Kaji
Kebijakan Perikanan
Andhika Rakhmanda ;
Pegiat
Forum Kajian Perikanan UGM;
HRE Manager PT Dewi Laut
Aquaculture
|
KOMPAS, 25 Februari 2017
Sudah dua tahun pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
menggebrak sektor kelautan dan perikanan.
Setelah lama dipunggungi, pemerintahan Jokowi-JK berniat menjadikan
sektor kelautan dan perikanan (KP) sebagai arus utama (mainstream) dalam
arsitektur perekonomian Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai poros
maritim dunia. Namun, alih-alih menerapkan kebijakan yang bersifat ”gas”,
berbagai kebijakan perikanan yang terbit di era Menteri Susi Pudjiastuti bisa
dikatakan lebih bersifat ”rem”.
Dimulai dari terbitnya Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor
56 Tahun 2014 dan Nomor 57 Tahun 2014 yang masing-masing mengatur moratorium
izin kapal eks asing dan pelarangan alih muatan (transhipment), Permen KP
Nomor 1 Tahun 2015 dan Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan pukat dan pukat
hela, dan kebijakan menaikkan tarif pungutan hasil perikanan (PHP) melalui PP
Nomor 75 Tahun 2015.
Jika diperhatikan, nuansa kebijakan perikanan (tangkap)
dengan pola pembatasan kian menonjol. Selain karena mewabahnya praktik
illegal unreported unregulated fishing yang harus diperangi, beberapa wilayah
perairan Indonesia sudah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing) seperti
di utara Jawa. Akhirnya kebijakan yang dilakukan hanya berfokus pada
pelestarian lingkungan demi memulihkan sumber daya perikanan.
Jumlah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor KP
memang meroket dari Rp 77,49 miliar pada 2015 menjadi Rp 360,86 miliar pada
2016. Namun, jika melihat data lebih dalam, kenaikan PNBP bukan akibat
peningkatan produktivitas perikanan kita. Sebab, bagaimana mungkin PNBP
meningkat tajam, sedangkan angka produksi perikanan nasional menurun dari 24
juta ton di tahun 2015 menjadi 21,8 juta ton di tahun 2016?
Meroketnya pencapaian PNBP sektor KP tahun 2016 lebih
disebabkan pemberlakuan PP No 75/2015. PP ini menaikkan tarif pungutan hasil
perikanan secara progresif dengan menerapkan formula baru bagi sistem
pemungutan retribusi kegiatan kelautan dan perikanan. Sebagai perbandingan,
pada aturan lama (PP No 19/2006), rumus PHP untuk usaha perikanan skala
besar, yakni 2,5 persen x produktivitas kapal x harga patokan ikan (HPI).
Kemudian pada PP No 75/2015, rumus berubah menjadi 25 persen x produktivitas
kapal x HPI x ukuran gros ton (GT) kapal.
Sebagai contoh, satu kapal tuna longline ukuran 84 GT
(skala besar), menurut informasi Asosiasi Tuna Indonesia, selama ini membayar
PHP Rp 15 juta per tahun (dibulatkan) dengan rumus 2,5 persen x produktivitas
kapal x HPI. Jika faktor pengali lainnya tetap dan yang dinaikkan hanya tarif
royaltinya saja dari 2,5 persen menjadi 25 persen, kapal itu akan membayar
PHP Rp 150 juta per tahun atau naik 10 kali lipat. Masalahnya saat ini Rp 150
juta per tahun tersebut dikalikan lagi dengan ukuran GT kapal, maka kapal
tuna longline yang dimaksud akan membayar PHP Rp 150 juta x 84 atau sama
dengan Rp 12,6 miliar.
Peningkatan tarif PHP juga berlaku pada usaha perikanan
kecil dan menengah. Dengan rumus perhitungan sama, tarif royalti PHP usaha
perikanan skala kecil naik dari 1,5 persen menjadi 5 persen dan skala
menengah ditetapkan 10 persen. Hasilnya, pencapaian PNBP sektor KP meroket
hingga 300 persen lebih.
Melemahkan
Perlu diperhatikan implikasi kebijakan tarif itu bagi
keberlanjutan usaha perikanan ke depan. Tarif tinggi memang secara otomatis
mendongkrak PNBP dan menghindari eksploitasi berlebih pada sumber daya
perikanan. Namun, jika terlalu tinggi, dikhawatirkan melemahkan usaha
perikanan lokal dan pada skala tertentu mungkin saja usaha perikanan menjadi
tak layak secara ekonomi (unfeasible). Faktanya, sudah banyak kapal mangkrak
akibat kebijakan ini. Hal ini juga akan memicu praktik mark down ukuran kapal
dan manipulasi data produktivitas kapal.
Jadi, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana
program Jokowi-JK mencoba melakukan upaya pengelolaan sumber daya perikanan
dengan kebijakan yang bersifat ”rem”, tetapi tak lupa mengejar setoran PNBP
dengan menaikkan tarif PHP tanpa memperhatikan kepentingan ekonomi perikanan
dan kelautan secara utuh.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Pertama, tentu saja
perbaikan tata kelola perikanan, mulai dari penyempurnaan sistem perizinan
perikanan yang kondusif hingga pengawasan terpadu yang efektif. Tarif
pungutan hasil perikanan pada PP No 75/2015 juga perlu direvisi ke tarif yang
lebih rasional agar usaha perikanan tidak mati.
Kedua, modernisasi perikanan dengan peningkatan kapasitas
armada perikanan yang selama ini didominasi nelayan tradisional. Alih
teknologi juga diperlukan untuk menyubtitusi alat tangkap destruktif (seperti
cantrang) dengan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.
Ketiga, skema pembiayaan perikanan berkelanjutan perlu
didorong agar nelayan maupun pembudidaya tak sulit mengakses modal usaha.
Kedepan, dunia perbankan atau lembaga pembiayaan harus menjadi bagian tak
terpisahkan dari pendekatan perikanan berkelanjutan.
Keempat, perikanan budidaya harus didorong seiring
menurunnya stok ikan dunia. Selama ini kebijakan perikanan terlalu fokus pada
perikanan tangkap cenderung melupakan perikanan budidaya. Padahal, tren
produksi perikanan budidaya terus naik melebihi produksi perikanan tangkap.
Data terakhir BPS menunjukkan, pada 2014 produksi perikanan budidaya 14,3
juta ton atau 69 persen dari total produksi perikanan nasional.
Beberapa komoditas seperti udang bahkan menjadi primadona
ekspor perikanan kita. Tahun lalu, Indonesia berjaya di peringkat kedua
dengan angka ekspor udang 9.650 metrik ton (MT) ke pasar AS di bulan
November. Di pasar Jepang, Indonesia juga masuk tiga besar dengan ekspor 2,4
juta kilogram udang di bulan Oktober.
Lewat perhatian kepada industri budidaya sembari membenahi
manajemen perikanan tangkap, kita tak hanya akan dapat menyelamatkan kerugian
ekonomi yang jumlahnya ratusan miliar rupiah, tetapi juga bisa menjamin
sumber daya perikanan tetap lestari. Pada saat yang sama, usaha perikanan
diyakini akan menyejahterakan nelayan dan pembudidaya serta memberikan
kontribusi lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar