Freeport
Bikin Repot
Fahmy Radhi ;
Dosen
UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
|
TEMPO.CO, 21 Februari 2017
Kali ini, tekanan PT Freeport Indonesia (PT FI) untuk
menghentikan produksi dan merumahkan karyawannya tampaknya serius diterapkan.
Sejak 17 Februari lalu, kegiatan penambangan di tambang Grasberg, Papua,
telah dihentikan secara total dan sebanyak 33 ribu karyawan PT FI dirumahkan.
Akibatnya, puluhan ribu karyawan Freeport beserta keluarganya menggelar aksi
damai di Mimika untuk ikut menekan pemerintah Indonesia agar segera
menerbitkan izin ekspor konsentrat.
Tekanan Freeport yang bikin repot pemerintah Indonesia ini
sebenarnya bukan hanya kali ini. Pada saat berlakunya larangan ekspor mineral
dan batu bara mentah sejak 12 Januari 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), PT FI menolak keras
larangan itu sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK
besar-besaran. Bahkan Freeport juga menekan untuk menggugat pemerintah
Indonesia ke arbitrase internasional atas larangan ekspor mineral dan batu
bara mentah itu.
Entah karena takut terhadap tekanan atau ada pertimbangan
lain, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono kala itu akhirnya mengabulkan
tuntutan PT FI untuk tetap mengekspor konsentrat, meskipun PT FI belum
membangun smelter seperti yang disyaratkan UU Minerba. Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), yang saat itu dijabat Jero Wacik, mengeluarkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang mengizinkan Freeport
mengekspor konsentrat dengan kadar tertentu.
Sudirman Said, Menteri ESDM jilid satu pemerintah Joko
Widodo, tetap saja mengizinkan PT FI mengekspor konsentrat. Izin ekspor itu
dikeluarkan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi atas kemajuan pembangunan
smelter. Saat Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM jilid dua selama 20 hari,
salah satu keputusan pentingnya adalah mengizinkan PT FI mengekspor
konsentrat, meskipun tidak ada kemajuan dalam pembangunan smelter.
Ketika menjabat pelaksana tugas Menteri ESDM setelah
dicopotnya Acandra, Luhut Binsar Pandjaitan memang tidak mengeluarkan
kebijakan yang mengizinkan ekspor konsentrat. Namun Luhut sangat gencar
mewacanakan kebijakan relaksasi ekspor mineral dan batu bara mentah, termasuk
ekspor konsentrat yang mengakomodasi tuntutan PT FI.
Kemudian, saat Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri
ESDM jilid tiga, wacana kebijakan relaksasi ekspor mineral dan batu bara
mentah sempat tenggelam, tapi tiba-tiba muncul kembali. Tidak
tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo menandatangani berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP Minerba) yang menjadi dasar relaksasi
ekspor mineral dan batu bara mentah. Padahal komitmen Presiden Jokowi
sebelumnya sangat mendukung pengolahan serta pemurnian mineral dan batu bara
mentah di smelter dalam negeri.
Saat peresmian pabrik nikel di Morowali, beberapa waktu
lalu, Presiden Jokowi dengan sangat tegas mengatakan bahwa, "Indonesia
jangan lagi mengekspor mineral dan batu bara mentah, tapi mari kita olah di
dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi bangsa
Indonesia." Mengapa tiba-tiba komitmen Presiden berubah dengan
mengeluarkan PP Minerba? Barangkali, perubahan itu salah satunya disebabkan
tekanan masif PT FI.
PP Minerba mewajibkan perusahaan pemegang kontrak karya
(KK) mengolah serta memurnikan mineral dan batu bara mentah di smelter dalam
negeri. Tanpa pengolahan dan pemurnian, perusahaan tambang tidak diizinkan
mengekspor mineral dan batu bara mentah, kecuali perusahaan tambang tersebut
mengubah statusnya dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Berdasarkan Permen ESDM Nomor 6/2017 dan Permen Menteri
Perdagangan 1/2017, PT FI sesungguhnya sudah diizinkan mengekspor konsentrat
setelah pengajuan PT FI dalam perubahan status KK menjadi IUPK disetujui pada
10 Februari 2017. Volume ekspor yang diizinkan sebesar 1.113.105 wet metric
ton (WMT) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Menteri ESDM Nomor
352/30/DJB/2017 tanggal 17 Februari 2017.
Dengan diakomodasinya tuntutan PT FI untuk mengekspor
konsentrat sebesar itu, mestinya tidak ada alasan lagi bagi Freeport untuk
menekan pemerintah Indonesia dengan ancaman penghentian produksi dan PHK.
Namun bukan Freeport kalau tidak main ancam
sebelum semua tuntutan dipenuhi pemerintah. Kendati
Freeport sudah mengubah status KK menjadi IUPK, PT FI menolak persyaratan
IUPK yang berhubungan dengan divestasi 51 persen saham secara bertahap dan
sistem perpajakan prevailing (besaran pajak yang berubah seiring
dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia). PT FI ngotot tetap
menggunakan sistem perpajakan naildown (besaran pajak tetap), seperti yang
diterapkan pada KK.
Pemerintah kali ini harus tegas menolak untuk memenuhi
tuntutan di luar izin ekspor konsentrat, termasuk penolakan Freeport terhadap
persyaratan divestasi dan sistem perpajakan prevailing. Semasif apa pun
tekanan Freeport, pemerintah Indonesia harus berani mengatakan "take it
or leave it". Pasalnya, tuntutan Freeport tersebut sudah sangat
berlebihan dan keterlaluan. Kalau akhirnya pemerintah takluk terhadap
tuntutan Freeport tersebut, tidak diragukan lagi kedaulatan energi negeri ini
akan semakin tergerus oleh tekanan sewenang-wenang Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar