Wedhatama
Goenawan Mohamad ;
Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 27 Februari 2017
Pada suatu hari di tahun 1870-an, di Istana Mangkunegaran
sebuah naskah selesai ditulis: sehimpun puisi yang frasa-frasanya dikutip
orang di Jawa Tengah sampai sekarang: Serat Wedhatama.
Serat itu terasa masih "bicara", mungkin karena
ia seakan-akan cetusan hari ini: pergulatan batin seseorang yang menghadapi
desakan Islamisasi di sekitarnya. Dalam 100 bait itu kita bersua dengan
seseorang yang dibesarkan dalam sebuah tradisi lokal yang bangga akan
nilai-nilainya tapi terluka oleh zaman yang berubah.
Naskah itu disebut sebagai karya puncak kesusastraan Jawa
abad ke-19. Mungkin berlebihan. Yang pasti, melalui beberapa generasi,
Wedhatama ditembangkan dengan khidmat oleh para literati -- dianggap kitab
petunjuk spiritual -- tapi juga dikenal luas hingga para pengamen di tepi
jalan Solo dan Yogya hafal tiap baitnya.
Disebutkan bahwa penggubahnya Mangkunegara IV, yang waktu
itu berkuasa di sebagian wilayah Surakarta. Dalam riwayat resmi ditulis, ia
memang kelihatan istimewa sejak remaja. Kakeknya memberinya perhatian khusus:
anak ini harus belajar kepada guru-guru Belanda.
Perhatiannya kepada kesusastraan berkembang. Di masa
kekuasaannya, ada 45 karya yang diproduksi -- sebuah jumlah yang mengesankan
dalam sejarah Jawa setelah zaman Hindu. Tak bisa dipastikan Wedhatama memang
buah tangan sang raja sendiri. Di antara bait-baitnya sang penulis menyebut
diri seseorang yang di ujung kariernya "mengajar putra raja". Tapi
mungkin ini kamuflase.
Ia merendah: ia bodoh (cubluk) dan belum bisa berbahasa
Arab (durung weruh cara Arab), bahkan "bahasa Jawaku pun tak
sempurna". Di masa muda, ia pernah sebentar menjalani hidup yang
"bergairah kepada agama" (abérag marang agama). Tapi ia berguru
ajaran Islam dengan motif yang baru kemudian ia ungkapkan: "Rahasia
hatiku: sangat takut akan ketentuan akhir zaman" (Sawadiné tyas mami,
banget wediné ing bésuk pranatan ngakir jaman).
Maka ia merasa tak pantas jadi ketib suragama, pengkhotbah
yang berani membahas agama. Ia tak akrab dengan ajaran Islam. Ia memilih
berpegang pada apa yang digariskan leluhur. Dasar-dasar kearifan yang berlaku
di lingkungannya sejak dulu itu penting. Jika ia ingkari itu, "daun jati
kering akan lebih bernilai" ketimbang dirinya.
Demikianlah sang penulis Wedhatama menghindari kehidupan
beragama yang formal. Ia hanya ingin jadi seseorang yang peka kepada yang
tersirat dalam ayat Tuhan, mangayut ayat winasis. Dari sana ia bisa memandang
ruang dan waktu tanpa penghalang. Lakunya ibarat orang bertapa, mengikuti
jejak Yang Mahakasih (tapa tapaking Hyang Suksma).
Maka dengan masygul ia saksikan anak-anak muda memamerkan
keislaman mereka dengan pongah: mengunggulkan diri dengan menghafal ayat,
mundhi dhiri rapal makna. Dengan pengetahuan yang terbatas, tapi tak sabar
untuk memperlihatkan keunggulan diri, mereka tafsirkan ayat dengan sikap
seperti "sayid lulusan Mesir". Lalu menilai orang.
Durung pecus
Kesusu keselak besus
Amaknani rapal
Kaya sayid weton Mesir
Pendhak-pendhak angendhak gunaning
janma
Sikap beragama itulah, yang tak mau kalah, yang merisaukan
Wedhatama. Penyair Jawa ini seorang tradisional, tapi kecenderungan
konservatifnya merupakan jawaban, atau pertahanan, terhadap perubahan di
masyarakatnya: ia cemas ketika Islam jadi identitas yang dikibar-kibarkan
generasi baru. Ia mengacu ke masa silam, ke masa awal Mataram di abad ke-17,
ketika Islam belum jadi bendera yang dipasang agar dilihat orang lain -- ketika
orang menyukai kehidupan yang sunyi.
Menarik bahwa baginya sikap itu justru mengandung sikap
ethis yang lebih dalam ketimbang sikap generasi yang "gemar menirukan
Nabi", manulad nelad Nabi, dan anggung anggubel saréngat, bangga
bersyariat. Di situ sang penyair lebih mirip seorang sufi. Tapi ia sufi yang
tanpa ilmuâatau ilmunya ia capai dengan dan dalam laku, kalakoné kanthi
laku.
Laku itu adalah pengalaman hidup yang terlatih dengan
empati kepada sesama, bagian hidup yang selalu pantas disyukuri. Tercelalah
orang yang gampang marah kepada dunia. Wedhatama mengutamakan sikap
"rela, tak pernah merasa menyesal karena kehilangan, bersabar bila
dihina, legawa dalam kesengsaraan, pasrah kepada Tuhan" -- yang dalam
teks disebut "Bathara".
Dalam diri penyair ini, agama adalah penghayatan. Iman
tumbuh dalam dunia yang ia terima dengan akrabâbukan datang dari luar. Maka
ia kritik mereka yang "paksa
ngangkah langkah met kawruh ing Mekah", memaksakan diri mengambil
pengetahuan di Mekah. Ia tunjukkan bahwa sesungguhnya inti penghayatan itu
melekat dalam diri kitaâdan iman jadi autentik.
Para pembaca mungkin akan menilai perspektif Wedhatama
menolak apa yang bukan-Jawa. Tapi kita ingat, penyairnya merasa bahagia
merasakan isyarat dari Tuhan di mana-mana, tanpa penghalang: tan
pangaling-aling. Artinya, di sanalah tumbuh sesuatu yang universal, yang
melebihi rumusan ajaran.
Sang penyair seakan-akan mengutarakan pengharapan religius
yang sedang terancam di abad ke-21. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar