Perempuan
dan Jebakan Oligarki Partai
Yolanda Panjaitan ;
Dosen
Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Februari 2017
DALAM proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang
berlangsung saat ini, terdapat dorongan untuk mengembalikan sistem pemilu
tertutup dengan dinamai sistem ‘terbuka terbatas’ walaupun secara esensi
sebenarnya ini adalah sistem tertutup. RUU usulan pemerintah yang disampaikan
dengan Amanat Presiden 20 Oktober 2016 memuat sistem pemilu ‘terbuka terbatas’
dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut, yang kemudian
didukung fraksi-fraksi besar PDI Perjuangan dan Golkar. Apa implikasinya bagi
keterpilihan perempuan jika sistem ini benar-benar diadopsi?
Pertama, pengalaman bekerja mendampingi para caleg
perempuan dan berinteraksi dengan partai selama Pemilu 2009 dan 2014
menunjukkan dengan jelas bahwa partai politik tidak memiliki desain yang
jelas, sistematis, dan terpadu untuk mendorong keterpilihan perempuan dalam
pemilu (untuk isu ini lihat juga buku Paradoks Representasi Politik Perempuan
oleh Puskapol UI terbitan 2013). Bisa dikatakan bahwa peningkatan
keterpilihan perempuan dalam Pemilu 2009 dan 2014 bukan karena dorongan
partai, melainkan lebih banyak karena kerja keras caleg perempuan yang
didorong dengan kerja-kerja organisasi kelompok masyarakat sipil yang selama
ini bergiat di basis.
Ironisnya, walaupun para caleg perempuan tersebut bisa
bekerja keras untuk memenangi pertarungan elektoral tanpa dukungan maksimal
partai (kecuali mendapat tiket untuk dicalonkan), setelah terpilih menjadi
anggota parlemen di pusat ataupun di daerah, mereka tetap harus tunduk pada
agenda kebijakan partai. Akibatnya banyak legislasi properempuan dan
prokesejahteraan rakyat sulit untuk diperjuangkan (contohnya RUU Pekerja
Rumah Tangga, RUU Penempatan Buruh Migran, Amendemen UU Perkawinan). Para
anggota DPR/DPRD baik perempuan maupun laki-laki nyaris tidak memiliki
otonomi individual ketika berhadapan dengan fraksi dan pimpinan partai,
padahal dalam pemilu mereka terpilih secara individual oleh
pemilih/konstituen.
Kedua, partai mencalonkan perempuan hanya untuk memenuhi
syarat administratif pemilu. Partai tidak memikirkan sungguh-sungguh
penempatan perempuan dalam dapil yang dipilih karena merupakan basis partai
atau daerah asal/domisili caleg perempuan yang bersangkutan. Hal itu terlihat
dari pemindahan caleg-caleg perempuan dari dapil di Pemilu 2009 ke dapil lain
yang bukan basisnya di Pemilu 2014. Fenomena ini tidak hanya terjadi di
tingkat nasional, tapi juga dalam pencalonan di tingkat lokal. Rieke Diah
Pitaloka, misalnya, merupakan contoh dari caleg perempuan yang dapilnya
diubah partai pada Pemilu 2009. Rieke dipindahkan dari dapil basis partai di
Jawa Barat karena dapil basis diperuntukkan elite pimpinan partai.
Selain itu, tidak sedikit perempuan caleg yang dicalonkan
dalam pemilu, tetapi hanya berfungsi sebagai vote-getter bagi partai. Pemilu
DPR RI 2014 menunjukkan suara yang diraih caleg perempuan sebesar 23,31%,
sedangkan kursi perempuan terpilih di DPR RI hanya 17,3% (Puskapol UI 2014).
Besarnya selisih suara dengan kursi yang didapat perempuan tersebut
disebabkan dalam perhitungan konversi suara menjadi kursi, sisa suara tidak
cukup untuk merebut kursi yang belum terisi. Caleg perempuan berfungsi
sebagai pendulang suara untuk kursi partai, tetapi dalam konversi kursi
tersebut kepada calon terpilih, kebanyakan calon perempuan tersingkir akibat
sisa suara tidak cukup untuk merebut sisa kursi yang tersedia.
Intinya, dalam relasi kuasa antara caleg perempuan dan
elite partai, posisi tawar perempuan lebih lemah ketika berhadapan dengan
para pengambil keputusan dalam partai yang sebagian besar diisi laki-laki.
Penempatan dalam dapil, nomor urut dalam pencalonan, kendalinya ada pada
pimpinan partai.
Ketiga, buruknya rekrutmen dalam partai politik. Sebagian
perempuan terpilih menjadi anggota perlemen di pusat dan daerah sebagai
kepanjangan dari oligarki partai, seperti istri, anak, atau kerabat dari
pengurus partai baik di tingkat nasional maupun daerah. Data Puskapol UI
tentang hasil Pemilu 2014 memperlihatkan, dari total jumlah anggota terpilih
DPR RI yang berasal dari kalangan kekerabatan elite politik, proporsi
perempuan hampir seimbang dengan laki-laki: dari 77 anggota yang
teridentifikasi memiliki jaringan kekerabatan, 53% adalah laki-laki (41
orang) dan 47% adalah perempuan (36 orang).
Rekuitmen kader
Dengan demikian, kebijakan afirmasi digunakan partai
semata untuk memperkuat lingkar kekuasaan mereka dalam lembaga legislatif
dengan menempatkan perempuan dari kalangan kerabat elite politik. Tidak
mengherankan jika kita mendapati dampaknya pada minimnya kepedulian dan
kepekaan pada kondisi empiris yang dihadapi masyarakat. Lebih banyak
orientasi pada kelompok dan tujuan jangka pendek untuk menghimpun lebih
banyak kekayaan dan pengaruh demi mengembalikan modal kampanye dalam waktu
singkat
Keempat, partai tidak paham kebijakan afirmasi dan
pengarusutamaan gender. Afirmasi dipahami sebatas mencalonkan 30% perempuan
(identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya). Partai tidak melihat
lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan
potensi yang dihadirkan untuk bisa melakukan transformasi kebijakan yang bisa
menjadi aset tidak saja untuk partai, tapi juga untuk masyarakat.
Kesimpulannya ialah problem representasi politik di
Indonesia berakar pada permasalahan dalam partai politik. Permasalahan
representasi perempuan juga berakar dari persoalan dalam partai politik kita.
Kondisi partai yang karut-marut terutama dalam hal rekrutmen kader dan caleg,
tidak adanya demokrasi internal, serta minimnya keberpihakan pada isu-isu
kelompok marginal dan perempuan membuat upaya mengembalikan pada ‘sistem
tertutup’ akan melanggengkan problem mendasar dalam partai politik kita.
Untuk perempuan yang berkontestasi di arena elektoral,
ketimpangan relasi kuasa hanya akan menjadikan perempuan kembali jatuh dalam
jebakan oligarki dan sekadar menjadi kepanjangan tangan politik maskulin.
Dengan kondisi partai yang sangat elitis dan tidak demokratis dalam mekanisme
internalnya, sistem tertutup hanya akan memberi kesempatan bagi elite partai
memegang kendali penuh proses rekrutmen dan penentuan caleg sehingga dengan
demikian tertutup pula akses perempuan untuk bisa memengaruhi proses ini.
Transformasi politik yang menjadi cita-cita dari kebijakan
afirmasi ialah membuka akses dan kesempatan perempuan untuk hadir di arena
politik formal dan pengambilan kebijakan. Afirmasi tersebut bukan dalam
bentuk reservasi kursi perempuan. Lewat pertarungan elektoral dalam ruang
kontestasi terbuka, perempuan Indonesia sesungguhnya telah menunjukkan
kemampuannya dan kapasitasnya yang tidak kalah jika dibandingkan dengan
kandidat laki-laki dalam tiga kali pertarungan elektoral pada 2004, 2009, dan
2014. Yang sesungguhnya lebih urgen diperlukan ialah reformasi sistem
kepartaian kita yang hingga hari ini masih karut-marut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar