Konstitusionalisme
DPR
Margarito Kamis ;
Doktor
Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 21
Februari 2017
Menjadikan hukum sebagai panduan, tuntunan, dan arah-
supremasi hukum–dalam kehidupan berkebangsaan dan bernegara, menurut
sejarahnya, merupakan sebuah temuan mengagumkan.
Orang agung, karena akal budinyalah, yang melahirkan ihwal
agung dan memiliki keagungan. Bukan bandit, melainkan orang agung, mereka
yang mata batinnya hidup, dan lembut selembut saljulah yang menemukan dan
menggelorakannya. Orang agung tak mampu menyediakan sedikit pun relung mata
batinnya diterpa keangkuhan nafsu mengangkangi hukum, politik, dan ekonomi.
Bukan tidak mengetahui tiga hal tersebut sebagai permata
dunia materiil, tetapi keindahan dan kemuliaan akal budinya dalam samudra
mata batinnya mengokohkan dan menggelorakan mereka dalam rindu ini. Terus
terang, rindu ini berkelas.
Hakikatnya
Orang agung akan membaca Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang telah diubah sebanyak
empat kali oleh MPR 1999-2001, dengan bacaan mata batin, filosofis. Bacaan
jenis ini mengantarkannya ke dalam dimensi-dimensi otentik kehendak
memuliakan manusia dalam teks itu. Di dasar teks itulah letak pengagungan
atas kemanusiaan otentik. Keagungan dan kemuliaan manusia, makhluk penerima
amanat, yang tak mampu diterima oleh gunung dan lainnya, inti otentik gagasan
negara hukum.
Nilai-nilai itulah yang disebut nilai intrinsik hukum oleh
almarhum Pak Tandyo Wignjosoebroto, guru besar yang cemerlang pemikiran
sosiologi hukum dari Universitas Airlangga Surabaya ini, senafas dengan
konsep metavalue P.S Atyah, ahli hukum Inggris abad ke-20 ini.
Terdemonstrasinya nilai-nilai itu, dalam sejarahnya yang
universal di Barat juga timur dahulu kala, merupakan reaksi atas
tindak-tanduk tak terdidik, angkuh, serakah, kejam, semau-maunya, dan lain
yang sebangsanya oleh penguasa.
Hina karena tindak-tanduk itu meremehkan hakikat kemuliaan
kemanusiaan. Tindak-tanduk itu terwujud untuk sebagian dengan menempatkan
penguasa sebagai poros penguasaan sumber daya ekonomi, politik, dan hukum.
Penguasa menjadi menentu siapa saja yang menjadi subjek, tak sepenuhnya
merdeka, mengelola sumber daya ekonomi, ke mana hukum bergerak, dan bagaimana
politik berdendang.
Penolakan terhadap tindak-tanduk rakus, serakah, kejam,
dan kadang masa bodoh penguasa itulah spirit terotentik peneguhan hak
otorisasi keuangan, hak otorisasi pengerahan pasukan, pembentukan hukum, dan
raja hanya dapat memerintah berdasarkan hukum yang dibuat parlemen Inggris.
Begitulah cara Inggris menyudahi keangkuhan penguasa dalam revolusi
gemilangnya di penghujung 1688.
Itulah embrio paling mengagumkan, produktif, dari sejarah
gagasan fungsi parlemen modern dan rule of law. Keadaan serupa itu pulalah,
yang ditemukan di balik pembentukan volskraad di Hindia Belanda pada 1918.
Dalam ketidak mandiriannya kelak di badan ini bergelora penolakan bumi putra
terhadap tindak tanduk penguasa kolonial.
Terilhami, untuk sebagian oleh sejarah tindak-tanduk buruk
penguasa kolonial, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang semula
pendiriannya dimaksudkan untuk membantu pemerintah diubah menjadi parlemen
dengan nama Badan Pekerja (BP) KNIP.
Syarat Angket
Mutiara tak pernah dengan sendirinya berserakan di atas
pasir, tepi pantai. Butuh usaha hebat untuk itu. Periode 1960- 1998 dalam
panggung ketatanegaraan dan politik Indonesia DPR terdefinisikan untuk
sebagian, sebagai tukang stempel tercanggih atas kemauan pemerintah. Tak
pernah terlihat keliru, itulah pemerintah kala itu, dan parpol serta politisi
pun tak pernah terlihat sebagai barang rendahan.
Hasilnya? Dunia ekonomi, politik, dan hukum terbalut
perkoncoan kronis dan keadilan mahal semahal usaha meremehkan dunia. Sumber
daya ekonomi terkonsentrasi pada segelintir orang, sebagian orang merana,
terusir dari kebun yang dikelolanya, dan politik didefinisikan oleh
sekelompok kecil orang, serta hukum cuma jago untuk kawula kecil.
Laksana hukum besi liberalisme, segelintir orang menjadi
kaya raya, selebihnya merana, setengah merana dan sebangsanya, dan hukum
menjadi senjata terandal menidurkan mereka yang mendendangkan suara
nestapanya. Bermaksud mengoreksi keburukan itu, MPR selama 1999- 2001 menata
organisasi negara. Menariknya, sembari mempersempit kekuasaan presiden, pada
saat yang sama MPR juga menguatkan kedudukannya, dengan cara menspesifikasi
alasan dan cara pemberhentian presiden.
Seolah terilhami oleh tesis James Madison, arsitek UUDA
merika Serikat, ambisi harus dilawan dengan ambisi dengan cara mengerangkakan
ambisi ke dalam hak berkapasitas konstitusional, MPR memperkuat kedudukan
DPR, jugamemperluasfungsinya dengan cara memberi hak angket kepada DPR.
Seimbang
Keseimbangan itu, berpaut secara natural dengan tabiat
politik, kompromi. Angket demi angket dalam kenyataannya hanya mencatatkan
kesuksesan minimal sejak 2004. Kini sejumlah anggota DPR kembali
menggelorakannya. Kali ini Presiden tidak memberhentikan gubernur DKI Jakarta
yang berstatus terdakwa karena didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal
156 dan 156a KUHP, teridentifikasi sebagai isu konstitusional. Argumen
pemerintah terhadap perbedaan ancaman pidana pada dua pasal ini, bentuk
dakwaan dan frasa ”selama-lamanya” lima tahun dalam Pasal 156a tidak simetris
dengan norma Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
dinilai tidak tepat.
Apakah pemrakarsa angket menilai tindakan pemerintah itu
telah melampaui batas kompromi konstitusional yang paling mungkin? Entahlah. Tetapi,
mempertimbangkannya harus diakui, beralasan. Sebab, memungkinkan PT Freeport
mengekspor sebagian konsentrat, mengangkat warga negara asing menjadi
menteri, tak melantik calon kapolri yang telah disetujui DPR, penolakan DPR
melakukan rapat kerja dengan seorang menteri, tidak mengesahkan kepengurusan
Golkar hasil Munas Bali, yang semuanya berpotensi melawan hukum, berlalu
begitu saja.
Parpol dan politik memang tak selalu menjadi sekolah dan
pelajaran yang menghasilkan orang berkelas, mereka yang tak sudi meremehkan
konstitusi, supremasi hukum, kesamaan derajat, dan moralitas kemanusiaan.
Blok politik dan wakil partai memang tak selalu jelek walau tak juga selalu
baik. Itu sebabnya sinyal penolakan, untuk tak mengatakan sinyal mengirimkan
angket ke dasar jurang menjadi senapan berpeluru air dari anggota DPR di blok
pemerintah, tak usah dicemaskan.
Mengapa? Seolah diilhami oleh pesan Winston Churchil,
hanya seorang optimistis yang berani sebab keberanian tergantung pada harapan
bahwa bahaya dan kesulitan dapat diatasi dengan tindakan yang tabah dan penuh
risiko, para pemrakarsa angket tak goyah. Seolah tahu bahwa politik
konstitusionalisme yang mengagungkan hukum sebagai sarana pencegahan
ketidakadilan, perkoncoan, dan lainnya memerlukan orang-orang dengan kaliber
tipikal, para pemrakarsa, sekali lagi, tak goyah.
Dwight E Eishenhower, mantan tentara yang menjadi presiden
Amerika, adalah politisi dengan kaliber tipikal. Sekalipun tak antusias
menghapuskan segregasi rasial di Selatan Amerika, sikapnya itu tidak
menghambat dirinya memenuhi perintah konstitusi. Orval Faubus, gubernur
Arkansas, yang menolak memenuhi putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan
sembilan anak negro tetap diterima di sekolahnya, dihadapi dengan pengerahan
tentara.
Eishenhower memfederalisasi Garda Nasional Arkansas
sebanyak 10.000 dan mengirimkan Angkatan Darat dari Devisi Udara ke-101 ke
Little Rock memaksa Faubus tunduk pada hukum. Politisi berkelas berdansa
dengan soal-soal besar dalam spektrum gagasan negara hukum demokratis.
Politisi tipikal ini, mengetahui gagasan negara hukum demokratis, memerlukan
orang yang punya kaliber menjinakkan kalkulasi untungrugi.
Politik memang tak jauh dari bisnis, bahkan bisnis itu
sendiri. Tetapi, mendedikasikan politik untuk keadilan hukum, ekonomi, dan
politik, dengan konstitusi sebagai panglimanya, adalah bisnis terindah
politisi berkelas.
Rule of law memang mengidentifikasi angket sebagai senjata
parlemen dengan syarat tertentu. Syaratnya adalah moralitas politisi harus
didedikasikan sepenuhnya pada konstitusi. Kala syarat ini tak terpenuhi,
angket akan teridentifikasi sebagai senjata karatan, bahkan senapan air
mainan bocah. Kala angket berubah sifat konstitusionalnya menjadi senapan
karatan, ketidakadilan merajalela, muncul setiap saat di semua sudut
kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar