APBD
Desa dan Kemiskinan
Trisno Yulianto ;
Alumnus
FISIP Undip;
Koordinator Forum Kajian dan
Transparansi Anggaran
|
KOMPAS, 27 Februari 2017
Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun
terakhir memunculkan keprihatinan mendalam.
Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat
telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap
desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran"
anggaran minimal Rp 750 juta.
Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena
desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD)
serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD). Alhasil,
pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri
Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD
secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan
program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan
memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara
spesifik (baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap
program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di seluruh Indonesia
lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam
perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik bahkan
disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah alasan yang
absurd dan sulit diuraikan dalam logika akal sehat.
Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai
operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat
desa didorong untuk jadi peranti dalam program kegiatan penanggulangan
kemiskinan. Program kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal
jika jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan pembangunan jangka
menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam format rencana kegiatan pembangunan
desa (RKPDes). Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan
penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai.
Program prioritas ataupun superprioritas dalam
implementasi APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan masyarakat yang
di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan kemiskinan. Juga kegiatan rutin
musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) cenderung dominan oleh
kepentingan elite desa yang tidak memiliki perspektif dalam visi
penanggulangan kemiskinan.
Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya
profil kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan APBDes tidak
berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan.
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa
meningkat 11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori
miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.
Anggaran untuk si miskin
Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis,
mengingat desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu menyediakan
segala aktivitas pekerjaan dan penambahan penghasilan yang memadai bagi warga
desa. Demikian pula dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi
penangulangan kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan
memunculkan standar keberhasilan.
Indikator kemiskinan dalam definisi BPS dan Bank Dunia
sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi desa untuk dicarikan resolusi melalui
program/kegiatan yang masuk dalam APBDes. Indikator kemiskinan, seperti
kriteria rumah tidak layak huni, bisa dijadikan basis keprograman
rehabilitasi rumah warga miskin. Minimnya pendapatan keluarga miskin bisa
diselesaikan dengan program pemberian permodalan usaha melalui dukungan
anggaran bagi badan usaha milik desa (BUMDes) melalui unit simpan-pinjam.
Ketakmampuan warga miskin membayar anggaran kesehatan yang mahal bisa difasilitasi
desa melalui subsidi premi BPJS yang dianggarkan dalam APBDes.
Desa ataupun pemerintah desa sudah saatnya mengembangkan
paradigma anggaran yang progresif, semisal anggaran desa untuk si miskin.
Paradigma itu meletakkan APBDes sebagai peranti untuk menjalankan program
penanggulangan kemiskinan dalam perspektif pemberdayaan atau pengembangan
usaha mikro perdesaan.
Profil APBDes mayoritas desa tahun 2017 semakin kuat
karena volume DD meningkat jadi Rp 60 triliun dalam APBN. Setiap desa minimal
akan mendapat jatah Rp 800 juta dan sangat memadai untuk digunakan bagi
program prioritas penanggulangan kemiskinan di desa. Jangan sampai akhir 2017
persentase kemiskinan desa justru meningkat saat APBDes semakin gemuk oleh
"guyuran" anggaran dari pemerintah pusat dan kabupaten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar