Menggugat
RUU Pertembakauan
Emil Salim ;
Dosen
Pascasarjana Universitas Indonesia;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 23 Februari 2017
Sesuai dengan tata tertib DPR, Komite Nasional
Pengendalian Tembakau telah menemui ketua dan pimpinan DPR bulan Juli 2016
untuk mengajukan permintaan agar naskah RUU tentang Pertembakauan dapat
didengarpendapatkan bersama dengan kelompok wakil masyarakat lainnya.
Hal tersebut tak pernah terlaksana karena Ketua DPR Ade
Komarudin, akhir November 2016, diganti oleh Setya Novanto selaku ketua DPR.
Dan Desember lalu DPR meloloskan RUU Pertembakauan sebagai RUU inisiatif DPR
dan mengajukannya kepada Presiden.
Presiden Joko Widodo diberi waktu 60 hari untuk
menanggapinya. Presiden dapat menolak dengan tegas RUU Pertembakauan untuk
tidak ditanggapi pemerintah sehingga RUU Pertembakauan otomatis gugur tidak berlanjut lagi.
Perangkap RUU Pertembakauan
Ada beberapa alasan penolakan RUU Pertembakauan. Pertama,
pemerintah menunjukkan sikap pemihakan, terutama pada kualitas kesehatan
generasi muda emas Indonesia yang dapat membawa Indonesia ke tahapan lepas
landas 2045. Indonesia membutuhkan generasi yang tinggi kualitas kesehatan
jasmaniah dan rohaniahnya. Pembangunan adalah hasil karya manusia yang cerdas
dan sehat serta terdidik.
"Kesehatan memang tidaklah segala-galanya, tetapi
tanpa kesehatan segala-galanya tak punya makna apa-apa". Karena itu,
pola pembangunan perlu menekankan pengembangan kualitas jasmaniah dan
rohaniah generasi emas kita khususnya
dan seluruh rakyat kita umumnya. Dalam kaitan inilah, terutama pada tahapan
pembangunan yang penting sekarang ini, Presiden perlu menolak RUU
Pertembakauan yang merusak kesehatan bangsa.
Kedua, RUU Pertembakauan ini ingin mengangkat
"tembakau sebagai warisan budaya" untuk membenarkan kehadiran
industri rokok sebagai wahana kebudayaan. Secara terus-terang RUU
Pertembakauan mengakui bahwa tembakau yang dimaksud adalah hasil dari tanaman Nicotiana tabacum,
Nicotiana rustica, dan species lainnya yang mengandung nikotin dan tar.
Dalam UU Kesehatan sudah dinyatakan bahwa nikotin memuat
zat adiktif sehingga konsumsinya perlu dikendalikan melalui tindakan
kesehatan dan pengenaan cukai tembakau. Nikotin jika diisap melepaskan
dopamin dalam syaraf kepala manusia yang di satu pihak menimbulkan
"kenyamanan" dan di lain pihak membangkitkan ketagihan dan
kecanduan akan nikotin. Dalam proses ini nikotin tembakau merusak kemampuan
intelektual pengisap rokok.
Nikotin merangsang kecanduan yang memerlukan dosiszat adiktif
lebih kuat sehingga nikotin menjadi pembuka jalur jalan bagimengalirnya zat
adiktif lain, seperti kokain, heroin, mariyuana, dan narkotika. Pintu gerbang
jalur nikotin ini secara resmi kini dibuka melalui RUU yang mengangkat
"tembakau bernikotin sebagai warisan budaya nasional".
Sekarang saja pemerintah sudah kewalahan menanggapi
"ancaman narkotika" dan peran tembakau sebagai penggulung zat
adiksi baru muncul dalam tembakau Gorila. Dari sudut inilah RUU Pertembakauan
menjerumuskan kita pada citra "tembakau sebagai warisan budaya
nasional" yang menyesatkan dan karena itu harus ditolak.
Ketiga, isi RUU Pertembakauan terletak pada peningkatan
kuantum produksi tembakau yang kemudian disusul dengan rumusan
"pengendalian konsumsi produksi tembakau untuk melindungi dan menjamin
kesehatan setiap warga negara". Pengendalian konsumsi produk tembakau
dilakukan melalui pengaturan yang secara terbatas mencakup hanya
"pengaturan penjualan iklan, promosi, sponsor dan penerapan kawasan
tanpa asap Rokok".
Rumusan peraturan ini
menjebak kita masuk perangkap. Di satu pihak ada maksud mengendalikan
konsumsi produk tembakau, di lain pihak ada maksud meningkatkan kuantum
produksi tembakau. Bagaimana menjelaskan ambivalensi perumusan dua hal yang
bertentangan dalam satu RUU? Secara terbatas pengendalian konsumsi produk
tembakau ditempel melalui pengaturan
penjualan, iklan promosi, sponsor dan penerapan kawasan tanpa asap rokok-hal
yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah selama ini.
Yang ditonjolkan di sini bahwa pengendalian konsumsi
produk tembakau bukan sasaran utama untuk melindungi dan menjamin kesehatan
setiap warga. Jika pertimbangan kesehatan yang ditampilkan, tempatnya tidak
menyatu dalam RUU Pertembakauan yang justru ingin meningkatkan produksi dan
konsumsi rokok dari tembakau-sebagai warisan budaya nasional. Karena itu, ada
sifat ambilvalen dalam RUU Pertembakauan, di satu sisi "tancap gas"
memenuhi keinginan industri rokok dan di lain pihak "mengerem"
perokok atas dalih "kesehatan".
Ancam generasi emas
Dan di sinilah termuat kelicikan dan bahayanya RUU
Pertembakauan yang ingin mendorong industri rokok sekaligus untuk melindungi
kesehatan warga menurut pola yang sudah dibatasi. Dua hal yang tak bisa
dikompromikan. Dan dikunci dalam ketentuan penutup yang mencabut berbagai
ketentuan lain yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan
pertembakauan ini. Dengan diberlakukannya RUU Pertembakauan (jika diterima),
peraturan perundang-undangan lain harus disesuaikan dengan UU Pertembakauan
ini, termasuk hal-hal yang membatasi pengendalian konsumsi produk tembakau.
Karena itu, akan sangat menyedihkan jika Presiden dan para
menteri Kabinet Kerja ikut terbenam dalam "kealpaan" dan menanggapi
RUU Pertembakauan bikinan DPR sebagai hal serius dan secara sungguh-sungguh
membahasnya bersama DPR. Terlalu kentara terselipnya kepentingan industri
rokok dan bau "politik uang" yang sulit dibuktikan di balik RUU
Pertembakauan ini.
Terlalu gamblang kerugian yang dipikul rakyat kita untuk
dijejali tembakau sebagai "warisan budaya". Terlalu besar risiko
yang dihadapi generasi emas pembawa kejayaan Indonesia 2045 jika RUU
Pertembakauan ini tidak ditolak oleh
Presiden dan pemerintah.
Dalam menanggapi RUU Pertembakauan prakarsa DPR jalan
lurus satu-satunya adalah menolak sepenuhnya tanpa kompromi ditopang oleh
sikap tegas menteri kesehatan dan menteri perindustrian untuk sedia
mempertaruhkan jabatannya jika RUU Pertembakauan didesakkan masuk paru-paru
rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar