Warning
MA kepada Korporasi
Bambang Soesatyo ;
Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 23
Februari 2017
Korporasi kini bisa dipidana. Inilah peringatan dari
Mahkamah Agung (MA) kepada komunitas pebisnis.
MA telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) No13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini otomatis
mendorong entitas korporasi di Indonesia untuk secara konsisten menerapkan
prinsip good corporate governance . Ditandatangani Ketua MA, M Hatta Ali,
pada 21 Desember 2016, Perma No13 Tahun 2016 ini telah diundangkan per 29
Desember 2016.
Inilah instrumen hukum yang menjadi pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam melaksanakan prosedur penanganan kejahatan oleh
korporasi, termasuk jajaran direksi. Perma ini nyaris lolos dari perhatian
publik karena diterbitkan di tengah hiruk-pikuk persiapan pilkada serentak di
101 daerah pemilihan. Demi kepentingan publik yang lebih luas, MA perlu
menyosialisasikan Perma No13/2016 ini agar dipahami segenap komponen
masyarakat.
Memahami semua ketentuan dalam Perma ini memang penting.
Namun, ada tiga pasal yang patut digarisbawahi para pelaku bisnis. Paling
utama adalah Pasal 4 ayat 2 dari Perma No13/2016. Pasal ini menegaskan bahwa
korporasi bisa dipidana jika mendapatkan keuntungan dari tindak pidana yang
dilakukan untuk kepentingan korporasi; melakukan pembiaran terjadinya tindak
pidana; dan, tidak mencegah terjadinya tindak pidana.
Sedangkan Pasal 20 menegaskan, korban tindak pidana dapat
meminta ganti rugi kepada korporasi melalui mekanisme restitusi atau gugatan
perdata. Dan, Pasal 21 memuat lima ketentuan tentang penyitaan harta korporasi.
Ada tiga ketentuan yang penting digarisbawahi.
Pertama, harta korporasi yang disita berupa benda sesuai
KUHAP;
kedua, karena alasan teknis ekonomis, benda sitaan bisa
dilelang berdasarkan persetujuan tersangka;
dan ketiga, harta sitaan yang dilelang tidak bisa dibeli
oleh tersangka atau terdakwa.
Dengan demikian, pesan kepada komunitas pebisnis rasanya
cukup jelas; yaitu perusahaan harus dikelola seturut norma dan ketentuan yang
berlaku, mengingat korporasi adalah badan hukum. Mengapa Perma No13/2016 ini
penting diketahui dan dipahami komunitas pebisnis di dalam negeri? Karena
Perma ini akan memberi akses atau mempermudah penegak hukum untuk melakukan
proses hukum terhadap korporasi yang diduga melakukan kejahatan.
Memang, Perma ini mungkin masih akan mengundang
perdebatan. Misalnya, tentang kejelasan kriteria kejahatan korporasi, sebab
korporasi adalah benda mati berujud selembar kertas yang menjelaskan status
badan hukum perusahaan A. Sebagai pedoman, Perma No13/2016 cukup rinci
mengatur tata cara menangani kejahatan korporasi. Pemanggilan dan pemeriksaan
korporasi diatur dalam Pasal 9-11.
Sedangkan syarat dan uraian dakwaan diatur dalam Pasal 12.
Tentang pemisahan pertanggung jawaban kesalahan pidana oleh korporasi atau
pengurus diatur dalam Pasal 4 dan 5. Ditegaskan bahwa korporasi tetap
dibebani tanggung jawab seandainya pengurus yang berkaitan dengan kasus itu
sudah berhenti atau meninggal dunia. Perma ini juga menetapkan bahwa sistem
pembuktian tetap mengacu pada KUHAP atau UU lain yang mengatur soal sistem
pembuktian. Keterangan pengurus korporasi di persidangan otomatis diterima
sebagai alat bukti.
Sementara itu, sanksi pidana korporasi meliputi pidana
pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa denda, sedangkan pidana
tambahan meliputi ganti rugi hingga ditutupnya perusahaan. Dengan tata cara
seperti itu, aparat penegak hukum diharapkan tidak lagi mengalami kesulitan
atau ragu-ragu dalam menangani kejahatan korporasi seperti yang terjadi
selama ini.
Kejahatan korporasi cukup sering terjadi, tetapi hanya
sedikit yang bisa dimintai pertanggung jawabannya melalui proses hukum.
Dengan berlakunya Perma No13/2016, para pemilik perusahaan dan kuasa hukumnya
disarankan untuk memahami ketentuan ini agar tidak salah melangkah dan
bertindak.
Menangkal Kolusi
Selama ini penegak hukum sulit menindak perusahaan yang
diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran pidana. Padahal, dalam sistem
hukum nasional, terdapat tidak kurang dari 60-an undangundang yang menetapkan
korporasi sebagai subjek hukum, dan karenanya dapat dipidana jika merugikan
negara dan masyarakat.
Namun, semua UU itu terkesan berdiri sendiri-sendiri, yang
mengakibatkan tidak adanya keseragaman prosedur tentang penyidikan,
penyelidikan, rumusan dakwaan hingga penuntutan terhadap korporasi terduga
pelaku kejahatan. Akibatnya, vonis pengadilan yang menghukum korporasi yang
melakukan kejahatan sangat sedikit jumlahnya.
Pada September 2016, sempat berkembang wacana tentang
Indonesia darurat kejahatan korporasi. Ungkapan darurat kejahatan korporasi
itu merefleksikan kekecewaan dan kemarahan karena terhentinya proses hukum
terhadap sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan dan
lahan gambut pada 2015 di Kalimantan dan Sumatera.
Memang, berbagai kalangan sangat marah karena bukti dari
satelit memperlihatkan pola yang sama di balik tragedi terbakarnya hutan dan
lahan gambut itu. Sejumlah perusahaan pemilik konsesi lahan dituding berada
di balik pembakaran hutan itu. Bagi perusahaan-perusahaan itu, membakar
adalah opsi paling murah untuk membersihkan hutan dan lahan gambut.
Kalau benar dugaan tersebut, kejahatan itu memang
terbilang sangat serius. Menurut Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan
(LHK), indikasi areal kebakaran hutan dan lahan pada September 2015 di
Kalimantan dan Sumatera mencapai 190.993 hektare. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi kerugian ekonomi akibat bencana
kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi
di Indonesia pada 2015 bisa melebihi angka Rp20 triliun.
Dari tragedi tahun 2015 itu, Kementerian LHK dan Polri
memproses ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan di area konsesi perusahaan
di Sumatera dan Kalimantan. Di Riau tercatat 37 kasus, Sumatera Selatan 16
kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus. Dari total
kasus itu, polisi sempat menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya
petinggi perusahaan.
Mereka dijerat UU Perkebunan, UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dengan ancaman kurungan
maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Namun, proses hukum untuk
sebagian besar dari jumlah kasus itu tidak berlanjut karena polisi harus
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan tidak
cukup bukti.
Kemarahan sejumlah kalangan itulah yang mendorong
berkembangnya wacana tentang “Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi”. Suka
tidak suka, terbitnya SP3 bagi sejumlah pihak yang diduga harus bertanggung
jawab atas terbakarnya hutan di Kalimantan dan Riau itu sudah mempermalukan
sistem hukum Indonesia.
Warga di negara tetangga yang tak bisa menghindar dari
dampak asap kebakaran hutan itu menilai Indonesia tidak bisa menyelesaikan
persoalannya. Karena pembakar hutan dan lahan tidak pernah dihukum, tidak
mengherankan jika hampir setiap tahun Indonesia harus menghadapi peristiwa
serupa. Kasus kebakaran hutan di Indonesia, khususnya di Sumatera dan
Kalimantan, kemudian diasumsikan sebagai “crime by powerful” atau melibatkan
oknum pejabat dan korporasi.
Proses hukumnya menjadi tidak mudah karena kolusi oknum
pejabat dengan pebisnis. Oknum pejabat diiming-imingi uang suap. Karena sudah
memberi uang suap, korporasi merasa imun, sehingga berani melanggar hukum
hingga melanggar hak asasi manusia (HAM). Kini sudah berlaku Perma No13/2016.
Perma ini tentu saja harus dimaknai sebagai peringatan
kepada entitas korporasi untuk jangan lagi coba-coba melanggar hukum yang
merugikan negara dan masyarakat. Tentu saja Perma yang sama juga menjadi
peringatan bagi penegak hukum. Proses hukum terhadap korporasi yang melakukan
kejahatan haruslah tegak lurus. Kasus kejahatan korporasi jangan lagi
digoreng demi keuntungan pribadi atau kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar