berani menghadapi Freeport.
Jadi, sudah terlalu lama konstitusi kita tidak ditegakkan
kepada para perusahaan tambang asing. Padahal, UNIDROIT (unit harmonisasi
kontrak bisnis internasional di PBB) telah lama mengeluarkan prinsip-prinsip
dalam pembuatan kontrak bisnis internasional. Misalnya, pasal 1.7 UNIDROIT
menegaskan: Each party must act in accordance with good faith and fair
dealing in international trade. Maksudnya, pentingnya iktikad (maksud) baik
dan kesepakatan yang adil bagi para pihak.
Demokrasi dan Kontrak Karya
Iktikad baik itu harus dilihat secara menyeluruh, mulai
proses lahirnya kontrak hingga implementasinya. Persoalannya, mengapa kontrak
karya FI selama ini mampu mengalahkan konstitusi? Memang pasal 1.1 UNIDROIT
menjamin kebebasan berkontrak yang mengikat para pihak. Namun, kebebasan itu
wajib memperhatikan pasal 33 UUD 1945, UU Minerba, dan peraturan
pelaksanaannya sebagai mandatory rules (aturan bersifat memaksa) di negara
kita.
Hal tersebut diatur dalam pasal 1.4 UNIDROIT yang
menyatakan: Nothing in these principles (freedom of contract) shall restrict
the application of mandatory rules. Artinya, prinsip kebebasan berkontrak
tadi dibatasi konstitusi di suatu negara. Dengan begitu, kontrak karya
seharusnya wajib dibuat melalui proses demokrasi di Indonesia dan
substansinya wajib dibuka ke publik. Di dalam kontrak harus ada bukti bahwa
bumi, air, serta kekayaan alam di dalamnya memang dikuasai negara untuk
kemakmuran rakyat. Pemerintah cenderung tak transparan mengenai hal ini.
Kontrak karya tanpa melihat konstitusi dan persetujuan
rakyat merupakan tindakan sewenang-wenang serta cenderung menutupi sesuatu
kepada rakyat. FI sebagai badan usaha berkelas internasional tentu sangat
paham tentang pentingnya transparansi dalam mengambil kebijakan pemerintahan,
termasuk dalam pembuatan kontrak karya. Jangan sampai kebebasan para oknum
elite politik justru membungkam hak rakyat untuk tahu proses pembuatan
kontrak karya.
Jika ternyata proses demokrasi itu belum dilakukan di masa
lalu, kontrak karya tersebut bisa dianggap cacat prosedur. Amerika Serikat
sebagai negara asal FI tentu bisa memaklumi dan menghargai prinsip demokrasi
dan transparansi di negara kita. Mungkin saja kalau mengetahui semua proses
pembuatan kontrak karya dengan FI, publik tidak akan setuju dengan substansi
kontrak yang mengingkari konstitusi.
Biarlah aparat hukum yang mengusut para oknum elite
politik dan pemerintahan yang bermain mata dengan asing sehingga konstitusi
tak berdaya menghadapi kontrak karya. Berkaca pada maraknya kasus korupsi
dalam proyek-proyek pemerintah selama ini, ketertutupan pembuatan dan
implementasi kontrak karya (dulu) wajar menimbulkan kecurigaan di masyarakat.
Mungkin saja ada persekongkolan jahat (corruption by contract) di antara para
oknum birokrat dan korporasi dalam pembuatan kontrak karya sehingga negara
sangat dirugikan.
Publik pun sempat curiga atas munculnya kasus ”papa minta
saham”. Yang jelas, suap telah membuat penerimaan negara menjadi kecil karena
keuntungan besar yang seharusnya diterima pemerintah justru mengalir secara
ilegal ke kelompok oknum yang bersekongkol. Padahal, UNIDROIT telah melarang
segala bentuk negosiasi yang dilakukan dengan iktikad buruk.
Kontrak yang dibuat dengan maksud jahat (berdasar temuan
aparat hukum) tidak seharusnya dibiarkan berlaku. Demi konstitusi, kontrak
itu seharusnya dibatalkan. Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), yang juga
merupakan asas umum dalam kontrak bisnis, mengatur bahwa kontrak yang dibuat
dengan bertentangan dengan undang-undang yang sedang berlaku demi hukum harus
dibatalkan.
Karena itu, jika FI menyoal perubahan kontrak karya
menjadi IUPK ke arbitrase internasional, pemerintah perlu melakukan audit
investigasi atas semua kontrak karya di masa lalu. Termasuk problem
kesenjangan (gross disparity) antara profit yang diperoleh pemerintah dan FI.
Sebab, pasal 3.2.7 UNIDROIT melarang pembuatan kontrak yang membawa
keuntungan sangat besar (excessive advantage) bagi salah satu pihak hingga
tidak adil bagi pihak lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar