Demokrasi
Kebablasan
Moh Mahfud MD ;
Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 25
Februari 2017
Adalah wajar jika kemudian timbul kekhawatiran di
tengah-tengah masyarakat tentang masa depan Indonesia ketika Presiden Jokowi,
tiga hari yang lalu, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah
kebablasen.
Kebablasen atau yang bakunya “kebablasan” adalah istilah
dalam bahasa Jawa yang berarti berlebihan atau melampaui batas yang wajar.
Kekhawatiran itu timbul karena jika Presiden yang mengatakan itu secara
terbuka, artinya ada, minimal, dua kemungkinan.
Pertama, demokrasi di Indonesia mengancam eksistensi
bangsa dan negara Indonesia yang “bersatu dalam keberagaman” karena di
kalangan masyarakat sudah cenderung anarkistis, keluar dari batasbatas wajar
melalui kebebasan yang agak brutal sehingga, demi keselamatan negara dan
bangsa, harus segera diatasi.
Kedua, pernyataan Presiden itu juga bisa ditafsirkan
sebagai isyarat akan ada pembatasan -pembatasan kembali atau tindakan-
tindakan represif atas semua penggunaan hak-hak konstitusional yang
menggunakan kendaraan demokrasi yang, katanya, kebablasen itu. Sebenarnya
ungkapan “demokrasi kebablasen“ sudah mengemuka dalam pertemuan terbatas
antara Presiden dengan alumni kelompok Cipayung sehari sebelum Presiden
mengemukakannya secara terbuka pada pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu, 22
Februari 2017.
Pada hari Selasa, 21 Februari 2017, para pimpinan alumni
organisasi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Cipayung, yakni HMI, GMNI,
PMII, GMKI, dan PMKRI, bersilaturahmi dengan Presiden di Istana Negara. Pada
saat itu kami mendiskusikan banyak hal dengan Presiden, termasuk demokrasi
yang agak kebablasen itu.
Jauh sebelum itu istilah demokrasi kebablasen sebenarnya
sudah sering kita dengar. Beberapa purnawirawan ABRI (TNI dan Polri) sering
mengeluhkan amendemen atau perubahan UUD 1945 (periode 1999- 2002) yang dikatakannya
sebagai produk dari reformasi dan demokrasi yang kebablasen sehingga hasil
amendemen UUD 1945 itu keluar dari nilainilai Pancasila dan semangat para
pendiri negara (founding fathers).
Tapi benarkah perjalanan demokrasi kita sekarang kebablasen?
Jujur, gejala tersebut memang ada meskipun tidak bisa dimungkiri kita telah
mencatat banyak kemajuan dalam berdemokrasi. Gejala demokrasi kebablasen itu
terjadi baik di tingkat supra-maupun infrastruktur politik maupun di kalangan
masyarakat. Kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa para pemain resmi
politik telah menggunakan mekanisme resmi demokrasi untuk menggarong kekayaan
negara dan merampas hak-hak rakyat.
Di dalam studi-studi politik malah muncul ungkapan
“demokrasi sebagai jalan untuk korupsi”. Dengan menggunakan posisinya di
lembaga demokrasi para politikus telah membuat dan menjualbelikan kebijakan
dan hukum negara untuk mencuri hak-hak rakyat. Begitu pula kerap kali ada
kolusi antara oknum penting di legislatif dan eksekutif untuk berkorupsiria.
Ada juga kolusikolusi di lembaga yudikatif.
Semuanya menggunakan mekanisme formal demokrasi sehingga
disimpulkan, korupsi sengaja dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Di
tengah-tengah masyarakat pun terasa ada penggunaan hak konstitusional melalui
demokrasi yang kebablasen. Gejala saling mencaci, menyebar fitnah, dan
membuat informasi hoax melalui media massa dan media sosial tak terbantahkan
berseliweran setiap hari.
Isu SARA yang sebenarnya ditiupkan untuk kepentingan
kelompok politik tertentu dan jangka pendek semata telah dipergunakan sebagai
senjata untuk saling menyerang. Orang berbicara keadilan dan hukum dituduh
SARA, rasis, diskriminatif, anti-keberagaman, dan sebagainya. Penuduhnya pun
kemudian dituding balik sebagai antek dan jongos kelompok primordial tertentu
yang juga berbau SARA.
Saling tuding tersebut kemudian menggumpal menjadi kubu-kubu
yang saling serang dengan bendera primordialisme alias SARA. Itulah demokrasi
yang kebablasen. Jadi tidak salahlah Presiden ketika mengatakan ada gejala
demokrasi kebablasen karena selain hal itu sudah lama diungkapkan oleh
kelompok-kelompok masyarakat, faktanya pun memang sangat terasa.
Meskipun Presiden mengatakan hal tersebut banyak muncul di
media sosial dengan akun-akun yang tidak bertuan, sedangkan yang di media
massa konvensional bisa dikendalikan, faktanya media konvensional pun tidak
jarang memainkan irama demokrasi yang kebablasen ini melalui trik-triknya
yang juga canggih.
Soalnya, bagaimana menghadapi dan mengatasi gejala yang
bisa membahayakan eksistensi NKRI itu? Jawabannya sebenarnya ada pada
pernyataan Presiden sendiri, yakni penegakan hukum tanpa pandang bulu, tegas,
dan tidak ragu. Presiden mengatakan, “Tegakkan hukum, jangan ragu.” Solusi
tentang penegakan hukum oleh Presiden ini pun benar. Konstitusi kita
menyatakan negara kita adalah negara demokrasi (kerakyatan) dan negara
nomokrasi (negara hukum).
Demokrasi tanpa hukum bisa liar dan anarkistis, hukum
tanpa demokrasi bisa elitis dan sewenangwenang. Itu yang bisa dibunyikan dari
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Tapi harus segera dinyatakan juga
bahwa saat ini rasa keadilan di dalam masyarakat terlukai karena hukum belum
suprime, hukum masih terasa membedakan siapa subjek yang harus ditindak dan
dilayani. Pada tingkat elite hukum kerap kali kolutif, sedangkan pada tingkat
massa hukum kerap kali anarkistis.
Ketidak beresan hukum pada tingkat elite, terutama di
birokrasi, ini sebenarnya tergantung dan di bawah kendali sah Presiden. Jadi,
syukur alhamdulillah, Presiden sendiri yang mengemukakan adanya gejala atau
problem “demokrasi liar dan penegakan hukum”, sebab Presiden pasti sudah tahu
bagaimana menyikapi berbagai masalah dan langkah apa yang harus diambil untuk
menegakkan hukum agar demokrasi tidak kebablasen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar