Angket
Putu Setia ;
Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 25 Februari 2017
Wakil rakyat kita membuat mainan baru lagi. Hak angket
untuk menggugat kenapa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak diberhentikan
sementara sebagai gubernur meski sudah berstatus terdakwa. Ahok Gate keren
kedengarannya sudah diumumkan dalam sidang paripurna beberapa hari lalu.
Namun, karena wakil rakyat kita segera reses, kelanjutan Ahok Gate akan
dibahas pada sidang paripurna nanti.
Apakah hak angket ini tergolong demokrasi yang kebablasan
sebagaimana yang dinyinyiri Presiden Joko Widodo? Tentu saja tidak.
Hak angket diatur dalam undang-undang. Dalam menjalankan
tugas yang terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, Dewan Perwakilan
Rakyat dibekali dengan tiga hak, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Hak interpelasi adalah meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan yang berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan hak angket melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat yang diduga
bertentangan dengan undang-undang.
Kasus Ahok ini unik dan sekaligus lucu tergantung dari
sisi mana melihatnya. Ia dituduh menista agama di sebuah pulau yang ternyata
belakangan penghuni pulau itu ramai-ramai mencoblos dia pada pilkada lalu.
Karena ada yang melaporkan Ahok menista agama, polisi gesit bergerak. Tak
perlu waktu lama, polisi menyerahkan berkas penyidikan ke kejaksaan sebagai
penuntut umum. Dan kejaksaan pun sangat cepat membawa kasus ini ke
pengadilan. Dua aparat hukum ini tak mau berlama-lama jadi sorotan.
Ternyata Ahok dituduh oleh jaksa dengan dua pasal yang
membuat Menteri Dalam Negeri serba salah. Satu pasal dengan tuntutan hukuman
di atas lima tahun penjara, satu pasal lagi tuntutan di bawah lima tahun.
Padahal, untuk memberhentikan sementara pejabat karena berstatus terdakwa,
batasannya lima tahun.
Menteri Tjahjo Kumolo sangat arif. Ya, sudahlah ditunggu,
kalau tuntutan nanti lebih dari lima tahun, Ahok diberhentikan. Kalau kurang,
ya, terus menjabat. Namun polemik tanpa henti, pakar hukum tata negarabaik
yang mengajar di kampus maupun yang jadi komisaris perusahaan berbeda
pendapat. Dalam situasi gaduh, Presiden Jokowi turun tangan. Ayo minta fatwa
ke Mahkamah Agung.
Lucunya -- atau cuma sekadar aneh -- Mahkamah Agung, yang
tugasnya antara lain memberi fatwa hukum kepada eksekutif dan digaji rakyat
untuk itu, menolak memberikan fatwa. Apakah ini demokrasi yang kebablasan di
mana pemberi fatwa mogok kerja? Entahlah. Yang jelas, DPR pun ambil bola liar
ini, menggulirkan hak angket.
Ketika sidang paripurna dan DPR membacakan usul hak
angket, seorang anggota yang menolak hak angket meminta agar usul itu
ditarik. Alasannya, kasusnya sudah disidangkan. Lalu dijawab anggota yang
mendukung: "Kalau Ahok diberhentikan malam ini, hak angket otomatis
gugur."
Di mana lucunya? Hak angket adalah hak untuk menyelidiki.
Baca undang-undang dulu, ya, Pak Wakil Rakyat. Artinya, kalau hak ini
disetujui, DPR akan membentuk panitia khusus (pansus) yang jumlah anggotanya
30 orang. Pansus inilah yang bekerja menyelidiki sebagaimana pada kasus Bank
Century dan Pelindo II, meski hasilnya tak jelas. Seusai penyelidikan itu,
belum tentu menghasilkan kesalahan, dan bisa hanya sekadar salah tafsir pasal
undang-undang. Kok pendukung hak angket sudah punya kesimpulan bahwa Ahok
harus diberhentikan? Penyelidikan saja belum.
Demokrasi kita bukan kebablasan, lebih tepat disebut
demokrasi yang lucu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar