Muhammadiyah
yang Menggembirakan
Abd Rohim Ghazali ;
Direktur
Eksekutif Yayasan Paramadina;
Peneliti Senior The Indonesian
Institute
|
KORAN
SINDO, 25
Februari 2017
Ini tentang Muhammadiyah yang sedang menggelar Sidang
Tanwir (semacam Rapat Kerja Nasional) 24-26 di Ambon. Bagi organisasi Islam
yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka ini, tanwir merupakan
momentum pencerahan, sesuai namanya ”tanwir” yang berarti pencerahan. Apa
yang perlu dicerahkan pada tanwir kali ini? Menurut saya yang paling urgen
adalah tentang penegasan jati diri Muhammadiyah di tengah hiruk-pikuk
politik, terutama yang melibatkan tokoh-tokoh Islam, baik yang berkhidmat di
arena politik praktis maupun di arena keumatan yang lebih luas.
Sejak kasus penistaan agama yang melilit Basuki Tjahaja
Purnama yang direspons sebagian umat Islam dengan gelombang demonstrasi 411,
212, dan seterusnya, banyak di antara aktivis Muhammadiyah yang ikut larut
dalam irama gerakan itu, dan cenderung defensif dalam merespons kritik yang
dilontarkan terhadap Islam dan para ulama. Padahal kalau kita cermati
betul-betul sejarah gerakan Muhammadiyah, tata cara merespons kritik semacam
itu bukan bagian dari watak Muhammadiyah.
Sejak era KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lebih cenderung
mengembangkan tradisi Islam yang menggembirakan dan terbuka terhadap kritik,
bahkan terhadap ”penistaan” berupa tuduhan fasik, kafir, dan yang sejenisnya.
Terhadap tuduhan seperti itu, Muhammadiyah meresponsnya bukan dengan serangan
balik, tapi dengan langkah-langkah konkret melalui pengembangan lembaga
pendidikan, rumah sakit, balai pengobatan, dan panti-panti sosial inklusif
yang terbuka bagi semua orang yang membutuhkan tanpa pandang suku, agama,
ras, atau golongan.
Muhammadiyah berupaya menjadikan Islam sebagai agama yang
bisa menggembirakan semua orang, bisa memberikan pertolongan semua kalangan.
Maka untuk orang-orang yang ikut hadir dan menyaksikan acara-acara yang
diselenggarakan Muhammadiyah, disebutnya bukan sebagai tamu atau peninjau,
tapi sebagai penggembira: penggembira muktamar, tanwir (rakernas), dan
sebagainya.
Bukan Tukang Kutuk Dalam mengembangkan ajaran Islam,
Muhammadiyah tidak menjadikan agama sebagai alat untuk mengutuk, tapi untuk
memberi petunjuk. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. ”Sesungguhnya aku diutus
bukan sebagaitukang kutuk, tetapiakudiutus sebagai pembawa rahmat.” Selain
itu, Muhammadiyah juga mengembangkan ajaran Islam yang memudahkan, bukan
menyulitkan. Islam yang menggembirakan, bukan yang menakutkan.
Pedomannya adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
Bukhari, Muslim, dan Nasai dari Anas: ”Permudahlah, jangan mempersulit.
Gembirakanlah, jangan membuat orang lari.” Atau Alquran surat Ali Imran ayat
159 yang menekankan perlunya bersikap lemah lembut terhadap mereka (yang
belum memahami, belum mau menerima Islam) dan tidak bersikap keras dan kasar,
karena yang demikian itu akan membuat mereka lari dari sisimu.
Atau titah Rasulullah SAW untuk mengajak orang lain ke
jalan Allah dengan cara bijaksana, dengan tutur kata dan nasihatnasihat yang
baik, dan jika (terpaksa harus berdebat), berdebat dengan baik dan sopan.
Dalam buku ” Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan ” disebutkan bahwa Kiai Dahlan
memberi nasihat agar setiap warga Muhammadiyah mengikuti khitahnya.
Adapun khitah Kiai Dahlan yaitu:
(a) tidak menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain;
(b) tidakdendam, tidakmarah, dantidak sakit hati jika
dicela dan dikritik;
(c) tidak sombong dan tidak berbesar hati jika menerima
pujian;
(d) tidak jubria (ujub, kibir, dan riya);
(e) mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan
hati ikhlas dan murni; dan
(f) bersungguhs ungguh hati dalam pendirian (Anshory Ch,
2010).
Banyak Bekerja
Selain tidak mengutuk, tidak mudah marah, dan dendam,
Muhammadiyah juga menganjurkan pada segenap warganya untuk banyak bekerja.
Mengenai prinsip banyak bekerja ini, Presiden Sukarno pernah dengan lantang
mengatakan: ”Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah
memodernisasi cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh tanah air
Indonesia mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri cabang-cabang dan
ranting-rantingnya.
Selaku orang yang pernah berkecimpung dalam lingkungan
Muhammadiyah, saya ingin berpesan kepada saudara-saudara, supaya selalu
berpegang teguh pada moto banyak bekerja. inilah sebab Muhammadiyah
berkumandang dan menjadi besar.” Di mata para peneliti tentang Muhammadiyah,
KH Ahmad Dahlan merupakan sosok ”man of action ”.
Yang diwariskan kepada para penerusnya bukan setumpuk buku
karangan, melainkan amal usaha berupa lembaga-lembaga pendidikan, balai
pengobatan, dan panti asuhan untuk anak-anak yatim dan pria-wanita lanjut
usia. Akan tetapi, prinsip yang lebih menekankan pada kerja-kerja praktis ini
bukan tanpa kritik. Menurut Kuntowijoyo (1991: 270), Muhammadiyah seperti
pohon yang menghasilkan buah bergizi tetapi tanpa bunga dan rasa.
Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis
formal dan organisatoris. Dalam khazanah perkembangan pemikiran Islam, harus
diakui, Muhammadiyah kurang banyak mewarnai diskursus yang bisa memperkaya
pemikiran keagamaan generasi mendatang. Ya, memang begitulah Muhammadiyah,
oleh pendirinya, KH Ahmad Dahlan, dimaksudkan bukan untuk membuat dahi orang
berkerut, tapi untuk menjaga agar bisa membuat orang senantiasa bergembira. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar