Scopus,
ISI-Thomson, dan Predator
Terry Mart ;
Dosen
Fisika FMIPA UI; Anggota AIPI
|
KOMPAS, 28 Februari 2017
Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mewajibkan seorang
profesor dalam tiga tahun menghasilkan satu karya ilmiah di jurnal internasional
bereputasi, atau tiga karya ilmiah di jurnal internasional, serta menulis
satu buku. Jika tidak, maka tunjangan kehormatan akan dihentikan. Hal yang
mirip, tetapi lebih lunak, juga diberlakukan kepada dosen dengan jabatan
lektor kepala. Untuk bidang-bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat
diganti paten atau karya monumental.
Peraturan baru ini memicu pelbagai diskusi. Tampaknya
masalah penulisan buku jarang diributkan, yang sering diributkan adalah
menulis di jurnal internasional bereputasi. Penyebabnya jelas, definisi
jurnal internasional bereputasi sangat robust (kokoh) dan harus terindeks
oleh basis data Scopus.
Satu dekade lalu saya mengkritik penggunaan faktor dampak
(impact factor) salah satu produk pengindeks ISI-Thomson (Counting Papers,
Symmetry 2006). Beberapa tahun kemudian merebak isu jurnal predator, jurnal
abal-abal yang dieksploitasi untuk keuntungan finansial bagi si pembuat
(Kompas, 2/4/2013).
Kemudahan pembuatan jurnal predator dipicu oleh pesatnya
perkembangan internet dan munculnya sistem jurnal open access. Jumlah
penerbit jurnal predator pun meledak, hampir mencapai 1.000 penerbit pada
akhir 2016. Bayangkan berapa banyak jumlah jurnal predator jika setiap
penerbit rata-rata menghasilkan 100 jurnal!
Indeks Scopus
Belakangan Dirjen Dikti menggunakan pengindeks Scopus
sebagai acuan jurnal internasional bereputasi. Dengan bantuan Scopus, para
pembuat kebijakan, panitia penilai kepangkatan, serta pemberi insentif
publikasi sangat terfasilitasi. Penggunaan Scopus mungkin merupakan jalan
tengah, mengingat ISI-Thomson sangat ketat sehingga hanya jurnal-jurnal papan
atas yang terindeks. Hampir seluruh jurnal yang diindeks ISI-Thomson juga
diindeks oleh Scopus. Meski demikian, Scopus memiliki beberapa kelemahan.
Misalnya, Scopus adalah bagian dari Elsevier, penerbit
ribuan jurnal ilmiah yang berpusat di Belanda. Scopus juga progresif
memasukkan jurnal ke dalam basis data mereka sehingga cukup banyak jurnal
kurang pantas dan predator ikut terindeks.
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan lenyapnya blog
Jeffrey Beall yang memuat kriteria, daftar jurnal, dan penerbit predator.
Belum ada penjelasan mengapa laman tersebut tiba-tiba hilang.
Yang jelas jurnal abal-abal akan terus bertambah dan
definisi jurnal predator akan tergerus. Pemerintah dan akademisi akan
direpotkan dengan makalah abal-abal yang diklaim terbit di jurnal
internasional.
Tentu saja jalan keluar yang mudah adalah kembali ke
Scopus atau mulai menggunakan basis data ISI-Thomson.
Menarik untuk diamati bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) sangat antisipatif menghadapi kerunyaman ini. Jauh sebelum
lenyapnya blog Jeffrey Beall, LIPI sudah mengusulkan jurnal internasional
yang dapat dinilai dibagi dalam lima peringkat, yaitu jurnal dengan peringkat
Q1 hingga Q4 versi ISI-Thomson, sementara di peringkat kelima adalah jurnal
yang hanya terdaftar di Scopus dengan terbitan perdana sebelum 2003.
Definisi LIPI dapat saja diadopsi untuk perguruan tinggi
(PT). Namun, atmosfer PT yang egaliter mungkin sulit menerima ini. Dibutuhkan
definisi baru yang bebas Scopus, ISI-Thomson, dan sekaligus jurnal predator.
Definisi yang lebih hakiki
Apa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah?
Jawaban sederhana tapi operasional adalah guna memberi tahu kepada kolega
sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting
dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama
atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya
eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka.
Sebagai peneliti yang baik, seorang dosen tentu mengenal
komunitas bidang ilmunya di tingkat nasional ataupun internasional. Sebab,
dari waktu ke waktu, ia harus selalu meng-update diri dengan rutin membaca
karya-karya ilmiah di bidangnya. Tentu saja masalah apakah ia dikenal atau
terkenal di komunitas dapat dianggap pertanyaan sekunder karena sangat
bergantung pada produk penelitiannya. Jadi, dosen tadi tahu persis siapa yang
aktif atau bahkan leading (memimpin dan menjadi acuan) dalam bidangnya di
tingkat nasional ataupun internasional.
Boleh dikatakan, tidak ada yang tahu persis kontribusi
seorang ilmuwan kecuali komunitasnya. Mereka yang leading di komunitas tentu
saja merupakan pakar bidang tersebut.
Dengan demikian, jurnal internasional bereputasi untuk
satu bidang ilmu adalah jurnal tempat para pakar internasional bidang
tersebut memublikasikan karya ilmiahnya. Analog untuk jurnal nasional
bereputasi. Definisi ini perlu diperjelas ke tingkat yang lebih operasional.
Hampir setiap bidang ilmu memiliki organisasi atau
asosiasi bidang ilmu. Karena mereka yang aktif meneliti umumnya menjadi
anggota asosiasi tersebut, asosiasi suatu bidang ilmu berperan penting dalam
mengarahkan pengembangan bidang tersebut.
Hampir semua asosiasi menerbitkan jurnal ilmiah yang
menjadi rujukan anggotanya. Dengan demikian, jurnal-jurnal yang diterbitkan
oleh asosiasi bidang ilmu yang sudah mapan dan menjadi rujukan peneliti dunia
dapat dipakai sebagai jurnal internasional bereputasi primer karena di
sanalah para pakar bidang tersebut berkiprah.
Umumnya, negara-negara maju memiliki asosiasi seperti ini.
American Chemical Society, American Geophysical Union, dan American Medical
Association adalah contoh asosiasi dari Amerika. Dari belahan lain ada Japan
Physical Society dan European Physical Society.
Bagaimana dengan jurnal-jurnal dari penerbit komersial,
seperti Elsevier, Springer, dan Wiley? Di sini kita membutuhkan definisi
jurnal internasional bereputasi sekunder.
Apakah jurnal-jurnal tersebut juga dirujuk atau menjadi
tempat publikasi para pakar internasional di atas? Jika jawabnya ya, maka
jurnal-jurnal komersial ini haruslah sering dirujuk oleh jurnal internasional
bereputasi primer. Dengan definisi yang lebih operasional, jurnal-jurnal
tersebut haruslah sering ditemukan pada daftar acuan (referensi) jurnal
internasional bereputasi primer. Idealnya, dengan definisi di atas, kita
dapat menciptakan sistem pengindeksan sendiri, bebas dari Scopus dan Thomson.
Seorang kolega dari bidang filsafat bercerita bahwa mereka
lebih memilih menulis buku ketimbang menulis di jurnal ilmiah. Ketika di
kampus kami diluncurkan program dosen inti penelitian, terlihat bahwa
peneliti di bidang sains, teknologi, dan kedokteran lebih memilih jurnal
ilmiah sebagai tempat publikasi, sementara untuk bidang lain penulisan buku
menjadi favorit.
Jadi, mungkin lebih baik kewajiban menulis di jurnal dan
buku dalam peraturan di atas diganti dengan jurnal atau buku. ●
|
Dearest Esteems,
BalasHapusWe are Offering best Global Financial Service rendered to the general public with maximum satisfaction,maximum risk free. Do not miss this opportunity. Join the most trusted financial institution and secure a legitimate financial empowerment to add meaning to your life/business.
Contact Dr. James Eric Firm via
Email: fastloanoffer34@gmail.com
Best Regards,
Dr. James Eric.
Executive Investment
Consultant./Mediator/Facilitator