Tantangan
OJK Kian Berat
Paul Sutaryono ;
Pengamat
Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS, 23 Februari 2017
Panitia seleksi pemilihan calon anggota dewan komisioner
Otoritas Jasa Keuangan membuka pendaftaran calon anggota DK OJK periode
2017-2022. Hingga penutupan pendaftaran pada 2 Februari 2017 telah terdaftar
870 pelamar, naik 182 persen dari 309 orang tahun 2012. Padahal, hanya
tersedia tujuh posisi sehingga kesempatan lolos 1:124. Wow!
Apa syarat menjadi anggota DK OJK? Sesuai Pasal 15 UU
Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, syarat menjadi calon anggota DK OJK adalah
WNI, memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik, cakap melakukan
perbuatan hukum, tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus
perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit, serta sehat jasmani.
Selain itu, calon DK OJK berusia paling maksimal 65 tahun pada 20 Juli 2017,
mempunyai pengalaman, keilmuan atau keahlian yang memadai di sektor jasa
keuangan, dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih.
Tantangan OJK
Tulisan ini tak hendak membahas kriteria calon DK OJK,
tetapi membeberkan aneka tantangan OJK ke depan. Tantangan tersebut, pertama,
OJK wajib terus meningkatkan pengawasan mengingat hal itu merupakan salah
satu fungsi utamanya. Ketika fungsi pengawasan belum beralih ke OJK, Bank
Indonesia (BI) hanya melakukan pengawasan terhadap bank, sedangkan pengawasan
terhadap lembaga keuangan nonbank di tangan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Namun, ketika fungsi pengawasan beralih ke OJK, OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan, jasa keuangan di sektor pasar modal, dan jasa keuangan
di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa
keuangan lainnya.
Lembaga jasa keuangan lainnya adalah pegadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan
sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan
sosial, pensiun, dan kesejahteraan. Artinya, tugas, fungsi, dan wewenang OJK
begitu luas. Rasanya hanya koperasi yang di luar pengawasan OJK. Selama ini,
koperasi sekalipun dapat menghimpun dana masyarakat, tetapi berada di bawah
Kementerian Koperasi dan UKM.
Jangan lupa, sebagian dari sekitar 1.220 pengawas OJK
merupakan pengalihan dari BI pada 2013 dan 2014, dan sebagian lagi dari
Bapepam-LK pada 2012. Setelah tiga tahun, pengawas dari BI memiliki hak pilih
untuk kembali ke BI atau tetap di OJK. Nah, pada akhir 2016, sekitar 25
persen pengawas OJK telah memilih kembali ke BI.
Padahal, OJK menangani aset perbankan Rp 6.607 triliun,
asuransi Rp 913,07 triliun, lembaga pembiayaan Rp 499,12 triliun, dan dana
pensiun Rp 233,68 triliun (koran Kontan, 18/1/2017). Intinya, OJK dewasa ini
kekurangan pengawas yang andal meski OJK sudah merekrut pegawai baru. Perlu
waktu panjang untuk mencetak pengawas yang andal dalam arti kredibel.
Kedua, pada 2016 terjadi panen investasi bodong alias
abal-abal. Kasus demi kasus investasi bodong muncul di permukaan bagai
cendawan di musim hujan. Hal ini mengakibatkan potensi kerugian finansial
mencapai triliunan rupiah bagi investor.
Kita ambil beberapa contoh kasus terbaru. PT Peresseia
Mazeaa Dwisapta Abadi (Primaz), Jakarta Pusat, yang menawarkan penjualan emas
batangan dengan harga lebih tinggi; Fa Liang (investasi Rp 160.000 dengan
keuntungan 100 persen apabila membawa anggota baru); PT Cakrabuana Sukses
Indonesia, Cirebon (investasi dengan setoran awal Rp 50 juta dengan imbal
hasil 5 persen per bulan).
Kemudian, Q Net International Ltd, Depok (investasi Rp 1,4
juta dengan dividen Rp 1 juta setiap merekrut anggota baru); PT Mulia
Sejahtera, Jakarta Pusat (investasi jabon); PT Sukses Bangun Indonesia,
Bandung (investasi minimal Rp 2,7 juta dengan dividen Rp 1 miliar dalam
setahun); PT Sejati Maju Bersama, Balikpapan (investasi emas); dan PT Alsi
Investindo Utama, Denpasar (investasi saham minimal Rp 5 juta dengan dividen
5-6 persen per bulan atau 60 persen per tahun) (koran Kontan, 30/11/2016).
Dalam penyelesaian sengketa antara investor dan pengelola
investasi, investor hampir selalu kalah untuk mendapatkan kembali hak mereka,
yakni nilai investasi, apalagi nilai pengembangannya. Ini semua menjadi
tantangan OJK, khususnya Bidang Edukasi dan Perlindungan, untuk melakukan
edukasi lebih intensif dan ekspansif daripada selama ini. OJK perlu
menyampaikan kiat-kiat mengendus aroma busuk investasi bodong. Bagaimana
investor menggali informasi mengenai keabsahan perizinan, manajemen, dan suku
bunga investasi yang wajar. Apakah wajar investasi menawarkan imbal hasil 5
persen per bulan atau 60 persen setahun, padahal suku bunga deposito hanya
6-7 persen setahun?
Ternyata, kasus investasi juga meledak di beberapa
koperasi yang telah dilaporkan kepada Satgas Waspada Investasi. Inilah
tantangan berat bagi Kementerian Koperasi dan UKM agar terus mengawasi
koperasi lebih ketat dan melakukan edukasi kepada (calon) investor. Amat
mendesak dan penting bagi Kementerian Koperasi dan UKM melakukan inspeksi
mendadak (sidak) terutama ke koperasi-koperasi yang diduga bermasalah.
Untuk menepis potensi risiko lebih tinggi, akan lebih
strategis apabila izin pendirian semua lembaga keuangan lainnya, termasuk
koperasi yang berhak menghimpun dana masyarakat, berada di OJK. Perizinan
penghimpunan dana masyarakat pada satu atap akan lebih menjamin
terselenggaranya pengawasan yang lebih intensif. Amat dicemaskan bahwa jangan-jangan
investasi bodong dan koperasi sudah menjadi wadah pencucian uang (money
laundering). Sebagian investor yang terjebak investasi bodong kemungkinan
besar telah melek keuangan (financial literacy). Dengan bahasa lebih bening,
sebagian investor yang telah melek keuangan sudah sepatutnya mengetahui bahwa
investasi bodong itu menawarkan imbal hasil yang tak masuk akal.
Perlindungan konsumen
Harus diakui kini kian sulit melakukan pencucian uang
melalui sistem keuangan. Mengapa? Sebab, bank dan lembaga keuangan nonbank
sudah menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your customer/ KYC). Maka,
masuk akal ketika investasi bodong dan koperasi yang kurang pengawasan oleh
regulator dijadikan arena pencucian uang yang empuk. Menjadi tugas Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melacak kemungkinan
pencucian uang di sana. Hal ini sejalan dengan tekad PPATK dengan membentuk
tiga desk baru, yakni Desk Fiskal, Desk Narkotika dan Terorisme, dan Desk
Fintech (Financial Technology) dan Cyber Crime. Pembentukan desk baru itu
bertujuan untuk mengantisipasi perubahan modus kejahatan keuangan.
Ketiga, langkah demikian tentu saja akan meningkatkan
perlindungan konsumen (nasabah dan investor). Untuk itu, OJK perlu segera
mewujudkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI) untuk menggantikan
Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API yang terbit pada 9 Januari 2004
dengan tujuan untuk memperkuat fundamental perbankan itu merupakan suatu
kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan
memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk lima hingga 10
tahun ke depan.
Pilar keenam API menitahkan "mewujudkan pemberdayaan
dan perlindungan konsumen jasa perbankan". Oleh karena itu, setiap
aturan sudah sepatutnya memprioritaskan pemberdayaan dan perlindungan
konsumen jasa keuangan baik perbankan maupun non-perbankan (Sutaryono Paul,
Kompas, 21/1/2017).
Keempat, selain itu, kini kembali terdengar usul agar
pungutan OJK ke bank ditinjau kembali. Mulai 1 Maret 2014, OJK mengenakan
pungutan kepada bank atas dasar total aset. Minimal ada tiga alternatif
solusi untuk mengatasi masalah itu. Pertama, pungutan OJK disamakan dengan
perhitungan pungutan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berdasarkan pada
rata-rata saldo bulanan total simpanan. Dengan perhitungan selama ini,
pungutan OJK akan lebih tinggi sebab total aset pasti lebih besar daripada
rata-rata saldo bulanan total simpanan.
Kedua, agar lebih adil lagi sebaiknya pungutan OJK
berbasis risiko (risk based fee) sehingga bank akan membayar pungutan sesuai
dengan profil risikonya. Dengan bahasa lebih lugas, bank yang memiliki risiko
lebih tinggi wajib membayar pungutan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya,
bank yang berisiko lebih rendah akan membayar pungutan lebih rendah.
Pungutan itu bisa jadi kemudian dibebankan kepada nasabah
sebagai pengguna akhir (end user). Lebih dari itu, pungutan itu membuat bank
kurang efisien, tampak pada rasio biaya operasional terhadap pendapatan
operasional (BOPO) yang tinggi. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 17
Januari 2017 menunjukkan bahwa BOPO bank umum mencapai 80,84 persen per
November 2016.
Angka itu memang hanya sedikit di atas ambang batas 70-80
persen, tetapi jauh di atas BOPO bank-bank di negara ASEAN lain yang berkisar
40-60 persen. Sarinya, bank nasional wajib mengerek tingkat efisiensi untuk
mampu bersaing dengan bernas di kawasan ASEAN.
Ketiga, oleh karena itu anggaran OJK akan lebih baik
ketika didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alhasil,
OJK akan lebih independen dalam melakukan pengawasan terhadap semua bank dan
lembaga keuangan nonbank. Pun bank bakal lebih efisien. Ingat bahwa efisiensi
tinggi merupakan salah satu senjata ampuh dalam memenangi persaingan yang
kian sengit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar