Seputar
Ambang Batas Pilpres
Janedjri M Gaffar ;
Doktor
Ilmu Hukum, Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas
Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 28
Februari 2017
Setelah membahas pilihan sistem proporsional terbuka atau
tertutup di tulisan bulan lalu, saat ini penulis hendak membahas isu lain
yang mengemuka dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang
sampai saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah.
Isu tersebut adalah ambang batas perolehan suara partai
politik dalam pemilu DPR atau kursi yang diperoleh di DPR yang harus dipenuhi
sebagai salah satu persyaratan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Secara singkat disebut sebagai ambang batas pilpres (presidential treshold).
Keberadaan ambang batas pilpres diatur dalam UU Pilpres
yaitu memperoleh 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR.
Di dalam UUD 1945 memang tidak diatur tentang ambang batas ini. Namun, ambang
batas yang telah digunakan sejak Pemilu 2004 ini didalilkan sebagai turunan
dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memuat politik hukum mengarah pada
sistem kepartaian sederhana.
Frasa ”pasangan calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik...” dimaknai
sebagai kehendak agar terjadi penggabungan partai politik sehingga jumlah
partai politik tidak terlalu banyak. Ada beberapa instrumen guna mencapai
multipartai sederhana antara lain melalui pengaturan pembentukan partai
politik, persyaratan mengikuti pemilu, electoral threshold,dan parliamentary threshold.
Dengandemikian, kedudukan ambang batas pilpres sebagai
salah satu instrumen untuk mencapai politik hukum UUD 1945, yaitu sistem
multipartai sederhana. Dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, dua
pendapat yang mengemuka terkait ambang batas pilpres adalah menghilangkan
atau tetap menggunakan.
Pendapat yang menghendaki menghilangkan ambang batas
pilpres mendalilkan hal itu sebagai konsekuensi putusan MK yang memutus
pemilu serentak. Sedangkan yang mempertahankan ambang batas pilpres
mendalilkan bahwa masalah ini kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Putusan MK
Persoalan ambang batas pilpres memang menjadi salah satu
materi permohonan pengujian undang-undang dalam perkara Nomor 14/
PUU-XI/2013, yaitu Pasal 9 UU Nomor 48 Tahun 2008. Dalam perkara tersebut, MK
mengklasifikasikan permohonan perkara tersebut menjadi dua.
Pertama, terkait dengan penyelenggaraan pilpres setelah
pemilihan umum anggota DPR (Pasal 3 ayat [5] UU Pilpres). Kedua, ketentuan
yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pengajuan pasangan calon
(Pasal 9, Pasal 12 ayat [1] dan ayat [2], Pasal 14 ayat [2], dan Pasal 112 UU
Pilpres). Putusan MK memberikan pertimbangan lebih pada persoalan pertama,
yaitu waktu penyelenggaraan pilpres.
MK mengabulkan permohonan pemohon bahwa pilpres secara
konstitusional harus diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pertimbangan
yang meliputi empat aspek, yaitu kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan
sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945,
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga
negara untuk memilih secara cerdas.
Untuk persoalan kedua, tentang tata cara dan persyaratan
pengajuan pasangan calon, MK membagi menjadi dua. Terkait dengan tata cara
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2),
dan Pasal 112 UU Pilpres,
MK menilai merupakan prosedur lanjutan dari
penyelenggaraan pemilu serentak sehingga seluruh pertimbangan mengenai Pasal
3 ayat (5) UU Pilpres menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-pasal tersebut
sehingga permohonan pemohon beralasan menurut hukum.
Di dalam amar putusan pun dinyatakan bahwa Pasal 12 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu berbeda
dengan keberadaan Pasal 9 UU Pilpres yang menjadi dasar hukum ambang batas
pilpres.
Pertimbangan hukum putusan MK menyatakan bahwa ketentuan
ambang batas pilpres merupakan kewenangan pembentuk UU dengan tetap
mendasarkan pada ketentuan UUD 1945. Di dalam amar putusan pun tidak
disebutkan Pasal 9 UU Pilpres sebagai bagian dari permohonan yang dikabulkan
sehingga dengan sendirinya masuk dalam kategori permohonan yang ditolak
sebagaimana dimaksud dalamangkatigaamar putusan. Karena itu, ketentuan ambang
batas pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Pilihan Kebijakan Hukum
Pertimbangan hukum putusan MK dengan jelas menyatakan
bahwa ketentuan ambang batas pilpres adalah kewenangan pembentuk UU. Artinya,
MK menyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Pertimbangan ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
ambang batas pilpres harus tetap ada karena merupakan perintah UUD 1945.
Di sisi lain, putusan MK juga tidak dapat dijadikan
sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan bahwa ambang batas harus
dihapuskan sebagai konsekuensidari pemiluserentak. Jika MK menghendaki
demikian, pasti pertimbangan hukum terhadap Pasal 9 UU Pilpres akan dijadikan
satu dengan ketentuan lain terkait dengan tata cara pengajuan calon dan pasti
pula masuk di dalam amar putusan.
Ambang batas pilpres dapat dihilangkan dan dapat pula
dipertahankan. Inisepenuhnya kewenangan pembentuk undangundang yang tentu
saja harus mempertimbangkan aspek positif dan negatif dalam konteks sistem
ketatanegaraan dan sistem politik berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak
semata-mata ditentukanolehkepentinganpraktis partai politik yang ada saat
ini.
Jika hendak menghapuskan ambang batas pilpres, tentu harus
dipertimbangkan risiko ketidakberhasilan pembentukan sistem multipartai
sederhana. Setiap partai politik memiliki kecenderungan untuk mengajukan
pasangan calon sendiri, tidak saja berharap kemungkinan akan berhasil
memenangi pilpres, tetapi juga menjadi strategi untuk menarik dukungan
pemilih untuk pemilu legislatif karena sentimen positif dari pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang diusung.
Tentu diperlukan instrumen pengganti untuk penyederhanaan
parpol. Hal ini juga membawa konsekuensi banyak pasangan calon yang akan
menjadi peserta pilpres yang tentu saja berpengaruh terhadap kerumitan serta
efisiensi pilpres itu sendiri. Jika mempertahankan ada ambang batas pilpres,
persoalan yang harus dijawab utamanya adalah dari legitimasi perolehan kursi
atau suara pemilu lima tahun sebelumnya yang dipertanyakan untuk sebagai
persyaratan pada pemilu setelahnya karena belum tentu mencermin pilihan
rakyat.
Selain itu, penggunaan ambang batas pilpres dengan pemilu
serentak juga harus memperhatikan partai politik baru yang dengan sendirinya
akan kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden karena belum mengikuti
pemilu sebelumnya.
Apa pun pilihannya, kita berharap hal itu merupakan hasil
dari pembahasan yang mempertimbangkan kepentingan konsolidasi ketatanegaraan
nasional sesuai sistem yang dianut oleh UUD 1945. Kita juga berharap kebijakan
hukum yang dipilih dapat diterapkan dan berlaku dalam waktu yang relatif
lebih lama sehingga berdampak positif bagi sistem pemilu dan sistem
kepartaian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar