Penguatan
Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Ibnu Burdah ;
Koordinator
S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Februari 2017
RAJA Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud direncanakan berkunjung
ke Indonesia pada 1-9 Maret. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung,
kedatangan Raja Salman disertai rombongan besar, termasuk sejumlah pangeran
dan keluarga kerajaan, puluhan menteri, dan pejabat tinggi, serta pengusaha.
Kunjungan itu sungguh bermakna mengingat sudah hampir setengah abad tak ada
satu pun raja Saudi datang ke Indonesia. Dalam konteks ini, pembicaraan
tentang penguatan hubungan Indonesia dengan Timur Tengah secara umum penting
diperbincangkan lagi.
Selama ini, hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur
Tengah secara umum termasuk Arab Saudi berjalan baik-baik saja. Hubungan itu
terutama diikat keislaman. Mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim dan
mayoritas penduduk negara-negara Arab, kecuali Libanon dan Israel, juga muslim.
Hubungan itu telah berjalan sangat lama bahkan jauh sebelum ‘konsep’
Indonesia itu ada. Hingga kini, hubungan itu terpelihara dengan baik.
Hubungan itu historis dan mendalam, bahkan sering dibumbui emosi yang kuat
dan berlebihan.
Namun, dalam dan kuatnya hubungan itu belum melahirkan
kerja sama produktif yang bermanfaat luas bagi kedua pihak. Indonesia hingga
sekarang menekankan hubungan ‘produktifnya’ dengan lingkar ASEAN dan Pasifik.
Tiongkok menjadi ‘kiblat’ baru kerja sama Indonesia. Sementara itu, negara-negara
Timteng juga mengarahkan kerja sama strategis mereka dengan negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat. Dengan kata lain, hubungan Indonesia-Timteng
sangatlah miskin produktivitas kendati telah berlangsung lama, penuh
semangat, dan penuh bumbu basa-basi ‘persaudaraan’.
Praksis keislaman
Hubungan lama yang dilandasi semangat keagamaan kerap kali
menciptakan ketimpangan hubungan di antara kedua pihak. Timteng
bagaimanapun ialah asal usul Islam. Karena itu, tak aneh juga jika orang
sana, khususnya Arab, merasa lebih muslim dan memiliki Islam jika
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia, kendati praksis
keislaman mereka juga biasa-biasa saja. Pikiran sebagian besar orang
Indonesia barangkali juga memperkuat itu, mengidentikkan Arab dengan Islam
kendati keduanya tidaklah sama.
Karena itu, dalam konteks keislaman selama ini, Arab
memersepsikan dirinya bahkan juga dipersepsikan sebagian bangsa kita sebagai
center. Sementara itu, kita, bangsa Indonesia, dipersepsikan orang Arab,
bahkan memersepsikan diri, sebagai pinggiran. Sikap yang muncul dari
pandangan ini mudah ditebak, yang satu superior dan yang lain inferior.
Celakanya, ketimpangan hubungan itu kemudian masih diperparah lagi dengan
eksplorasi minyak yang membawa kemakmuran seperti tanpa batas bagi sejumlah
negara Arab. Tiba-tiba negara-negara itu berlimpah kemakmuran, bahkan seperti
kebingungan mencari tempat menabung dan menginvestasikan uang. Mereka
memiliki modal begitu melimpah sementara kita sangat memerlukan modal.
Hubungan ‘klasik’ yang sudah timpang itu dalam beberapa dekade terakhir ini
semakin bertambah timpang.
Itu pun masih diperparah image yang terbentuk dari
pergaulan mereka dengan para tenaga kerja kita di sana. Kebetulan atau tidak,
sebagian besar tenaga kerja kita di sana memiliki tingkat pendidikan dan
keterampilan yang pas-pasan. Banyak di antara para pekerja kita ialah pekerja
rumah tangga atau buruh di sektor lain. Fakta itu semakin memperparah
persepsi mereka tentang bangsa Indonesia. Penulis merasakan benar hal itu
saat tinggal beberapa lama di beberapa negara Arab. Persepsi center-pinggiran
kemudian berkembang menjadi persepsi lebih menjijikkan, yaitu relasi
‘bos-jongos’.
Langkah taktis
Oleh karena itu, diperlukan upaya serius, sungguh-sungguh,
sistematis, dan melibatkan banyak pihak untuk menyetarakan dan memperkuat
produktivitas hubungan kedua pihak. Pertama, pencarian landasan. Kenyataan
hubungan Indonesia-Timteng dilandasi semangat keislaman ialah fakta. Itu tak
bisa ditolak. Namun, sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas muslim,
Indonesia perlu menunjukkan citra keislaman yang berkelas dengan menunjukkan
prestasi kita yang tak (baca: belum) dimiliki mereka. Di antaranya ialah
keberhasilan dalam penyandingan Islam dan demokrasi di dalam praktik
bernegara.
Politik luar negeri Indonesia idealnya mencitrakan postur
diri sebagai negara muslim moderat dengan demokrasi yang kuat. Kita ialah
negara muslim demokrasi terbesar. Kenyataannya memang demikian, landing
demokrasi kita jauh lebih indah jika dibandingkan dengan landing negara Arab
mana pun. Kita juga landing jauh lebih awal, setidaknya 13 tahun lebih awal.
Selama ini, citra itu kurang tampak dari Indonesia dalam pergaulannya di
forum internasional, khususnya dengan negara-negara Arab. Landasan keislaman
demikian yang perlu ditegaskan di samping landasan pelaksanaan prinsip dan
pemenuhan kepentingan sebagaimana lazimnya hubungan antarnegara.
Kedua, masyarakat Timteng itu secara umum ditandai dengan
ciri paternalistisnya yang kuat. Oleh karena itu, pembangunan hubungan itu
akan sangat efektif jika dilakukan dari atas. Membangun kesan baik di mata
para pucuk pemimpin negara di sana ialah langkah sangat penting dan tak bisa
ditunda-tunda. Itu hanya bisa dilakukan jika pemimpin tertinggi negeri ini
mau melakukan kunjungan ke negara mereka atau sebaliknya seperti sekarang
ini. Bagi mereka, kunjungan Presiden Jokowi ke sejumlah negara Timur Tengah
pada September 2015 ialah kehormatan dan penghargaan. Jadi, presiden harus
blusukan tak hanya ke Doha, Riyadh, dan Abu Dabi, tetapi juga ke Kairo,
Rabat, Ankara, Teheran, dan lain-lain untuk membangun hubungan yang personal
dengan para pemimpin di sana. Keberhasilan itu akan sangat berarti bagi
perluasan, intensifikasi, dan peningkatan produktivitas kerja sama dengan
mereka.
Ketiga, pada level diplomasi publik. Hubungan itu perlu
diperluas dan diintensifkan dengan melibatkan seluas dan sebanyak mungkin
aktor dari masyarakat dalam banyak bidang. Jalur diplomasi publik itu
sangatlah luas. Kunjungan Raja Salman dengan rombongan besar ini diharapkan
bisa menjadi titik tolak baru dalam membangun hubungan Indonesia-Timur Tengah
yang lebih kuat, produktif dan setara. Wallahu
a’lam. ●
|
Dearest Esteems,
BalasHapusWe are Offering best Global Financial Service rendered to the general public with maximum satisfaction,maximum risk free. Do not miss this opportunity. Join the most trusted financial institution and secure a legitimate financial empowerment to add meaning to your life/business.
Contact Dr. James Eric Firm via
Email: fastloanoffer34@gmail.com
Best Regards,
Dr. James Eric.
Executive Investment
Consultant./Mediator/Facilitator