Pancasila
dan Hikmah Pilkada
Sudjito ;
Guru
Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2012-2015
|
KORAN
SINDO, 28
Februari 2017
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak baru saja usai.
Betapapun daerah-daerah tertentu masih berlanjut ke putaran kedua, dari quick
count telah dapat diketahui gambaran umum, siapa pemenangnya.
Panasnya suhu politik menjelang hari H pilkada, kini mulai
mereda. Dengan harapharap cemas, pasangan calon maupun pemilih menunggu hasil
akhir perhitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum. Saya kurang sreg dengan
sistem pilkada ini. Selain karena rawan perpecahan, begitu mahal ongkos
sosial (social cost) maupun ongkos finansial (financial cost) pesta demokrasi
ini.
Sumber daya alam melimpah-ruah, dan berbagai proyek-proyek
strategis, digadaikan kepada cukong- cukong demi tercukupinya biaya pilkada.
Rakyat digusur dan digeser dengan alasanalasan irasional. Ketidakadilan
sosial menjadi realitas masif, tanpa ada tanda-tanda penegakan hukum
konsisten, berwawasan kebangsaan.
Keberpihakan aparat penegak hukum melalui ”permainan
hukum” berlangsung semakin nekat. Benarkah realitas politik ”hitam- buram”
ini cobaan, ujian, atau laknat bernegara? Bila kita mampu membaca sejarah
kebangsaan dan kehidupan umatumat terdahulu dengan optik Pancasila, banyak
hikmah-hikmah dapat diambil untuk bahan pendewasaan diri sehingga tidak
tersandung kedua kali, sekaligus dapat dirajut kebersatuan bangsa.
Untuk diketahui, nilai-nilai Pancasila ada di Bumi Pertiwi
ini sejak ratusan tahun silam. Karena kelalaian oknum-oknum penguasa
terdahulu, demi takhta, nilai-nilai Pancasila dicampakkan. Demi kemenangan
dalam perang saudara, dilibatkanlah kekuatan eksternal untuk membantu.
Melalui intervensi politik, ketika perang saudara usai dan
dimenangkan, janji politik perlu dilunasi dengan penyerahan bagian- bagian
wilayah kerajaan. Dominasi dan hegemoni politik berlanjut pada dekonstruksi
hukumdibidangsumberdaya alam, kependudukan, dan sebagainya. Akibatitu,
kedaulatannegara tergadaikan pada bangsa asing melalui kolonialisasi.
Oleh penjajah, nilai-nilai Pancasila yang telah mengakar
pada agama-agama, adat-istiadat, dan budaya mulai ditenggelamkan dan
digantikan nilainilai asing berkarakter individual-liberalistik. Para
founding fathers, sebagai negarawan-negarawan generasi emas, seperti Bung
Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lainnya, ”sesak nafasnya,
tertusuk hatinya” melihat realitas penjajahan itu.
Berbagai upaya dilakukan untuk pembebasan diri–di ranah
politik, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya–mulai dilakukan
perjuangan terorganisasi. Nilai- nilai Pancasila–berkarakter
komunalistik-religius, yang terbenam sedemikian dalam di dasar
samudera–diangkat ke permukaan, disosialisasikan sebagai way of life, dan
dirumuskan sebagai philosophischegroundslag.
Sejak saat itu, Pancasila mestinya dijadikan sumber
inspirasi, fondasi, dan paradigma demokrasi, termasuk mendesain dan
melaksanakan pilkada. Sistem pilkada pada era formasi ini bila dicermati
seksama, banyak kemiripannya dengan sistem pengelolaan kekuasaan pada era
awal penjajahan dan jauh dari Pancasila.
Itulah, saya tidak sreg dan mengajak bangsa ini bersikap kritis
agar penjajahan oleh bangsa asing tidak terulang. Caranya bagaimana? Cara
termudah adalah ber-Pancasila melalui pengamalan ajaran-ajaran agama secara
tulus dan tidak sekali-kali ingkar terhadapnya. Bagi umat Islam, ada ajaran
penuh hikmah bersumber hadits Rasulullah SAW.
Seorang sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling berat cobaannya?” Dijawabnya: ”Para nabi, kemudian
orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan
tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar
agamanya.
Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah
dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap
diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.”
(HR Bukhari). Direntang pada persoalan pilkada, hadits di atas sejatinya
menunjukkan bahwa pilkada merupakan ujian untuk penguatan jiwa kebangsaan.
Bagi pemerintah dan kepolisian serta penyelenggara,
jadilah penguasa adil berjiwa kebangsaan, jauhi keperpihakan kepada salah
satu kontestan. Bagi pemilih, bersikaplah cerdas, bersabarlah, dan terimalah
dengan keikhlasan apa pun hasilnya. ”Menang aja umuk, kalah aja ngamuk ”,
kata orang Jawa. Tidak perlu fitnahmemfitnah, menyebar hoax, ataupun bersikap
berlebihan.
Tafakuri dan temukan hikmah dari apa pun yang terjadi.
Dalam rangka ber-Pancasila melalui ajaran agama, kita ambil hikmah hadits
Rasulullah SAW lainnya. Beliau pernah bercerita tentang pertemuan seorang
laki-laki dengan seekor anjing pada sebuah sumur. Kisah perjumpaan dimulai
ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul kering.
Ia terus melangkah sepanjang perjalanan hingga ditemukan
sebuah sumur. Ia terjun dan meminum air di dalamnya. Tenggorokan kembali
basah, tenaganya sedikit bertambah. Saat keluar dari sumur, ia terperanjat.
Di hadapannya berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Nafasnya
terengah-engah.
Lidahnya menjulur-julur. Anjing itu kehausan. Laki-laki
tersebut menyadari bahwa anjing sekarat itu tak mungkin turun ke dalam sumur
karena tindakannya bisa mencelakakannya. Seketika ia terjun kembali ke dalam
sumur. Sepatunya dipenuhi air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan
bertambah.
Lelaki itu bahagia bisa berbagi air dengan anjing. Apa
selanjutnya yang terjadi pada lelaki itu? Rasulullah berkata, ”Allah
berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke
surga.” Indonesia akan menjadi surga dunia bila dalam pilkada semua pihak
mampu berperilaku welas asih kepada sesama.
Status haram dan najis pada anjing tak boleh berbanding
lurus dengan saling menghinakan dalam pilkada. Pilkada melibatkan interaksi
antarmanusia, makhluk yang martabatnya lebih tinggi dari anjing. Kalau kepada
anjing kita dapat menebar welas asih, pilkada perlu diterjemahkan sebagai
aktivitas politik berbasis Pancasila. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar