Kemandirian
Keuangan Muhammadiyah
Mukhaer Pakkanna ;
Wakil
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah; Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
|
KORAN
SINDO, 24
Februari 2017
Pada 24-26 Februari 2017di Kota Ambon, Muhammadiyah menggelar
hajatan strategis yakni Tanwir Muhammadiyah. Salah satu isu strategis
internal yang dibahas bagaimana membangun kemandirian keuangan Muhammadiyah,
terutama berkaitan sistem pengelolaan keuangan persyarikatan secara terpadu
dan efisien. Tentu, dengan makin membengkaknya jumlah amal usaha Muhammadiyah
(AUM) telah berdampak semakin rumitnya pengelolaan jaringan keuangan.
Bayangkan, AUM di bidang pendidikan dasar dan menengah
dijumpai 7.651 sekolah dan madrasah, di bidang pendidikan tinggi 174 universitas,
sekolah tinggi, institut, dan akademi. Di bidang pelayanan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat terdapat rumah sakit 457, panti asuhan 318 buah,
panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat 82 buah. Untuk bidang sarana
ibadah terdapat masjid dan musala sebanyak 11.198.
Di samping itu, sejumlah Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM),
Koperasi Matahari, minimarket, semakin memperlihatkan geliatnya yang
signifikan (Abbas, 2015). Demikian pula, secara akumulatif, jumlah dana
likuid (jangka pendek) yang tersimpan pada rekening yang dimiliki
Muhammadiyah dan AUM, diperkirakan Rp15triliun(Sudibyo, 2014).
Dari jumlah sebesar itu, yang baru dimanfaatkan
Muhammadiyah diestimasikan Rp1,5 triliun atau hanya10%. Belumlagi total
valuasi aset Muhammadiyah yang dikalkulasi mendekati angka Rp320 triliun.
Lantas, ke mana angka 90% atau Rp13,5 triliun itu? Siapakah yang memanfaatkan
dana sebesar itu?
Dana Menganggur?
Dalam konteks Muhammadiyah, semua AUM harus dipahami
sebagai bentuk kekayaan persyarikatan dan tidak boleh dimiliki pribadi. Semua
aset tidak boleh diakui pengurus, karena semua kekayaan dan amal usaha itu
adalah miliki persyarikatan. Sesuai aturan di Muhammadiyah, semua pengurus
dan warga Muhammadiyah harus tunduk pada aturan persyarikatan. Namun sayangnya,
Muhammadiyah belum bisa menikmati manfaat maksimal dari potensi keuangan yang
selama ini dikelola oleh perbankan.
Maka sebagai organisasi modern dan berkemajuan, tawaran
model pengelolaan keuangan terpadu (cash management) dianggap tepat. Dari
sisi pertanggungjawaban publik pun, transparansi pengelolaan keuangan model
ini sangat penting untuk diterapkan oleh organisasi sekaliber Muhammadiyah.
Merujuk kembali dana Rp13,5 triliun, tentu itu adalah dana kas yang
menganggur (idle cash). Sebagian besar disimpan dalam rekening giro (48,2%)
dan sisanya ditempatkan pada deposito.
Dengan kata lain, dana itu tidak dipergunakan oleh
jenjang, unsur, dan amal usaha Muhammadiyah (Yusuf, 2015). Tak pelak lagi,
dari sudut perbankan, dana tersebut tentu bukan dana menganggur. Dana itu
menjadi dana beredar (revolving) yang dipinjamkan oleh bank kepada lembaga
lain yang membutuhkannya. Dari dana yang beredar itu, persyarikatan hanya
mendapatkan nisbah bagi hasil lebih kurang sebesar 6% (Abbas, 2015).
Maka apa yang tergambar di atas memperlihatkan,
persyarikatan belum mempergunakan dananya untuk sebesar-besarnya manfaat bagi
persyarikatan itu sendiri. Dana beredar itu dipergunakan oleh orang lain
untuk kepentingan di luar Muhammadiyah, sebab bila dana itu tidak dipergunakan
oleh Muhammadiyah sudah dipastikan dana tersebut dipergunakan oleh orang
lain.
Dalam konteks spirit adanya dana cair yang menganggur itu
dapat dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya manfaat bagi Muhammadiyah, model
cash management pun digulirkan. Ihwal ini sejatinya telah tertuang dalam
Surat Keputusan (SK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 36/KEP/I.0/C/2012
tentang Sistem Pengelolaan Dana Terpadu Layanan Manajemen Kas.
Dalam SK itu, PP Muhammadiyah mengupayakan fasilitas
pembiayaan mudharabah muqayyadah/back to back deposit kepada bank syariah
mitra Muhammadiyah sampai mendekati 100% dari jumlah deposito yang diagunkan.
Penggunaan deposito sebagai agunan dilakukan dengan mengagunkan deposito
milik jenjang, unsur, atau amal usaha Muhammadiyah yang bersangkutan atau
deposito milik jenjang, unsur, atau amal usaha Muhammadiyah yang lainnya.
Dengan model itu, dalam tingkat implementasinya, sejatinya Muhammadiyah
memperoleh manfaat maksimal (Supriyanto, 2015).
Spirit tataawun
Dana beredar dalam transaksi perbankan mitra Muhammadiyah
yang dimiliki AUM tentu dapat dimanfaatkan oleh AUM yang memerlukannya.
Semangat tataawun (saling tolong) yang menjadi dasar pijakan idealisasi
persyarikatan dapat ditegakkan kembali. Selama ini dana persyarikatan telah
disimpan pada bank konvensional yang jumlahnya sebanyak 137 bank. Dengan
jumlah bank yang sebanyak itu, dana persyarikatan terserakserak dalam jumlah
kecil pada bank tersebut sehingga daya tawar (bargaining position)
persyarikatan berhadapan dengan bank menjadi rendah (Anhar, 2015).
Oleh sebab itu, diperlukan langkah konkret agar daya tawar
persyarikatan menjadi tinggi dengan cara memperkecil jumlah bank yang
dipergunakan. Dengan memanfaatkan idle cash yang dimiliki semua jenjang, unsur,
dan amal usaha Muhammadiyah, sudah dapat dipastikan tidak akan ada
pembangunan proyek persyarikatan yang terhenti. Kepastian ini agaknya
mendekati kebenaran karena dana segar itu ada pada semua jenjang, unsur, dan
amal usaha Muhammadiyah.
Agar dana itu tidak dipergunakan oleh orang lain,
seyogianya disalurkan untuk pembiayaan proyek persyarikatan yang sedang
dilaksanakan dan tersebar berbagai kawasan dan level persyarikatan. Dari
struktur penempatan dana ini, Muhammadiyah telah mengalami kehilangan potensial
yang cukup besar.
Mengapa kehilangan potensial, karena dananya terlalu besar
ditempatkan di giro. Kalau dana itu ditempatkan di giro, return atau tingkat
keuntungan yang bisa diraih secara kalkulatif hanya berkisar antara 0,5-1%.
Oleh karena itu, supaya pendapatan Muhammadiyah meningkat maka Muhammadiyah
seyogianya membuat kesepakatan dengan bank-bank mitra, untuk membuat giro
minimal dan membuka tabungan bisnis (Abbas, 20015). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar